Reformasi
Birokrasi Pemerintah Daerah
Roby Arya Brata ;
Anggota Pendiri Kajian Korupsi di
Negara-Negara Asia,
Asian Association for
Public Administration
|
JAWA
POS, 08 Januari 2014
SALAH satu tuntutan gerakan reformasi adalah pemberdayaan pemerintah
daerah untuk mengelola masalah kepemerintahannya sendiri melalui kebijakan
desentralisasi/otonomi daerah. Akan tetapi, setelah lebih dari sepuluh tahun,
ternyata kebijakan otonomi daerah di Indonesia - yang dalam literatur
internasional disebut big bang
decentralization policy- memiliki komplikasi luas.
Tanpa terlebih dahulu memperkuat kerangka akuntabilitas dan membangun sistem integritas di pemerintah daerah, ternyata implementasi kebijakan otonomi daerah telah menimbulkan praktik dan distorsi kebijakan yang koruptif. Berdasar data yang ada, lebih dari 50 persen kepala daerah tersangkut masalah hukum yang terkait dengan korupsi. Di sinilah alasan strategis untuk melakukan reformasi birokrasi di pemerintahan daerah. Namun, selain memenuhi tuntutan dan amanat gerakan reformasi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (good governance), reformasi birokrasi di pemerintahan daerah merupakan suatu keniscayaan untuk menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan, khususnya era masyarakat ekonomi ASEAN yang akan terbentuk pada 2015. Namun demikian, pelaksanaan program-program reformasi birokrasi ternyata kurang berhasil mencapai sasaran-sasaran jangka menengah (periode 2010-2014) untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan memperbaiki akuntabilitas kinerja pemerintah. Berbagai alat ukur mengindikasikan rendahnya pencapaian target-target reformasi birokrasi tersebut. Kurang Efektif Visi yang hendak diwujudkan dalam kebijakan reformasi birokrasi Indonesia adalah "terwujudnya pemerintahan kelas dunia". Visi tersebut memiliki makna menciptakan pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi yang mampu menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat. Dengan mewujudkan tata pemerintahan yang baik pada 2025, visi tersebut juga dirumuskan agar pemerintah daerah mampu menghadapi tantangan pada abad ke-21. Berbagai kerangka dan arah kebijakan reformasi birokrasi telah ditetapkan pemerintah, di antaranya Peraturan Presiden No 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan Permen PAN-RB No 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Selain itu, Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi telah menetapkan sembilan pedoman pelaksanaan reformasi birokrasi. Yaitu, Permen PAN-RB No 7 sampai No 15 Tahun 2010 yang meliputi pedoman tentang pengajuan dokumen usulan sampai mekanisme persetujuan pelaksanaan reformasi birokrasi dan tunjangan kinerja. Pelaksanaan reformasi birokrasi di pemerintah daerah secara resmi baru dicanangkan pada Mei 2013 oleh wakil presiden RI. Namun, tidak berarti pemerintah daerah belum melaksanakan reformasi birokrasi. Pemerintah daerah bahkan sudah melaksanakan reformasi birokrasi sebelum kebijakan reformasi birokrasi nasional dirumuskan Kemen PAN-RB. Pada periode 2010-2014 telah ditetapkan tiga sasaran jangka menengah dan indikator keberhasilan reformasi birokrasi. Sasaran-sasaran itu pada dasarnya ingin mewujudkan pemerintahan yang bersih, efektif, dan akuntabel. Berbagai indikator digunakan untuk mengukur pencapaian sasaran-sasaran tersebut. Indikator itu, di antaranya, indeks persepsi korupsi (IPK), opini BPK (wajar tanpa pengecualian/WTP), integritas pelayanan publik, peringkat kemudahan berusaha, efektivitas pemerintahan, dan instansi pemerintah yang akuntabel (SAKIP). Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh pencapaian target-target indikator, sejauh ini pencapaian sasaran-sasaran tersebut kurang memuaskan. IPK Indonesia tahun 2013, misalnya, hanya mencapai skor 32 (3,2) dari target 50 (5,0) pada tahun ini/2014. Solusi Kebijakan Penyebab lambat dan kurang efektifnya reformasi birokrasi di pemerintah daerah ialah tidak dilaksanakannya reformasi birokrasi secara substansial. Yang terjadi adalah birokratisasi reformasi, yaitu reformasi prosedural (di atas kertas). Energi birokrasi pemerintah daerah terkuras hanya untuk melengkapi dokumen reformasi birokrasi. Selain itu, pemerintah pusat cenderung menyamaratakan kebijakan dan strategi reformasi birokrasi ke semua daerah (one size fits all). Padahal, tiap daerah memiliki permasalahan dan kondisi kepemerintahan yang berbeda. Karena itu, pemerintah pusat mestinya lebih mendorong pemerintah daerah untuk melakukan inovasi-inovasi dan kreatif dalam pelaksanaan reformasi birokrasi. Pemerintah pusat hendaknya tidak memaksa pemerintah daerah untuk menyeragamkan atau menggunakan strategi dan pendekatan reformasi birokrasi yang sama, yang bersifat top down (dari pemerintah pusat), dengan tidak mempertimbangkan permasalahan serta kondisi governance yang spesifik dari tiap-tiap pemerintah daerah tersebut. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar