Banjir
dan Politik-Ekonomi Keadilan Sosial
Fachry Ali ; Salah satu pendiri
Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia)
|
KOMPAS,
21 Januari 2014
SEJAK Sabtu (18/1/2014) pagi
hingga sore, televisi meliput banjir Jakarta dan Bekasi. Dari berbagai
pemandangan, dua hal tampak menonjol: jembatan yang digenangi air (seperti
terlihat di Kampung Pulo, Jatinegara) dan separuh gantungan pakaian terendam
banjir (seperti terlihat di Pejaten, Pasar Minggu).
Sebagai ”anak Betawi” yang besar
di Ragunan, Pasar Minggu, sejak 1960-an saya melihat banjir yang melanda
beberapa wilayah seperti Kampung Melayu atau Pondok Karya (dekat Mampang) dan
beberapa tempat lainnya adalah pemandangan biasa. Namun, banjir di Pejaten
adalah sesuatu yang tak berpreseden. Karena korban banjir pada umumnya
kalangan miskin, yang di Jakarta hingga 18 Januari sore telah menelan tujuh
korban dan 10.000 orang mengungsi, semua ini menimbulkan pertanyaan tentang
strategi pembangunan dan keadilan sosial.
Kecuali tahun-tahun belakangan ini
melanda beberapa kawasan mewah seperti Kelapa Gading atau kawasan Menteng,
banjir di Indonesia pada esensinya mengungkap ketakadilan struktural: efek
destruktif strategi pembangunan yang didasarkan pada logika ekonomi penawaran
dan permintaan. Karena keuntungan ekonomis aktivitas penduduk di
wilayah maju (kota) bersifat segera menghasilkan dan nyata, sebagian besar
sumber daya negara tertuju pada pembangunan infrastruktur dan kelengkapan
hidup di daerah itu.
Sementara itu, wilayah terbelakang
(pedesaan dan pedalaman) menerima sumber daya negara dalam bentuk tetesan.
Menunggu berjam-jam penyeberangan rakit di Kecamatan Gelombang, Aceh Selatan,
pada 1987, kepada saya, kepala Bapeda kabupaten ini mengeluhkan minimnya
penduduk di wilayah itu yang menyebabkan kecilnya alokasi dana Bappenas untuk
pembangunan infrastruktur.
Pemisahan wilayah modal
Hasil logika strategi pembangunan
ini adalah sebuah pemisahan wilayah modal yang radikal. Ini bukan saja
menandai ketimpangan fasilitas dan kesempatan antara wilayah kota dan desa
serta kota produktif secara ekonomi dan yang tak produktif, melainkan juga
memengaruhi watak mobilisasi penduduk.
Tanpa disengaja, strategi pembangunan ini telah berpihak kepada kaum pemodal
dan mendorong ketakmerataan distribusi kekayaan serta kesempatan (untuk
berkembang). Maka banjir, dalam konteks struktural, adalah efek destruktif
investasi dan ekspansi kapital atas wilayah maju tanpa tanggung jawab
dan perencanaan matang.
Untuk memahaminya, kita harus
melihat dua hal pokok dalam sejarah: ”keluhan” sosiolog Belanda WF Wertheim
dalam Indonesian Society in Transition (1956) tentang kecilnya
jumlah penduduk kota Indonesia bahkan sampai dengan 1930-an dan 1870 sebagai
tahun decisive dalam sejarah ekspansi kapital.
Sementara ”keluhan” Wertheim
terkait dengan lambannya modernisasi dan kesadaran nasionalisme rakyat
Indonesia, sejarawan Inggris Furnivall dalam Netherlands India: A Study of Plural Economy (1944) mencatat
1870 sebagai era kemenangan pandangan ”pasar” atas ekonomi dipimpin negara di
parlemen Belanda. Keduanya, seperti akan dilihat, membantu memahami fenomena
banjir dewasa ini.
Tahun 1870 bukan saja berkaitan
dengan pembubaran Sistem Tanam Paksa yang dimulai sejak 1830, melainkan
dimulainya gelombang kehadiran kapital swasta raksasa ke Hindia Belanda atas
dasar ekonomi perkebunan dan ekstraktif. Sesuai dengan sifat ekonomi itu,
penanaman modal ”global” itu terkonsentrasi di wilayah pedesaan, bahkan di
kawasan hutan belantara. Secara struktural, proses ini menciptakan
kutub-kutub kekuasaan otonom di tangan pemilik atau manajer sistem perkebunan
dan industri pertambangan di kawasan pedalaman jauh dari pusat administrasi
pemerintahan.
Untuk kebutuhan administrasi dan
pelayanan ekspor-impor dan yang berkaitan dengan itu, kaum kapitalis yang
berpusat di pedalaman membutuhkan kota. Dengan demikian, kota adalah efek
belaka ekspansi kapital pedalaman. Dan, ini penting, kota hanya berfungsi
sebagai ”pelayan”.
Tak mengherankan, catat sejarawan
Australia Anthony Reid dalam The
Blood of the People (1979), para manajer perkebunan di Sumatera
Utara memandang rendah pejabat praja kolonial yang mengatur pemerintahan. Ini
sekaligus menjelaskan mengapa pertumbuhan penduduk kota-kota berlangsung
lamban. Karena modal berada di pedalaman, kota tak menawarkan insentif
material bagi migrasi penduduk desa. Dengan kata lain, kedatangan modal
global pertama sejak 1870 itu justru menyebar di pedalaman, bukan di pusat
administrasi pemerintahan.
Karena Revolusi Nasional
(1945-1949), ”politik nasionalisasi” (1957-1958), dan ”politik isolasi”
(1963-1966), modal global tak singgah dalam Indonesia merdeka. Hanya dalam
periode Orde Baru (1967-1998) negara (kembali) mampu menarik modal global.
Namun, berbeda dengan periode 1870, sebagian besar investasi modal global
masa Orde Baru tertuju pada sektor yang berhubungan dengan industri
perkotaan, baik untuk konsumsi domestik maupun ekspor.
Maka, strategi pembangunan yang
ditandai oleh membiaknya kawasan manufaktur atau pengolahan ini secara
struktural bersifat segera menghasilkan dan didasarkan pada logika penawaran
dan permintaan. Tepat di titik ini, dengan alasan kelengkapan infrastruktur
dan kebutuhan menelurkan hasil yang segera, strategi pembangunan itu lebih
berpihak ke wilayah perkotaan daripada pedesaan dan kawasan pedalaman.
Inilah yang menyebabkan sumber
daya negara terkonsentrasi di wilayah maju atau kota dengan efek berganda.
Jika pada periode ekonomi perkebunan dan ekstraktif kota adalah ”pelayan”,
kini menjadi ”panglima”. Infrastruktur kota yang kian lengkap, ramifikasi
efek industri manufaktur pada varian aktivitas ekonomi telah melipatgandakan
mekanisme penawaran dan permintaan terhadap berbagai kebutuhan barang dan
pelayanan.
Efek berantai
Efek berantainya bukan saja selalu
timbul sumber-sumber ekonomi baru di perkotaan bersifat segera menghasilkan,
melainkan juga meningkatkan pendapatan per kapita penduduk. Maka, di samping
meningkatnya kemampuan konsentrasi akumulasi modalnya, proses ini kian
melancip pada radical spatial capital segregation antara kota
dengan wilayah pedesaan dan pedalaman. Kota, pada akhirnya, menjadi sumber
paling utama dinamika ekonomi nasional.
Namun, ”kemajuan-kemajuan” inilah
yang menjadi sumber utama banjir yang dialami setiap tahun justru di kawasan
perkotaan. Pertama, konsentrasi sumber daya negara di wilayah-wilayah
maju telah mengabaikan pembangunan infrastruktur dan ekonomi kawasan pedesaan
dan pedalaman. Kedua, ”kemajuan” ekonomi kota melahirkan kerakusan terhadap
ruang. Seperti kita lihat di pusat dan pinggiran perkotaan, pembangunan
perumahan dan mal serta pabrik manufaktur telah berlangsung di atas dan
menghabiskan lahan pertanian, termasuk daerah resapan air.
Ketiga, akibat spatial
capital segregation, kawasan desa dan pedalaman kekurangan pasokan kapital
dan mendorong migrasi penduduk ke wilayah perkotaan. Di samping menjelaskan
tingginya pertumbuhan penduduk kota dewasa ini, migrasi ini menambah rumit
penanganan banjir. Hadir ke wilayah kota tanpa andalan keterampilan memadai,
sebagian besar kelompok terakhir ini mendiami lahan milik negara: kawasan
resapan banjir dan daerah tepi atau berdekatan dengan sungai. Kita tahu,
semua ini kian mempersulit penanganan banjir.
Pada akhirnya secara konseptual
haruslah disadari bahwa masalah banjir bukanlah fenomena teknis, melainkan
sesuatu yang menyangkut ketidakadilan distribusi sumber daya negara pada
tingkat nasional dan strategi pembangunan. Semua ini mengarah pada tuntutan
politik-ekonomi keadilan sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar