“Keukeuh”
Samuel Mulia ; Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi”
di Kompas
|
KOMPAS,
05 Januari 2014
Ketika ia membaca bahwa di negeri
macam Vietnam bisa dihujani salju, teman saya bertanya, ”Ini tandanya apa,
ya?” Saya diam, sediam-diamnya. Saya tak bisa menjelaskan dari sudut apa pun
mengapa itu bisa terjadi.
Kalau buat saya, kejadian itu
memancing untuk berpikir bahwa sesuatu itu bisa saja berubah. Itu menarik.
Menariknya karena perubahan itu mampu mengguncangkan, tetapi juga
menggembirakan jiwa.
Terguncang-guncang
Waktu saya masih bisa lengkap
mengatakan kalau saya punya ayah dan ibu, semuanya seperti biasa-biasa saja.
Karena semua manusia memiliki orangtua, jadi keadaan saya itu tidak ada
anehnya. Disebut biasa itu, kalau tidak ada anehnya. Aneh itu, kalau tidak
sama dengan punya orang lain, atau tidak sama dengan kebiasaan yang umum.
Pada saat saya berusia tujuh belas
tahun, ibu saya meninggal. Maka, saya sebagai anak ikut terguncang. Bukan
hanya soal kematiannya, tetapi juga mengalami perubahan dari yang seperti
orang kebanyakan, menjadi seperti orang kebanyakan dengan versi yang baru.
Saya sekarang disebut anak yatim,
seperti anak yatim lainnya. Dengan kondisi baru itu, ayah saya mendapat
julukan duda, yang selama ini mungkin tak pernah ia impikan terjadi, sama
seperti para duda lainnya di jagat raya ini. Predikat baru itu
mengguncangkan. Predikat baru itu sebuah bentuk perubahan.
Sekian tahun berjalan, ayah
memutuskan menikah untuk kedua kalinya. Saya terguncang lagi karena
perubahan. Guncangan itu dalam bentuk menjadi lengkap kembali, tetapi pada
saat yang bersamaan orang mengatakan saya memiliki ibu yang tiri sebagai
pengganti ibu kandung.
Proses diisi kembali itu ternyata
mampu mengguncangkan jiwa serta raga. Tetapi, menggembirakan ayah saya karena
predikat dudanya hilang dan sebutan istri tiri itu tak pernah ada. Jadi benar
kata saya bahwa perubahan itu mengguncang dan sekaligus merianggembirakan
jiwa.
Singkat cerita, beberapa tahun
kemudian setelah ibu kedua meninggal, keadaan mengguncangkan kembali lagi,
keluarga menjadi tidak utuh lagi. Tetapi, beberapa tahun kemudian ayah
menikah untuk ketiga kalinya.
Anda berpikir saya tak terguncang
karena sudah terbiasa dengan ayah menikah lagi? Saya tetap terguncang.
Masalahnya bukan soal kekosongan diisi kembali, tetapi melihat ayah saya
punya tiga istri itu sungguh membingungkan, sampai saya bilang dalam hati,
sebegitu tidak kuatnyakah ayah saya itu hidup sendiri?
Beria-ria
Keadaan di atas yang berubah itu
telah membuat saya untuk pertama kalinya berpikir bahwa manusia paling lemah
di dunia ini adalah laki-laki. Jadi perubahan pun sebuah pencerahan jiwa.
Singkat cerita, setelah perkawinan ketiga, ayah saya meninggal dunia. Maka,
perubahan kembali lagi mendatangi hidup saya, dan kali ini saya mendapat
julukan lengkap, anak yatim piatu.
Saya terguncang karena harus
berdikari, saya terguncang karena kehilangan orangtua dan doa mereka, saya
terguncang tak bisa memoroti uang mereka lagi. Saya terguncang karena
menghadapi hidup sendiri itu tak pernah ada di dalam benak.
Tetapi di sisi lain, saya merasa
senang. Senangnya, karena selama berada di tengah orangtua, saya akan tetap
dianggap anak kecil dan saya sendiri kemudian merasa seperti anak kecil.
Sekarang, mau tak mau, saya mulai belajar mengambil keputusan dan berpikir
soal risiko, itu membanggakan dan menyenangkan ego.
Untuk pertama kalinya saya
mengerti sesungguhnya apa arti menjadi dewasa itu. Semuanya karena sebuah
perubahan yang awalnya menyakitkan. Padahal, sejujurnya saya ini bukan
manusia yang terlalu pro dengan perubahan, apalagi yang ekstrem.
Saya selalu mengharap bahwa anak
buah saya bisa bekerja selamanya dengan saya sampai waktunya mereka harus
pensiun. Saya berharap bahwa hubungan asmara saya akan selalu ada dalam
keadaan sehat sampai waktunya saya melepaskan KTP sebagai warga dunia.
Saya berharap bahwa etika itu bisa
dipegang teguh dalam segala keadaan dan cuaca. Saya berharap Jakarta itu tak
semacet sekarang ini. Saya berharap ”pulau dewata”, tempat saya lahir dan
dibesarkan, tak menjadi seperti sekarang ini.
Kalaupun harus ada perubahan, tetapi
tidak yang membuat saya terkaget-kaget.
Tetapi, perubahan mau tak mau
harus diterima. Saya harus mau menerima bahwa kualitas generasi sekarang
berbeda. Karena itu, mulut saya tak perlu lagi mengeluarkan kalimat
menyakitkan dan membeda-bedakan dengan generasi saya yang sudah lewat.
Perubahan itu ternyata sebuah
kunci untuk merendahkan hati. Saya tak bisa kekeuh merasa saya
lebih unggul. Unggul atau tidak, bukan semata-mata soal jam terbang, bukan
soal hidup lebih lama, tetapi soal tidak menutup mata dengan perubahan dan
menerimanya. Menyakitkan? Bisa jadi. Tetapi jangan lupa, di akhir setiap
kesakitan selalu ada kegembiraan. Katanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar