Selasa, 07 Januari 2014

“Keukeuh”

                                                              “Keukeuh”

Samuel Mulia ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS,  05 Januari 2014
                                                                                                                        


Ketika ia membaca bahwa di negeri macam Vietnam bisa dihujani salju, teman saya bertanya, ”Ini tandanya apa, ya?” Saya diam, sediam-diamnya. Saya tak bisa menjelaskan dari sudut apa pun mengapa itu bisa terjadi.

Kalau buat saya, kejadian itu memancing untuk berpikir bahwa sesuatu itu bisa saja berubah. Itu menarik. Menariknya karena perubahan itu mampu mengguncangkan, tetapi juga menggembirakan jiwa.

Terguncang-guncang

Waktu saya masih bisa lengkap mengatakan kalau saya punya ayah dan ibu, semuanya seperti biasa-biasa saja. Karena semua manusia memiliki orangtua, jadi keadaan saya itu tidak ada anehnya. Disebut biasa itu, kalau tidak ada anehnya. Aneh itu, kalau tidak sama dengan punya orang lain, atau tidak sama dengan kebiasaan yang umum.

Pada saat saya berusia tujuh belas tahun, ibu saya meninggal. Maka, saya sebagai anak ikut terguncang. Bukan hanya soal kematiannya, tetapi juga mengalami perubahan dari yang seperti orang kebanyakan, menjadi seperti orang kebanyakan dengan versi yang baru.

Saya sekarang disebut anak yatim, seperti anak yatim lainnya. Dengan kondisi baru itu, ayah saya mendapat julukan duda, yang selama ini mungkin tak pernah ia impikan terjadi, sama seperti para duda lainnya di jagat raya ini. Predikat baru itu mengguncangkan. Predikat baru itu sebuah bentuk perubahan.

Sekian tahun berjalan, ayah memutuskan menikah untuk kedua kalinya. Saya terguncang lagi karena perubahan. Guncangan itu dalam bentuk menjadi lengkap kembali, tetapi pada saat yang bersamaan orang mengatakan saya memiliki ibu yang tiri sebagai pengganti ibu kandung.

Proses diisi kembali itu ternyata mampu mengguncangkan jiwa serta raga. Tetapi, menggembirakan ayah saya karena predikat dudanya hilang dan sebutan istri tiri itu tak pernah ada. Jadi benar kata saya bahwa perubahan itu mengguncang dan sekaligus merianggembirakan jiwa.

Singkat cerita, beberapa tahun kemudian setelah ibu kedua meninggal, keadaan mengguncangkan kembali lagi, keluarga menjadi tidak utuh lagi. Tetapi, beberapa tahun kemudian ayah menikah untuk ketiga kalinya.

Anda berpikir saya tak terguncang karena sudah terbiasa dengan ayah menikah lagi? Saya tetap terguncang. Masalahnya bukan soal kekosongan diisi kembali, tetapi melihat ayah saya punya tiga istri itu sungguh membingungkan, sampai saya bilang dalam hati, sebegitu tidak kuatnyakah ayah saya itu hidup sendiri?

Beria-ria

Keadaan di atas yang berubah itu telah membuat saya untuk pertama kalinya berpikir bahwa manusia paling lemah di dunia ini adalah laki-laki. Jadi perubahan pun sebuah pencerahan jiwa. Singkat cerita, setelah perkawinan ketiga, ayah saya meninggal dunia. Maka, perubahan kembali lagi mendatangi hidup saya, dan kali ini saya mendapat julukan lengkap, anak yatim piatu.

Saya terguncang karena harus berdikari, saya terguncang karena kehilangan orangtua dan doa mereka, saya terguncang tak bisa memoroti uang mereka lagi. Saya terguncang karena menghadapi hidup sendiri itu tak pernah ada di dalam benak.

Tetapi di sisi lain, saya merasa senang. Senangnya, karena selama berada di tengah orangtua, saya akan tetap dianggap anak kecil dan saya sendiri kemudian merasa seperti anak kecil. Sekarang, mau tak mau, saya mulai belajar mengambil keputusan dan berpikir soal risiko, itu membanggakan dan menyenangkan ego.

Untuk pertama kalinya saya mengerti sesungguhnya apa arti menjadi dewasa itu. Semuanya karena sebuah perubahan yang awalnya menyakitkan. Padahal, sejujurnya saya ini bukan manusia yang terlalu pro dengan perubahan, apalagi yang ekstrem.

Saya selalu mengharap bahwa anak buah saya bisa bekerja selamanya dengan saya sampai waktunya mereka harus pensiun. Saya berharap bahwa hubungan asmara saya akan selalu ada dalam keadaan sehat sampai waktunya saya melepaskan KTP sebagai warga dunia.

Saya berharap bahwa etika itu bisa dipegang teguh dalam segala keadaan dan cuaca. Saya berharap Jakarta itu tak semacet sekarang ini. Saya berharap ”pulau dewata”, tempat saya lahir dan dibesarkan, tak menjadi seperti sekarang ini. 

Kalaupun harus ada perubahan, tetapi tidak yang membuat saya terkaget-kaget.
Tetapi, perubahan mau tak mau harus diterima. Saya harus mau menerima bahwa kualitas generasi sekarang berbeda. Karena itu, mulut saya tak perlu lagi mengeluarkan kalimat menyakitkan dan membeda-bedakan dengan generasi saya yang sudah lewat.

Perubahan itu ternyata sebuah kunci untuk merendahkan hati. Saya tak bisa kekeuh merasa saya lebih unggul. Unggul atau tidak, bukan semata-mata soal jam terbang, bukan soal hidup lebih lama, tetapi soal tidak menutup mata dengan perubahan dan menerimanya. Menyakitkan? Bisa jadi. Tetapi jangan lupa, di akhir setiap kesakitan selalu ada kegembiraan. Katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar