Selasa, 14 Januari 2014

Gerakan Mahasiswa dan Politik Liberalisasi Pendidikan Pasca-2014

Gerakan Mahasiswa dan

Politik Liberalisasi Pendidikan Pasca-2014

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar  ;   Alumnus Jurusan Hubungan Internasional UGM
INDOPROGRESS,  08 Januari 2014
                                                                                                                        


BEBERAPA aktivis mahasiswa berkumpul di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, 12 Desember 2013. Hari itu, MK menggelar sidang pembacaan putusan uji materiil atas UU Nomor 12 Tahun 2012  tentang Pendidikan Tinggi yang diajukan oleh dua elemen mahasiswa Universitas Andalas. Sidang itu merupakan puncak dari persidangan yang telah berlangsung di awal tahun 2013.

Ketua Majelis Hakim, yang juga menjabat Ketua MK, Hamdan Zoelva, kemudian membacakan putusan: gugatan ini ditolak dan UU 12/2012 dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Hasil ini jelas membuat para aktivis yang bersolidaritas terhadap gugatan ini senewen. Dalam pernyataan sikapnya, yang disampaikan setelah persidangan, para aktivis yang mengikuti jalannya persidangan menyatakan bahwa MK tidak konsisten dengan ‘memuluskan’ perangkat hukum yang secara substansial mereka tolak sendiri ketika membatalkan UU BHP pada tahun 2010.

Kendati demikian, masih ada satu gugatan terhadap UU Pendidikan Tinggi yang belum diputus oleh MK –gugatan yang dilakukan oleh Komite Nasional Pendidikan (KNP). Putusan terhadap gugatan ini akan menentukan bagaimana nasib UU ini ke depan.

Neoliberal governmentality

Ditolaknya gugatan atas UU Pendidikan Tinggi oleh Mahkamah Konstitusi ini menjadi semacam ‘antiklimaks’ bagi proses penolakan wacana liberalisasi pendidikan yang telah berlangsung sejak lebih satu dasawarsa silam. Setelah sempat menuai sedikit ‘kemenangan’ dengan dibatalkannya UU Badan Hukum Pendidikan pada tahun 2010, proses liberalisasi kini menapak babak baru dengan UU Pendidikan Tinggi.

Setidaknya, ada tiga alasan mengapa UU Pendidikan Tinggi layak untuk ditolak (Umar, 2012). Pertama, penetrasi kapitalisme global, yang tercermin dari kooptasi wacana-wacana neoliberal tentang pendidikan tinggi pada pasal-pasal krusial mengenai relasi institusi pendidikan dan dunia usaha, transformasi PTN ke Badan Hukum, otonomi (non-akademik), hingga internasionalisasi.

Kedua, posisi PTN sebagai ‘Badan Hukum’ yang mengisyaratkan adanya otonomi non-akademik serta kebebasan PTN yang memiliki status ini untuk menentukan ‘tarif’ sendiri. Hal ini dipertegas oleh PP 58/2013 yang memberi dasar operasional bagi penentuan PTN Badan Hukum.

Ketiga, diskursus yang melepaskan ‘negara’ dari tanggung jawabnya untuk membiayai pendidikan. Dengan format badan hukum, disertai oleh klausul-klausul ‘kabur’ tentang peran negara, ‘negara’ tidak lagi punya tanggung jawab besar untuk memastikan biaya kuliah tidak mahal –semua sudah diatur dengan dalih ‘indeks kemahalan wilayah’.

Tiga argumen ini menyiratkan satu hal: UU Pendidikan Tinggi, pada dasarnya, adalah satu paket dengan skema liberalisasi pendidikan yang berlangsung secara global. Apa yang terjadi di Indonesia, melalui UU Pendidikan Tinggi dan perangkat ‘badan hukum pendidikan’, terjadi juga di beberapa negara ‘dunia ketiga’, seperti Uganda, Thailand, atau India (Prasad, 2005; Mamdani, 2007; Collins, 2009).

Pola-pola ‘liberalisasi’ sangat khas: menjadikan institusi pendidikan otonom, menanamkan logika kompetisi, dan mereduksi peran negara dalam pembiayaan pendidikan (Collins, 2009). Dengan demikian, otonomi yang merupakan jantung dari liberalisasi sebetulnya mengalihkan kekuasaan ‘negara’ pada kekuasaan ‘pasar’.

Hal yang menarik untuk dilihat adalah bahwa otonomi tidak membuat kampus ‘independen’ dari tarik-menarik kekuasaan politik –sebagaimana dipahami secara keliru oleh 7 rektor PT BHMN— tetapi justru memindahkan lokus kekuasaan dari satu kanal ke kanal lainnya.

Pertanyaannya, bagaimana diskursus tentang liberalisasi pendidikan ini diturunkan dalam praktik kebijakan di Indonesia? Di sini, konsep ‘governmentality’ yang dibawa oleh Foucault (1991) menjadi penting untuk digunakan. Foucault melihat bahwa ‘government’ (pemerintahan) sejatinya tidak dilihat hanya sebagai institusi politico-birokratik yang mengatur masyarakat, tetapi perlu dilihat dalam dimensinya sebagai ‘cara mengoperasikan kekuasaan.’

Berkebalikan dengan pandangan klasik yang melihat kekuasaan pada institusi-institusi politik, Foucault melihat kekuasaan menyebar dan mewujud dalam kehidupan sehari-hari melalui ‘government.’ Ia mencontohkan, misalnya, ‘ekonomi,’ sebagai salah satu bentuk governmentality melalui penciptaan kemakmuran.

Governmentality, sebagaimana modus-modus kekuasaan lain, beroperasi melalui apa yang disebut oleh Foucault sebagai ‘technologies of the self,’ atau apa yang kemudian dikenal sebagai biopolitics. Untuk memastikan ‘pemerintahan’ berjalan’ dengan baik, subyek menggunakan teknologi-teknologi yang memungkinkan kekuasaan terinternalisasi dalam aktivitas sehari-hari dan ter-normalisasi dalam kehidupan masyarakat, tanpa ia menyadari bahwa ia sedang diperintah (governed).

Liberalisasi pendidikan bisa dilihat dalam logika ini. Wacana tentang liberalisasi pendidikan menggunakan berbagai modus kekuasaan yang secara efektif, walau bertahap, mampu menanamkan wacana liberalisasi tersebut dalam praktik pemerintahan sekaligus mendisiplinkan para penentangnya.

Modus-modus liberalisasi ini terangkai dalam jalinan erat kekuasaan antara Bank Dunia, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, kampus-kampus besar, akademisi, dan aktor-aktor lain. Jejaring ini menunjukkan bahwa pola kekuasaan dalam neoliberalisme itu tersebar, dan itu meniscayakan adanya depolitisasi ‘negara’ dan re-politisasi atas institusi-institusi lain.

Modus-Modus Liberalisasi

Bagaimana wacana tentang liberalisasi ditanamkan di Indonesia? Kita bisa melihat jalinan relasi kekuasaan tersebut dalam pemaparan berikut.

Pertama, liberalisasi pendidikan ditanamkan melalui institusi teknokratik di tingkat kementerian, yang kemudian mendorongnya menjadi kebijakan publik. Bank Dunia, sebagai institusi yang sangatgetol mewacanakan liberalisasi pendidikan tinggi, menggunakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sebagai sarana utama.
Modus yang digunakan oleh Bank Dunia adalah ‘pinjaman proyek’ (Bappenas, 2013). 

Dalam laporan Bappenas, per 31 Desember 2012, 43% dari keseluruhan pinjaman proyek dikelola oleh Kementerian Pendidikan Tinggi. Bank Dunia meminjamkan dana untuk melakukan ‘reformasi pendidikan tinggi’ kepada pemerintah, melalui beberapa proyek seperti Development of Undergraduate Education (DUE), Higher Education for Relevance and Efficiency (HERE), danManaging Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE).

Hal menarik dapat ditemukan pada laporan pelaksanaan proyek HERE dan DUE. Di 2 laporan tersebut, per 2012 (proyek ini berlangsung bertahap, 1995-2002 dan 2005-2012) tertera bahwa Bank Dunia memberikan dukungan terhadap pembentukan Dewan Pendidikan Tinggi (Board of Higher Education) di Direktorat Jendera Pendidikan Tinggi, yang bertugas untuk menyusun kebijakan-kebijakan teknis Pendidikan Tinggi.

Posisi Dewan Pendidikan Tinggi ini menarik. Laporan Bank Dunia menyebut bahwa lembaga ini bertugas memberikan saran-saran kepada Direktorat yang kemudian diteruskan menjadi perubahan kebijakan untuk memenuhi ‘paradigma baru’ pendidikan (World Bank, 2003: 7). Di samping itu, Dewan Pendidikan Tinggi ini juga melakukan supervise atas pelaksanaan rencana strategis jangka panjang kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia, yang pembuatannya juga disponsori oleh proyek Bank Dunia (World Bank, 2003).

Bank Dunia terlibat baik dalam pembentukan maupun capacity building dari Dewan ini. Di laporan proyek DUE, mereka mendukung lembaga ini dengan jumlah dana yang cukup besar, total $6,4 juta. Dewan Pendidikan Tinggi inilah yang kemudian terlibat dalam perumusan UU Pendidikan Tinggi, dan terlibat dalam sosialisasi di mana-mana.

Perumusan UU Pendidikan Tinggi (sebelumnya UU BHP) juga tidak lepas dari dukungan Bank Dunia. Melalui proyek HERE, Bank Dunia mendukung ‘reformasi perundang-undangan tentang pendidikan tinggi’ melalui skema pinjaman lunak mereka. Laporan pelaksanaan proyek HERE terang-terangan menyebut bahwa UU baru tentang pendidikan tinggi ini adalah buah dari kesepakatan dan harus dipenuhi oleh pemerintah.

Awalnya, pelaksanaan dari proyek ini adalah UU Badan Hukum Pendidikan. Namun, gerakan masyarakat sipil dan mahasiswa melalui Judicial Review di Mahkamah Konstitusi menghambat pelaksanaan ini. Tak lama kemudian, tahun 2012, muncul UU baru yang membawa liberalisasi ini berjalan secara lebih soft. Hal menarik lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa proyek ini berakhir tahun 2012, sehingga menyebabkan pemerintah harus cepat-cepat mengesahkan UU ini sebagai bentuk kepatuhan terhadap Bank Dunia (World Bank, 2013).  

Dua laporan proyek ini mencerminkan dua hal: (1) proyek liberalisasi pendidikan sejatinya tidak dilakukan melalui jalur ‘politis’ semata (via DPR dan Kementerian) tetapi juga melalui jalur teknokratis; (2) hal ini menyiratkan satu fakta penting: teknokrasi tidak bebas nilai dan kepentingan. Teknokrasi menjadi pilar penting bagi lembaga-lembaga keuangan seperti Bank Dunia untuk menanamkan diskursus dalam kebijakan publik di Indonesia.

Kedua, wacana liberalisasi pendidikan di Indonesia ditanamkan melalui jejaring pengelola universitas dan akademisi (intelektual). Hal ini dapat kita lacak pada proses persidangan uji materiil UU Pendidikan Tinggi di Mahkamah Konstitusi. Beberapa saat setelah persidangan FPP dan BEM Unand selesai dan Komite Nasional Pendidikan siap mengajukan gugatan, muncul pernyataan sikap yang langsung ditandatangani oleh tujuh rektor Perguruan Tinggi.

Isi Pernyataan sikap 7 PTN itu adalah sebagai berikut:

1.    Otonomi perguruan tinggi yang meliputi otonomi akademik dan otonomi nonakademik bersifat KODRATI bagi perguruan tinggi.
2.    Otonomi akademik merupakan prasyarat untuk melaksanakan tridharma perguruan tinggi

3.    Otonomi nonakademik merupakan prasyarat untuk mewujudkan pengelolaan perguruan tinggi yang baik.  Ketiadaan otonomi non akademik akan meniadakan otonomi akademik.

4.    UU Nomor 12 Tahun 2012 menjamin otonomi perguruan tinggi juga mengatur dengan tegas tanggung jawab negara atas penyelenggaraan dan pendanaan pendidikan tinggi

5.    Untuk menjamin otonomi nonakademik dalam rangka meningkatkan mutu diperlukan kewenangan: pengambilan keputusan secara mandiri, penerapan merit system dalam pengelolaan sumberdaya manusia, pengelolaan aset, dan pengelolaan keuangan.

6.    Kewenangan tersebut di atas dalam sistem penyelenggaraan dan keuangan Negara hanya dapat dilakukan oleh PTN badan hukum.

7.    Dalam PTN badan hukum, masyarakat sebagai pemangku kepentingan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pengambilan keputusan pengelolaan perguruan tinggi.

(dikutip dari web ITB, 2013)

Hal ini cukup menarik untuk dikritisi. Mengapa gugatan atas UU ini justru direspons secara reaksioner justru oleh 7 rektor PT BHMN? Mengapa perguruan tinggi ini sangat ‘bernafsu’ untuk mempertahankan privilege yang mereka dapatkan melalui ‘otonomi pendidikan?’ Dari mana semua argumen ini berasal?

Kita bisa melacak hal tersebut dari kata pertama: ‘otonomi adalah sesuatu yang bersifat kodrati’ bagi perguruan tinggi. Otonomi yang dimaksud cukup jelas: kewenangan mengelola perguruan tinggi tanpa pelibatan negara. Statement ini menyiratkan satu hal penting: diskursus ‘otonomi’ yang dibawa oleh Bank Dunia secara jelas ternormalisasi dalam benak dan pikiran elit-elit universitas.

Seperti jamak diketahui, 7 Perguruan Tinggi yang menandatangani dukungan terhadap UU Pendidikan Tinggi sangat menikmati otonomi yang mereka dapatkan pasca-pemberlakuan status BHMN. Konsekuensi BHMN ada dua: (1) negara mencabut subsidi terhadap perguruan tinggi; (2) kampus diberi kewenangan mencari dana sendiri. Hal ini membantu proses normalisasi yang membuat logika ‘otonomi neoliberal’ bertahan dan terbingkai di univetrsitas.

Diskursus neoliberal yang menjauhkan kampus dari negara juga tertanam di benak para intelektual kampus. Proses persidangan uji materiil UU Pendidikan Tinggi memperlihatkan hal ini. Dalam proses persidangan, masing-masing kampus menampilkan para intelektual kampus yang, entah sukarela atau dibayar, memberikan kesaksian untuk membela logika otonomi neoliberal di UU Pendidikan Tinggi.

Sebagai contoh, ada salah satu intelektual di kampus terkemuka yang memberikan kesaksian –bahwa biaya kuliah yang murah hanya akan menguntungkan kaum menengah ke atas. Mungkin beliau lupa bahwa Deklarasi Universal HAM telah menyatakan bahwa ‘pendidikan tinggi harus bisa diakses semua orang atas dasar kemampuan.’

Kita tidak perlu mempersoalkan lebih jauh apa yang ia sampaikan. Yang jadi persoalan, mengapa para intelektual tersebut bersaksi dengan membela logika otonomi? Ada satu hal yang bisa di-address: baik secara tidak sadar maupun, para intelektual tersebut telah menggunakan pengetahuannya untuk melegitimasi wacana neoliberal dalam UU Pendidikan Tinggi.

Kesaksian intelektual di atas, juga kesaksian lain yang disampaikan oleh dosen-dosen dari kampus terkemuka, dengan jelas memperlihatkan bahwa sebagaimana ‘teknokrat,’ intelektual tidak bebas nilai dan kepentingan. Pengetahuan, sebagaimana kata Foucault (1978), selalu punya relasi kekuasaan tertentu, yang beroperasi melalui kesaksian di persidangan, tulisan di koran, dll.

Di sini, kita bisa melihat bahwa diskursus neoliberal tentang pendidikan tinggi juga ditanamkan melalui para intelektual, yang menggunakan pengetahuan, kemampuan retorika, dan ‘nama besar’ yang mereka miliki untuk melegitimasi wacana tersebut. Dengan kesaksian para intelektual ini, pertarungan tidak hanya terjadi pada level kekuasaan formal, tetapi juga pengetahuan.

Ke Mana Muaranya?

Namun, hal terpenting yang perlu dibaca dari modus-modus liberalisasi sebagaimana dipaparkan di atas adalah: ke mana muara dari proses liberalisasi tersebut? Dan bagaimana kita bisa membaca arah liberalisasi tersebut setelah tahun 2014 ini?
UU Pendidikan Tinggi dan peraturan-peraturan di bawahnya, merepresentasikan dengan baik logika kapitalisme neoliberal yang beroperasi di wilayah pendidikan tinggi. Namun, relasi-relasi diskursif tersebut akan bermuara pada realitas yang nyata. UU Pendidikan Tinggi merupakan salah satu penopang dari apa yang saat ini dominan di dunia: kapitalisme global.

Gambaran tentang ‘muara’ dari proses liberalisasi pendidikan ini dengan baik digambarkan oleh Satryo Brodjonegoro, salah seorang proponen liberalisasi yang juga ‘orang kepercayaan’ Bank Dunia di dunia pendidikan tinggi Indonesia. Ia menulis sebuah kertas kerja yang berjudul “Higher Education Reform in Indonesia” (2012) yang menggambarkan cara kerja liberalisasi pendidikan dan outcomeapa yang mereka inginkan.

Ia memulai tulisannya dengan melihat bahwa saat ini, pendidikan tinggi Indonesia dilanda ‘krisis.’ Ada semacam ‘kegagapan’ dari pendidikan tinggi dalam merespons perkembangan produksi yang semakin kompetitif, global, dan knowledge-based tapi pendidikan tinggi sama sekali tidak disiapkan untuk menghadapi pasar yang berkembang itu.

Atas dasar itulah muncul gagasan tentang ‘reformasi pendidikan tinggi’ yang mulai muncul di Indonesia sejak 1999. Menurutnya, gagasan ‘reformasi pendidikan tinggi’ lahir dari kebutuhan untuk merespons adanya kebutuhan industri (pada spektrum yang lebih luas: pasar) untuk melakukan ‘konvergensi’ dengan pengetahuan.

Oleh sebab itu, menurutnya, ‘pendidikan tinggi’ sebagai salah satu proses dalam produksi pengetahuan yang beroperasi pada skala global. Universitas menjadi semacam ‘holding institution’ yang bekerja dalam produksi pengetahuan. Universitas setidaknya punya dua peran penting: (1) untuk mencetak ‘tenaga kerja’ yang siap dikaryakan dalam industry; (2)menghasilkan riset yang berguna untuk memecahkan masalah industri.

Dengan demikian, diperlukan semacam Quality Control untuk memastikan universitas bisa mencetak produk yang baik (‘produk’ di sini adalah mahasiswa). Oleh sebab itu, demi Quality Control, perlu ada reposisi mengenai peran negara dalam pengelolaan dan pembiayaan pendidikan tinggi.

Negara, kemudian hanya bertugas untuk menjaga agar produksi pengetahuan berjalan lancar dan punya kualitas melalui regulasi-regulasi yang melatarbelakanginya. Kita bisa lihat posisi negara dalam tulisan Satryo ini: sebagai ‘penjaga malam.’

Pemaparan Satryo Brodjonegoro tersebut memberikan kita sebuah kesimpulan bahwa agenda ‘reformasi pendidikan tinggi’ ditanamkan di atas diskursus tentang ‘kedaulatan pasar.’ Reformasi pendidikan tinggi menjadikan ‘pengetahuan’ sebagai komoditas; Pengetahuan adalah sesuatu yang bisa diakumulasikan dan mendapatkan keuntungan bagi pemilik modal.

Pemaparan selanjutnya dari Satryo Brodjonegoro semakin menarik. Dengan bantuan Bank Dunia, reformasi pendidikan tinggi dimulai pada tahun 1996 melalui proyek DUE yang melakukan reformasi kelembagaan di pendidikan tinggi. Agar pendidikan tinggi compatible dengan tren perkembangan pasar global, universitas harus dilepaskan dari pembiayaan negara dan bisa mencari dana sendiri melalui partnership.

Tulisan di atas memberikan gambaran bagaimana liberalisasi pendidikan akan berakhir. Liberalisasi pendidikan, secara telanjang, memiliki fungsi untuk menjadikan pengetahuan sebagai komoditas dalam pasar global. Dengan semakin berkembangnya kapitalisme finansial dan post-fordisme, pengetahuan menjadi instrument penting dalam kapitalisme global.

Dalam kapitalisme global saat ini, pengetahuan adalah sesuatu yang tidak hanya diproduksi melalui pendidikan dan riset di kampus, tetapi juga dipertukarkan untuk uang. Pengetahuan menjadi komoditas penting. Karena pengetahuan dipertukarkan, maka pendidikan tinggi sebagai institusi yang memproduksi pengetahuan juga ‘dipaksa’ untuk mengikuti logika tersebut.

Inilah yang kemudian kita sebut sebagai ‘komodifikasi pengetahuan, yang menemukan momentumnya dalam proses liberalisasi pendidikan. Dengan membuat iklim semakin kompetitif dalam skema liberalisasi, kita melihat fenomena riset-riset yang orientasinya adalah memenuhi kebutuhan kapitalis (Callinicos, 2006). 

Konsekuensinya, industri harus punya akses dan relasi yang baik dengan kampus.
Tapi tidak hanya itu. Kampus tidak hanya memproduksi pengetahuan, tetapi juga tenaga kerja yang siap pakai untuk keperluan industri. Saat ini, muncul apa yang sering disebut sebagai ‘kelas menengah,’ yang sebetulnya adalah para ‘borjuis upahan’ –mereka yang mengambil bagian sebagai ‘manajer’ dalam modus produksi kapitalisme. Posisi perguruan tinggi  menjadi penting untuk menghasilkan kelas menengah semacam ini.

Namun, tentu saja, ada sesuatu yang perlu diperhatikan. Modus produksi kapitalisme tidak melulu bertumpu pada pengetahuan atau kelas menengah yang bekerja kantoran untuk menopang kapitalisme. Proses produksi pasti menghasilkan sesuatu yang real –pakaian, kaus kaki, sepatu, makanan, minuman, dll— yang tidak bisa dibuat hanya dengan pengetahuan.

Siapakah yang membuat? Tentu saja: para buruh pabrik atau buruh tani di pedesaan. Kapitalisme selalu memerlukan tenaga mereka. Dengan demikian, kapitalisme meniscayakan ‘kasta’ yang dikemas secara modern. Itulah sebabnya, kita bisa memahami bahwa proses liberalisasi memerlukan adanya ‘seleksi’ –mereka yang tak sanggup bersaing akan menempati posisi terbawah dalam moda produksi kapitalis saat ini.

Dengan demikian, ada dua hal penting yang menjadi ‘muara’ dari proses liberalisasi pendidikan selama ini, yaitu: (1) komodifikasi pengetahuan, yakni menjadikan ‘pengetahuan’ sebagai komoditas dalam pasar global, dan (2) menjadikan universitas sebagai ‘mesin produksi’ tenaga kerja terdidik yang akan menjadi penopang penting dalam kapitalisme global sekaligus mengeksklusi mereka yang tidak punya modal dan pengetahuan.

Pasca-2014: Tantangan Gerakan Mahasiswa

Kita sudah membaca bagaimana wacana liberalisasi pendidikan ditanamkan di Indonesia dan ke mana wacana tersebut akan bermuara. Pertanyaannya, bagaimana gerakan mahasiswa bisa melawan wacana tersebut, terutama di ‘tahun politik’ yang akan menentukan nasib Indonesia lima tahun ke depan?

Tahun 2014 akan membawa Indonesia pada dua kemungkinan: tetap bertahan pada tatanan yang ada saat ini atau melakukan transformasi. Namun, satu hal menjadi catatan: tatanan kapitalisme yang ada di Indonesia tidak hanya beroperasi di wilayah kekuasaan, tetapi juga terjalin secara rumit melalui teknokrasi, pengetahuan, kebijakan sosial, dsb.

Liberalisasi pendidikan menjadi satu potret cara kerja kapitalisme yang menyebar. Dari pembacaan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa gagasan liberalisasi pendidikan tidak ditanamkan melalui satu kanal, tetapi melibatkan relasi-relasi berbagai kanal (teknokrasi, proyek, pengelolaan universitas, pengetahuan, dll) yang menuju pada satu muara yang sama (komodifikasi pengetahuan).

Untuk itu, gerakan mahasiswa perlu membingkai ulang gerakannya dalam tiga hal. Pertama, gerakan mahasiswa perlu merumuskan ulang strategi dan pembacaannya terhadap proses liberalisasi pendidikan di Indonesia.  Gerakan mahasiswa perlu memperhatikan bagaimana wacana liberalisasi pendidikan ini dirumuskan di tataran teknokratis dan akademik. Oleh sebab itu, GM harus punya strategi pengetahuan (dan strategi lain) yang cukup canggih sehingga bisa menghadapi para teknokrat dan intelektual pengusung liberalisasi secara lebih efektif.

Kedua, gerakan mahasiswa perlu menyadarkan partai politik dan calon presiden tentang bahaya liberalisasi pendidikan, modus-modus operasinya, hingga siapa saja yang bermain di dalamnya. Dengan membangun kesadaran para politisi itu, gerakan mahasiswa akan tahu siapa yang benar-benar berpihak pada mahasiswa. Tahun 2014 bisa menjadi momentum penting.

Ketiga, gerakan mahasiswa perlu memikirkan gerakan bersama dengan elemen-elemen lain untuk menghadang isu ini. Sebab, pada dasarnya liberalisasi pendidikan tidak hanya merugikan mahasiswa, tetapi juga buruh, petani, pedagang kecil, dan siapapun yang ingin memberikan pendidikan yang baik pada anaknya. Maka dari itu, gerakan mahasiswa tak boleh sendiri dan harus bergerak bersama-sama elemen rakyat lain dalam menghadang liberalisasi pendidikan di tengah jalan politik 2014.

Saya kira, sudah saatnya gerakan mahasiswa keluar dari kegalauannya selama ini dan mengartikulasikan isu dan wacana secara mandiri. Gerakan mahasiswa di Cile dan Kanada telah berhasil menjadikan isu ini sebagai fokus utama mereka. Kalau gerakan mahasiswa gagal di tahun ini, bisa jadi, para mahasiswa dan calon mahasiswa akan menderita 5-10 tahun mendatang.

Mahasiswa Indonesia, bersatulah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar