Selasa, 07 Januari 2014

Renungan Tombol Blackberry

                                   Renungan Tombol Blackberry

Jean Couteau  ;   Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS,  05 Januari 2014
                                                                                                                        


Belum pernah terbayang oleh aku bahwa sedemikian bermakna menekan sebuah tombol. Masalah ini pertama kali aku alami beberapa minggu yang lalu ketika tengah ”mengutak-atik” Blackberry-ku yang rada kedaluwarsa itu. ”Terlalu banyak nama”, pikirku, melihat betapa panjang daftar nama kontak teleponku. ”Akan cepat full! Perlu dibersihkan! Jadi, ada yang harus di-delete (dihapus). Tanpa ba-bi-bu, aku langsung memulainya.

Calon yang patut di-delete pertama, no problem: hilanglah tukang reparasi komputer yang lama. Orangnya memang bego! Calon penerima pen-delete kedua: no problem juga, bahkan aku lega: lenyaplah nama bekas pemilik majalah seni yang telah lama ”lupa” membayar utangnya. Datanglah calon delete ketiga. Sudah lebih rumit: dia adalah seorang koneksi bagi pembuatan ”buku impian” yang tak mungkin disetujui oleh penerbitnya. Kasihan ”ego” serta kantong gue, tetapi biarlah! Orangnya memang tukang membual, maka dihapus saja! Berikutnya adalah kandidat ”kategori delete” keempat; kali ini aku langsung batal men-delete namanya: dia orang kaya yang ingin menyewa pena orang bule, dan aku ini bule pilihannya. Maka lebih baik sabar dulu, kan? Siapa tahu?

Masalah serius pertama muncul untuk calon delete berikutnya, yaitu nomor lima, sebutlah dia si X, yaitu nama yang hingga kini hendak aku sembunyikan. Aku kaget melihat namanya masih hadir bugil di tengah nama-nama lainnya. Tidak pernah aku delete sebelumnya. Maka aku ragu-ragu: sudah aku ”select” untuk men-delete-nya ketika… aku batalkan niatku. Entah bagaimana, aku merasa bersalah. Seakan ada sesuatu yang menahan aku. Dan memang ada, di memoriku: X itu bukanlah seorang X yang sebenarnya, yaitu orang anonim. Dia sebaliknya adalah si F, suatu nama yang terukir tebal-tebal di daging kalbuku!

Ya, F, beban bawaan hidupku yang lama; bawaan rahasia dari negeri menara Eiffel dan cewek-cewek aduhai nan harum yang mana, dahulu kala, aku tinggalkan untuk dilupakan saja. Tetapi kini, aneh, kan? Gara-garanya sebuah nama saja, yaitu F itu, dunia tangisku yang lalu, berikut sayup-sayup gelap memori yang kuduga mati, tiba-tiba tampil berkelebat kembali memedihkan hati. Tak heran bila aku tidak kuasa me-delete-nya. Biarlah dia tetap hadir di ”batas”, berdiam tersisip, selain di hati, di sela-sela tombol-tombol Blackberry-ku yang tua.

Setelah F, aku sangat sulit men-delete apa pun. Apalagi setelah pengalaman lagi satu ini. Kala itu, asyik mengulur-ulur daftar kenalan, aku melihat terpampang sebuah nama yang kurasa tak ada lagi faedahnya berada di situ. ”Aku delete, ayuk!” Tetapi, untunglah! 

Sebelum aku melakukannya, tepat ketika ujung jariku sudah berada di atas tombol dan akan kubengkokkan telunjuk ini untuk menekan delete untuk selamanya, aku tiba-tiba terenyak, gundah: ”janganlah”, pikirku. ”Orang itu sejatinya sudah meninggal. Apakah kini harus aku mengirimnya ke dunia tombol tanpa ”restore” kembalinya, ke dunia awang-awang yang tak pasti juntrungnya. Apakah aku kuasa melakukan hal itu? Bukankah orang itu pernah kucintai dan sayangi, bukankah kukagumi keluhurannya, dan kini maukah kuhapus lambang terakhir kehadirannya? ”Tidak”. Lebih jauh, apakah mereka yang sudah di-delete dari hidup nyata harus pula di-delete dari simbol digital hidupnya, dan dengan demikian meninggal untuk keduakalinya sebelum terbawa untuk seterusnya oleh surutnya gelombang memori manusia.

Kini, waktu telah lagi berlalu, dan tangis pedih meninggalnya ibu telah menyusul tangis pedih meninggalnya mertua. Kini, aku juga menyadari bahwa tombol-tombol yang kutekan guna mengulur daftar nama nyatanya juga mengulur balik waktu: waktuku, tentu saja, tetapi juga waktu Anda dan kita sekalian, teman-teman! Maka tak heran bila tombol-tombol Blackberry-ku kini kerap kupakai untuk menggali memori dan mencari arti pada peristiwa-peristiwa yang dulu aku sangka tak ada artinya. Ya! Bahkan siapa tahu, Tuhan, akan kutemukan Kau tersisip di sela-sela tombol-tombol Blackberry-ku, di urutan nama-nama yang terus bermunculan berikut bayangan tempat, kerja, suka, dan juga duka masa laluku itu! Itu harapanku, Tuhan. Sambil menanti tekanan tombol-Mu: ”delete”. Tanda Kebesaran-Mu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar