Gerakan
Mahasiswa dan
Politik
Liberalisasi Pendidikan Pasca-2014
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar ; Alumnus Jurusan Hubungan Internasional UGM
|
INDOPROGRESS,
08 Januari 2014
BEBERAPA aktivis
mahasiswa berkumpul di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, 12 Desember
2013. Hari itu, MK menggelar sidang pembacaan putusan uji materiil atas UU
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang diajukan oleh dua
elemen mahasiswa Universitas Andalas. Sidang itu merupakan puncak dari
persidangan yang telah berlangsung di awal tahun 2013.
Ketua Majelis Hakim,
yang juga menjabat Ketua MK, Hamdan Zoelva, kemudian membacakan putusan:
gugatan ini ditolak dan UU 12/2012 dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD
1945.
Hasil ini jelas
membuat para aktivis yang bersolidaritas terhadap gugatan ini senewen. Dalam pernyataan sikapnya, yang
disampaikan setelah persidangan, para aktivis yang mengikuti jalannya
persidangan menyatakan bahwa MK tidak konsisten dengan ‘memuluskan’ perangkat
hukum yang secara substansial mereka tolak sendiri ketika membatalkan UU BHP
pada tahun 2010.
Kendati demikian,
masih ada satu gugatan terhadap UU Pendidikan Tinggi yang belum diputus oleh
MK –gugatan yang dilakukan oleh Komite Nasional Pendidikan (KNP). Putusan
terhadap gugatan ini akan menentukan bagaimana nasib UU ini ke depan.
Neoliberal governmentality
Ditolaknya gugatan
atas UU Pendidikan Tinggi oleh Mahkamah Konstitusi ini menjadi semacam
‘antiklimaks’ bagi proses penolakan wacana liberalisasi pendidikan yang telah
berlangsung sejak lebih satu dasawarsa silam. Setelah sempat menuai sedikit
‘kemenangan’ dengan dibatalkannya UU Badan Hukum Pendidikan pada tahun 2010,
proses liberalisasi kini menapak babak baru dengan UU Pendidikan Tinggi.
Setidaknya, ada tiga
alasan mengapa UU Pendidikan Tinggi layak untuk ditolak (Umar, 2012). Pertama, penetrasi kapitalisme global, yang
tercermin dari kooptasi wacana-wacana neoliberal tentang pendidikan tinggi
pada pasal-pasal krusial mengenai relasi institusi pendidikan dan dunia
usaha, transformasi PTN ke Badan Hukum, otonomi (non-akademik), hingga
internasionalisasi.
Kedua, posisi PTN sebagai
‘Badan Hukum’ yang mengisyaratkan adanya otonomi non-akademik serta kebebasan
PTN yang memiliki status ini untuk menentukan ‘tarif’ sendiri. Hal ini
dipertegas oleh PP 58/2013 yang memberi dasar operasional bagi penentuan PTN
Badan Hukum.
Ketiga, diskursus yang
melepaskan ‘negara’ dari tanggung jawabnya untuk membiayai pendidikan. Dengan
format badan hukum, disertai oleh klausul-klausul ‘kabur’ tentang peran
negara, ‘negara’ tidak lagi punya tanggung jawab besar untuk memastikan biaya
kuliah tidak mahal –semua sudah diatur dengan dalih ‘indeks kemahalan
wilayah’.
Tiga argumen ini
menyiratkan satu hal: UU Pendidikan Tinggi, pada dasarnya, adalah satu paket
dengan skema liberalisasi pendidikan yang berlangsung secara global. Apa yang
terjadi di Indonesia, melalui UU Pendidikan Tinggi dan perangkat ‘badan hukum
pendidikan’, terjadi juga di beberapa negara ‘dunia ketiga’, seperti Uganda,
Thailand, atau India (Prasad, 2005; Mamdani, 2007; Collins, 2009).
Pola-pola
‘liberalisasi’ sangat khas: menjadikan institusi pendidikan otonom,
menanamkan logika kompetisi, dan mereduksi peran negara dalam pembiayaan
pendidikan (Collins, 2009). Dengan demikian, otonomi yang merupakan jantung
dari liberalisasi sebetulnya mengalihkan kekuasaan ‘negara’ pada kekuasaan
‘pasar’.
Hal yang menarik
untuk dilihat adalah bahwa otonomi tidak membuat kampus ‘independen’ dari tarik-menarik
kekuasaan politik –sebagaimana dipahami secara keliru oleh 7 rektor PT BHMN—
tetapi justru memindahkan lokus kekuasaan dari satu kanal ke kanal lainnya.
Pertanyaannya,
bagaimana diskursus tentang liberalisasi pendidikan ini diturunkan dalam praktik
kebijakan di Indonesia? Di sini, konsep ‘governmentality’ yang dibawa oleh
Foucault (1991) menjadi penting untuk digunakan. Foucault melihat bahwa
‘government’ (pemerintahan) sejatinya tidak dilihat hanya sebagai institusi
politico-birokratik yang mengatur masyarakat, tetapi perlu dilihat dalam
dimensinya sebagai ‘cara mengoperasikan kekuasaan.’
Berkebalikan dengan
pandangan klasik yang melihat kekuasaan pada institusi-institusi politik,
Foucault melihat kekuasaan menyebar dan mewujud dalam kehidupan sehari-hari
melalui ‘government.’ Ia mencontohkan, misalnya, ‘ekonomi,’ sebagai salah
satu bentuk governmentality melalui
penciptaan kemakmuran.
Governmentality, sebagaimana
modus-modus kekuasaan lain, beroperasi melalui apa yang disebut
oleh Foucault sebagai ‘technologies of the self,’
atau apa yang kemudian dikenal sebagai biopolitics. Untuk
memastikan ‘pemerintahan’ berjalan’ dengan baik, subyek menggunakan
teknologi-teknologi yang memungkinkan kekuasaan terinternalisasi dalam
aktivitas sehari-hari dan ter-normalisasi dalam kehidupan masyarakat, tanpa
ia menyadari bahwa ia sedang diperintah (governed).
Liberalisasi
pendidikan bisa dilihat dalam logika ini. Wacana tentang liberalisasi
pendidikan menggunakan berbagai modus kekuasaan yang secara efektif, walau
bertahap, mampu menanamkan wacana liberalisasi tersebut dalam praktik
pemerintahan sekaligus mendisiplinkan para penentangnya.
Modus-modus
liberalisasi ini terangkai dalam jalinan erat kekuasaan antara Bank Dunia,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, kampus-kampus besar, akademisi, dan
aktor-aktor lain. Jejaring ini menunjukkan bahwa pola kekuasaan dalam
neoliberalisme itu tersebar, dan itu meniscayakan adanya depolitisasi
‘negara’ dan re-politisasi atas institusi-institusi lain.
Modus-Modus Liberalisasi
Bagaimana wacana
tentang liberalisasi ditanamkan di Indonesia? Kita bisa melihat jalinan
relasi kekuasaan tersebut dalam pemaparan berikut.
Pertama, liberalisasi
pendidikan ditanamkan melalui institusi teknokratik di tingkat kementerian,
yang kemudian mendorongnya menjadi kebijakan publik. Bank Dunia, sebagai
institusi yang sangatgetol mewacanakan
liberalisasi pendidikan tinggi, menggunakan Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi sebagai sarana utama.
Modus yang digunakan
oleh Bank Dunia adalah ‘pinjaman proyek’ (Bappenas, 2013).
Dalam laporan
Bappenas, per 31 Desember 2012, 43% dari keseluruhan pinjaman proyek dikelola
oleh Kementerian Pendidikan Tinggi. Bank Dunia meminjamkan dana untuk
melakukan ‘reformasi pendidikan tinggi’ kepada pemerintah, melalui beberapa
proyek seperti Development of Undergraduate Education (DUE), Higher Education for Relevance and Efficiency (HERE),
danManaging Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE).
Hal menarik dapat
ditemukan pada laporan pelaksanaan proyek HERE dan DUE. Di
2 laporan tersebut, per 2012 (proyek ini berlangsung bertahap, 1995-2002 dan
2005-2012) tertera bahwa Bank Dunia memberikan dukungan terhadap pembentukan
Dewan Pendidikan Tinggi (Board of Higher Education)
di Direktorat Jendera Pendidikan Tinggi, yang bertugas untuk menyusun
kebijakan-kebijakan teknis Pendidikan Tinggi.
Posisi Dewan
Pendidikan Tinggi ini menarik. Laporan Bank Dunia menyebut bahwa lembaga ini
bertugas memberikan saran-saran kepada Direktorat yang kemudian diteruskan
menjadi perubahan kebijakan untuk memenuhi ‘paradigma baru’ pendidikan (World
Bank, 2003: 7). Di samping itu, Dewan Pendidikan Tinggi ini juga melakukan
supervise atas pelaksanaan rencana strategis jangka panjang kebijakan
pendidikan tinggi di Indonesia, yang pembuatannya juga disponsori oleh proyek
Bank Dunia (World Bank, 2003).
Bank Dunia terlibat
baik dalam pembentukan maupun capacity building dari
Dewan ini. Di laporan proyek DUE, mereka mendukung lembaga ini dengan jumlah
dana yang cukup besar, total $6,4 juta. Dewan Pendidikan Tinggi inilah yang
kemudian terlibat dalam perumusan UU Pendidikan Tinggi, dan terlibat dalam
sosialisasi di mana-mana.
Perumusan UU
Pendidikan Tinggi (sebelumnya UU BHP) juga tidak lepas dari dukungan Bank
Dunia. Melalui proyek HERE, Bank
Dunia mendukung ‘reformasi perundang-undangan tentang pendidikan tinggi’
melalui skema pinjaman lunak mereka. Laporan pelaksanaan proyek HERE terang-terangan menyebut bahwa UU baru
tentang pendidikan tinggi ini adalah buah dari kesepakatan dan harus dipenuhi oleh pemerintah.
Awalnya, pelaksanaan
dari proyek ini adalah UU Badan Hukum Pendidikan. Namun, gerakan masyarakat
sipil dan mahasiswa melalui Judicial Review di
Mahkamah Konstitusi menghambat pelaksanaan ini. Tak lama kemudian, tahun
2012, muncul UU baru yang membawa liberalisasi ini berjalan secara
lebih soft. Hal menarik lain yang perlu diperhatikan
adalah bahwa proyek ini berakhir tahun 2012, sehingga menyebabkan pemerintah
harus cepat-cepat mengesahkan UU ini sebagai bentuk kepatuhan terhadap Bank
Dunia (World Bank, 2013).
Dua laporan proyek
ini mencerminkan dua hal: (1) proyek liberalisasi pendidikan sejatinya tidak
dilakukan melalui jalur ‘politis’ semata (via DPR dan Kementerian) tetapi
juga melalui jalur teknokratis; (2) hal ini menyiratkan satu fakta penting:
teknokrasi tidak bebas nilai dan kepentingan. Teknokrasi menjadi pilar
penting bagi lembaga-lembaga keuangan seperti Bank Dunia untuk menanamkan
diskursus dalam kebijakan publik di Indonesia.
Kedua, wacana liberalisasi
pendidikan di Indonesia ditanamkan melalui jejaring pengelola universitas dan
akademisi (intelektual). Hal ini dapat kita lacak pada proses persidangan uji
materiil UU Pendidikan Tinggi di Mahkamah Konstitusi. Beberapa saat setelah
persidangan FPP dan BEM Unand selesai dan Komite Nasional Pendidikan siap
mengajukan gugatan, muncul pernyataan sikap yang langsung ditandatangani oleh
tujuh rektor Perguruan Tinggi.
Isi Pernyataan sikap
7 PTN itu adalah sebagai berikut:
1. Otonomi perguruan tinggi yang
meliputi otonomi akademik dan otonomi nonakademik bersifat KODRATI bagi
perguruan tinggi.
2. Otonomi akademik merupakan
prasyarat untuk melaksanakan tridharma perguruan tinggi
3. Otonomi nonakademik merupakan
prasyarat untuk mewujudkan pengelolaan perguruan tinggi yang baik.
Ketiadaan otonomi non akademik akan meniadakan otonomi akademik.
4. UU Nomor 12 Tahun 2012
menjamin otonomi perguruan tinggi juga mengatur dengan tegas tanggung jawab
negara atas penyelenggaraan dan pendanaan pendidikan tinggi
5. Untuk menjamin otonomi
nonakademik dalam rangka meningkatkan mutu diperlukan kewenangan: pengambilan
keputusan secara mandiri, penerapan merit system dalam pengelolaan sumberdaya
manusia, pengelolaan aset, dan pengelolaan keuangan.
6. Kewenangan tersebut di atas
dalam sistem penyelenggaraan dan keuangan Negara hanya dapat dilakukan oleh
PTN badan hukum.
7. Dalam PTN badan hukum,
masyarakat sebagai pemangku kepentingan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dalam pengambilan keputusan pengelolaan perguruan tinggi.
(dikutip dari web ITB, 2013)
Hal ini cukup menarik
untuk dikritisi. Mengapa gugatan atas UU ini justru direspons secara
reaksioner justru oleh 7 rektor PT BHMN? Mengapa perguruan tinggi ini sangat
‘bernafsu’ untuk mempertahankan privilege yang
mereka dapatkan melalui ‘otonomi pendidikan?’ Dari mana semua argumen ini
berasal?
Kita bisa melacak
hal tersebut dari kata pertama: ‘otonomi adalah sesuatu yang bersifat kodrati’ bagi perguruan tinggi. Otonomi yang dimaksud
cukup jelas: kewenangan mengelola perguruan tinggi tanpa pelibatan
negara. Statement ini menyiratkan
satu hal penting: diskursus ‘otonomi’ yang dibawa oleh Bank Dunia secara
jelas ternormalisasi dalam benak dan pikiran elit-elit universitas.
Seperti jamak
diketahui, 7 Perguruan Tinggi yang menandatangani dukungan terhadap UU
Pendidikan Tinggi sangat menikmati otonomi yang mereka dapatkan
pasca-pemberlakuan status BHMN. Konsekuensi BHMN ada dua: (1) negara mencabut
subsidi terhadap perguruan tinggi; (2) kampus diberi kewenangan mencari dana
sendiri. Hal ini membantu proses normalisasi yang membuat logika ‘otonomi
neoliberal’ bertahan dan terbingkai di univetrsitas.
Diskursus neoliberal
yang menjauhkan kampus dari negara juga tertanam di benak para intelektual
kampus. Proses persidangan uji materiil UU Pendidikan Tinggi memperlihatkan
hal ini. Dalam proses persidangan, masing-masing kampus menampilkan para
intelektual kampus yang, entah sukarela atau dibayar, memberikan kesaksian
untuk membela logika otonomi neoliberal di UU Pendidikan Tinggi.
Sebagai contoh, ada
salah satu intelektual di kampus terkemuka yang memberikan kesaksian –bahwa
biaya kuliah yang murah hanya akan menguntungkan kaum menengah ke atas.
Mungkin beliau lupa bahwa Deklarasi Universal HAM telah menyatakan bahwa
‘pendidikan tinggi harus bisa diakses semua orang atas dasar kemampuan.’
Kita tidak perlu
mempersoalkan lebih jauh apa yang ia sampaikan. Yang jadi persoalan, mengapa
para intelektual tersebut bersaksi dengan membela logika otonomi? Ada satu
hal yang bisa di-address: baik secara tidak sadar
maupun, para intelektual tersebut telah menggunakan pengetahuannya untuk
melegitimasi wacana neoliberal dalam UU Pendidikan Tinggi.
Kesaksian
intelektual di atas, juga kesaksian lain yang disampaikan oleh dosen-dosen
dari kampus terkemuka, dengan jelas memperlihatkan bahwa sebagaimana ‘teknokrat,’
intelektual tidak bebas nilai dan kepentingan. Pengetahuan, sebagaimana kata
Foucault (1978), selalu punya relasi kekuasaan tertentu, yang beroperasi
melalui kesaksian di persidangan, tulisan di koran, dll.
Di sini, kita bisa
melihat bahwa diskursus neoliberal tentang pendidikan tinggi juga ditanamkan
melalui para intelektual, yang menggunakan pengetahuan, kemampuan retorika,
dan ‘nama besar’ yang mereka miliki untuk melegitimasi wacana tersebut.
Dengan kesaksian para intelektual ini, pertarungan tidak hanya terjadi pada
level kekuasaan formal, tetapi juga pengetahuan.
Ke Mana Muaranya?
Namun, hal
terpenting yang perlu dibaca dari modus-modus liberalisasi sebagaimana
dipaparkan di atas adalah: ke mana muara dari proses liberalisasi tersebut?
Dan bagaimana kita bisa membaca arah liberalisasi tersebut setelah tahun 2014
ini?
UU Pendidikan Tinggi
dan peraturan-peraturan di bawahnya, merepresentasikan dengan baik logika
kapitalisme neoliberal yang beroperasi di wilayah pendidikan tinggi. Namun,
relasi-relasi diskursif tersebut akan bermuara pada realitas yang nyata. UU
Pendidikan Tinggi merupakan salah satu penopang dari apa yang saat ini
dominan di dunia: kapitalisme global.
Gambaran tentang
‘muara’ dari proses liberalisasi pendidikan ini dengan baik digambarkan oleh
Satryo Brodjonegoro, salah seorang proponen liberalisasi yang juga ‘orang
kepercayaan’ Bank Dunia di dunia pendidikan tinggi Indonesia. Ia menulis
sebuah kertas kerja yang berjudul “Higher Education Reform in
Indonesia” (2012) yang menggambarkan cara kerja liberalisasi
pendidikan dan outcomeapa yang mereka inginkan.
Ia memulai
tulisannya dengan melihat bahwa saat ini, pendidikan tinggi Indonesia dilanda
‘krisis.’ Ada semacam ‘kegagapan’ dari pendidikan tinggi dalam merespons
perkembangan produksi yang semakin kompetitif, global, dan knowledge-based tapi pendidikan tinggi sama
sekali tidak disiapkan untuk menghadapi pasar yang berkembang itu.
Atas dasar itulah
muncul gagasan tentang ‘reformasi pendidikan tinggi’ yang mulai muncul di
Indonesia sejak 1999. Menurutnya, gagasan ‘reformasi pendidikan tinggi’ lahir
dari kebutuhan untuk merespons adanya kebutuhan industri (pada spektrum yang
lebih luas: pasar) untuk melakukan ‘konvergensi’ dengan pengetahuan.
Oleh sebab itu,
menurutnya, ‘pendidikan tinggi’ sebagai salah satu proses dalam produksi
pengetahuan yang beroperasi pada skala global. Universitas menjadi semacam
‘holding institution’ yang bekerja dalam produksi pengetahuan. Universitas
setidaknya punya dua peran penting: (1) untuk mencetak ‘tenaga kerja’
yang siap dikaryakan dalam industry; (2), menghasilkan
riset yang berguna untuk memecahkan masalah industri.
Dengan demikian,
diperlukan semacam Quality Control untuk
memastikan universitas bisa mencetak produk yang
baik (‘produk’ di sini adalah mahasiswa). Oleh sebab itu, demi Quality Control, perlu ada reposisi mengenai
peran negara dalam pengelolaan dan pembiayaan pendidikan tinggi.
Negara, kemudian
hanya bertugas untuk menjaga agar produksi pengetahuan berjalan lancar dan
punya kualitas melalui regulasi-regulasi yang melatarbelakanginya. Kita bisa
lihat posisi negara dalam tulisan Satryo ini: sebagai ‘penjaga malam.’
Pemaparan Satryo
Brodjonegoro tersebut memberikan kita sebuah kesimpulan bahwa agenda
‘reformasi pendidikan tinggi’ ditanamkan di atas diskursus tentang
‘kedaulatan pasar.’ Reformasi pendidikan tinggi menjadikan ‘pengetahuan’
sebagai komoditas; Pengetahuan adalah sesuatu yang bisa diakumulasikan dan
mendapatkan keuntungan bagi pemilik modal.
Pemaparan
selanjutnya dari Satryo Brodjonegoro semakin menarik. Dengan bantuan Bank
Dunia, reformasi pendidikan tinggi dimulai pada tahun 1996 melalui proyek DUE
yang melakukan reformasi kelembagaan di pendidikan tinggi. Agar pendidikan
tinggi compatible dengan tren perkembangan pasar global,
universitas harus dilepaskan dari pembiayaan negara dan bisa mencari dana
sendiri melalui partnership.
Tulisan di atas
memberikan gambaran bagaimana liberalisasi pendidikan akan berakhir.
Liberalisasi pendidikan, secara telanjang, memiliki fungsi untuk menjadikan
pengetahuan sebagai komoditas dalam pasar global. Dengan semakin
berkembangnya kapitalisme finansial dan post-fordisme, pengetahuan menjadi
instrument penting dalam kapitalisme global.
Dalam kapitalisme
global saat ini, pengetahuan adalah sesuatu yang tidak hanya diproduksi
melalui pendidikan dan riset di kampus, tetapi juga dipertukarkan untuk uang.
Pengetahuan menjadi komoditas penting. Karena pengetahuan dipertukarkan, maka
pendidikan tinggi sebagai institusi yang memproduksi pengetahuan juga ‘dipaksa’
untuk mengikuti logika tersebut.
Inilah yang kemudian
kita sebut sebagai ‘komodifikasi pengetahuan, yang menemukan momentumnya
dalam proses liberalisasi pendidikan. Dengan membuat iklim semakin kompetitif
dalam skema liberalisasi, kita melihat fenomena riset-riset yang orientasinya
adalah memenuhi kebutuhan kapitalis (Callinicos, 2006).
Konsekuensinya,
industri harus punya akses dan relasi yang baik dengan kampus.
Tapi tidak hanya
itu. Kampus tidak hanya memproduksi pengetahuan, tetapi juga tenaga kerja
yang siap pakai untuk keperluan industri. Saat ini, muncul apa yang sering
disebut sebagai ‘kelas menengah,’ yang sebetulnya adalah para ‘borjuis
upahan’ –mereka yang mengambil bagian sebagai ‘manajer’ dalam modus produksi
kapitalisme. Posisi perguruan tinggi menjadi penting untuk menghasilkan
kelas menengah semacam ini.
Namun, tentu saja,
ada sesuatu yang perlu diperhatikan. Modus produksi kapitalisme tidak melulu
bertumpu pada pengetahuan atau kelas menengah yang bekerja kantoran untuk
menopang kapitalisme. Proses produksi pasti menghasilkan sesuatu yang real –pakaian, kaus kaki, sepatu, makanan,
minuman, dll— yang tidak bisa dibuat hanya dengan pengetahuan.
Siapakah yang
membuat? Tentu saja: para buruh pabrik atau buruh tani di pedesaan. Kapitalisme
selalu memerlukan tenaga mereka. Dengan demikian, kapitalisme meniscayakan
‘kasta’ yang dikemas secara modern. Itulah sebabnya, kita bisa memahami bahwa
proses liberalisasi memerlukan adanya ‘seleksi’ –mereka yang tak sanggup
bersaing akan menempati posisi terbawah dalam moda produksi kapitalis saat
ini.
Dengan demikian, ada
dua hal penting yang menjadi ‘muara’ dari proses liberalisasi pendidikan
selama ini, yaitu: (1) komodifikasi pengetahuan, yakni menjadikan
‘pengetahuan’ sebagai komoditas dalam pasar global, dan (2) menjadikan
universitas sebagai ‘mesin produksi’ tenaga kerja terdidik yang akan menjadi
penopang penting dalam kapitalisme global sekaligus mengeksklusi mereka yang
tidak punya modal dan pengetahuan.
Pasca-2014: Tantangan Gerakan
Mahasiswa
Kita sudah membaca
bagaimana wacana liberalisasi pendidikan ditanamkan di Indonesia dan ke mana
wacana tersebut akan bermuara. Pertanyaannya, bagaimana gerakan mahasiswa
bisa melawan wacana tersebut, terutama di ‘tahun politik’ yang akan
menentukan nasib Indonesia lima tahun ke depan?
Tahun 2014 akan
membawa Indonesia pada dua kemungkinan: tetap bertahan pada tatanan yang ada
saat ini atau melakukan transformasi. Namun, satu hal menjadi catatan:
tatanan kapitalisme yang ada di Indonesia tidak hanya beroperasi di wilayah
kekuasaan, tetapi juga terjalin secara rumit melalui teknokrasi, pengetahuan,
kebijakan sosial, dsb.
Liberalisasi
pendidikan menjadi satu potret cara kerja kapitalisme yang menyebar. Dari
pembacaan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa gagasan liberalisasi
pendidikan tidak ditanamkan melalui satu kanal, tetapi melibatkan
relasi-relasi berbagai kanal (teknokrasi, proyek, pengelolaan universitas,
pengetahuan, dll) yang menuju pada satu muara yang sama (komodifikasi
pengetahuan).
Untuk itu, gerakan
mahasiswa perlu membingkai ulang gerakannya dalam tiga hal. Pertama, gerakan mahasiswa perlu merumuskan ulang
strategi dan pembacaannya terhadap proses liberalisasi pendidikan di
Indonesia. Gerakan mahasiswa perlu memperhatikan bagaimana wacana
liberalisasi pendidikan ini dirumuskan di tataran teknokratis dan akademik.
Oleh sebab itu, GM harus punya strategi pengetahuan (dan strategi lain) yang
cukup canggih sehingga bisa menghadapi para teknokrat dan intelektual
pengusung liberalisasi secara lebih efektif.
Kedua, gerakan mahasiswa
perlu menyadarkan partai politik dan calon presiden tentang bahaya
liberalisasi pendidikan, modus-modus operasinya, hingga siapa saja yang
bermain di dalamnya. Dengan membangun kesadaran para politisi itu, gerakan
mahasiswa akan tahu siapa yang benar-benar berpihak pada mahasiswa. Tahun
2014 bisa menjadi momentum penting.
Ketiga, gerakan mahasiswa
perlu memikirkan gerakan bersama dengan elemen-elemen lain untuk menghadang
isu ini. Sebab, pada dasarnya liberalisasi pendidikan tidak hanya merugikan
mahasiswa, tetapi juga buruh, petani, pedagang kecil, dan siapapun yang ingin
memberikan pendidikan yang baik pada anaknya. Maka dari itu, gerakan
mahasiswa tak boleh sendiri dan harus bergerak bersama-sama elemen rakyat
lain dalam menghadang liberalisasi pendidikan di tengah jalan politik 2014.
Saya kira, sudah
saatnya gerakan mahasiswa keluar dari kegalauannya selama ini dan
mengartikulasikan isu dan wacana secara mandiri. Gerakan mahasiswa di Cile
dan Kanada telah berhasil menjadikan isu ini sebagai fokus utama mereka.
Kalau gerakan mahasiswa gagal di tahun ini, bisa jadi, para mahasiswa dan
calon mahasiswa akan menderita 5-10 tahun mendatang.
Mahasiswa Indonesia, bersatulah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar