Menghindari
Kelumpuhan Mahkamah Konstitusi
Moh Mahfud MD ;
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Mantan Ketua MK
|
KOMPAS,
07 Januari 2014
BERLEBIHAN
dan tak berdasar jika untuk menghindari kelumpuhan Mahkamah Konstitusi
setelah vonis Pengadilan Tata Usaha Negara yang membatalkan Keputusan
Presiden No 87/P tanggal 22 Juli 2013, Presiden harus melakukan banding dan
kasasi atas putusan itu.
Ada cara lain yang lebih elegan
secara hukum untuk menghindarkan Mahkamah Konstitusi (MK) dari kelumpuhan
tersebut. Seperti diketahui, pada 23 Desember 2013
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta telah membatalkan Keputusan
Presiden (Keppres) No 87/P tanggal 22 Juli 2013 yang berisi pengangkatan
Patrialis Akbar dan Maria Farida Indrati sebagai hakim konstitusi periode
2013- 2018. Alasan PTUN, sesuai dengan dalil-dalil para penggugat,
pengangkatan kedua hakim tersebut tak sesuai dengan ketentuan Pasal 19
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).
Menurut Pasal 19 UU MK, pemilihan
hakim konstitusi harus ”dilakukan secara transparan dan partisipatif” dengan
penjelasan, ”Calon hakim konstitusi harus dipublikasikan di media cetak dan
elektronik untuk mendapatkan masukan dari masyarakat.”
PTUN benar saat membatalkan
Keppres itu karena pengangkatan hakim yang bersangkutan terasa tiba-tiba, tak
ada pengumuman siapa saja para calonnya, siapa calon-calon pembanding atas
hakim yang diangkat itu, tak ada juga berita kapan dan bagaimana dilakukan
uji kelayakan dan kepatutan atas calon itu.
Vonis PTUN itu membuat heboh
karena dua hal. Pertama, masyarakat terkejut atas keluarnya vonis itu, tetapi
langsung memberi apresiasi kepada PTUN Jakarta yang telah begitu berani
membatalkan Keppres. Kedua, MK terancam lumpuh alias takkan bisa beroperasi
jika vonis PTUN itu dilaksanakan. Pemerintah sendiri sangat reaktif, langsung
menyatakan akan naik banding atas putusan itu agar MK sebagai lembaga negara
tidak lumpuh.
Ancaman kelumpuhan
Logika tentang ancaman kelumpuhan
MK memang bisa dipahami. Jika Patrialis Akbar dan Maria Farida berhenti
sebagai hakim MK, jumlah hakim di mahkamah tersebut tinggal enam orang.
Padahal, sidang pleno MK hanya sah jika dihadiri sekurang-kurangnya tujuh
hakim. Berdasarkan hal itu, agar MK tidak lumpuh, pemerintah akan naik
banding ke PTUN, bahkan juga akan terus kasasi. Selama proses upaya hukum
tersebut, kedua hakim itu bisa terus menjabat hakim sampai ada vonis yang
berkekuatan hukum tetap.
Dari logika hukum, langkah banding
untuk terus kasasi tersebut tidaklah salah sebab memang begitulah hukum
mengatur kalau ada yang akan melakukan upaya hukum. Namun, dari sudut etika
dan moral publik, langkah itu terasa tidak tepat. Pemerintah melakukan upaya
hukum banding dan akan terus kasasi, itu hanya untuk mengulur-ulur waktu
sampai vonis PTUN itu berkekuatan hukum tetap, padahal masalahnya sudah
gamblang.
Selama menunggu vonis akhir atas
upaya hukum pemerintah itu, MK sebagai institusi dirugikan karena dua hal.
Pertama, sidang-sidang MK seperti
dipaksakan dilakukan oleh hakim yang secara yuridis sudah dinyatakan tidak
sah oleh PTUN.
Kedua, MK sendiri digantung atau
dikatung-katungkan untuk tidak merekrut hakim baru sampai ada vonis yang
berkekuatan hukum tetap yang, jika sampai kasasi, diperkirakan makan waktu
tak kurang dari setahun.
Jalan lain
Secara formal, prosedural langkah
pemerintah banding dan kasasi tidak salah. Namun, secara etika dan moral
publik tidak bagus karena terkesan tak mau kalah dan hanya mau mengulur-ulur
waktu.
Sebenarnya ada jalan lain yang
juga benar secara prosedural tetapi tidak melukai etika dan moral publik:
pemerintah menerima vonis PTUN itu dan segera mengeluarkan peraturan
pemerintah pengganti undang- undang (perppu) yang berisi pengangkatan hakim
antara, yakni hakim-hakim yang diangkat sampai terpilihnya hakim-hakim baru
sesuai dengan UU MK. Alasan kegentingan untuk mengeluarkan perppu pun ada:
ancaman terjadinya kelumpuhan MK.
Para mantan hakim MK, seperti
Shodiki, Maruarar, dan Mukthie Fadjar, dapat diangkat sebagai hakim-hakim
antara melalui perppu itu. Tak perlu ada kekhawatiran atas akibat jika,
ternyata, Perppu itu ditolak oleh DPR pada masa sidang berikutnya. Sebelum
perppu itu dibahas di DPR pada masa sidang berikutnya, hendaknya hakim-hakim
baru yang definitif sudah bisa diangkat sehingga saat itu Perppu tersebut
sudah selesai tugasnya.
Jika sebelum pembahasan perppu di
DPR ternyata hakim- hakim definitif sudah diangkat, menjadi tidak relevan
untuk dipersoalkan apakah perppu itu diterima atau ditolak DPR. Alternatif
ini lebih elegan dan sesuai dengan prosedur hukum yang tersedia.
Karena itu, sebaiknya pemerintah
tidak usah naik banding, atau, kalau sudah terlanjur melakukannya, maka
sebaiknya banding itu segera dicabut atau ditarik kembali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar