Tentang Teologi Materialis
Tuhan
di Bumi
Hizkia Yosie Polimpung ; Peneliti Jaringan Riset Kolektif (JeRK);
Mahasiswa Program Doktoral
Filsafat, UI
|
INDOPROGRESS,
10 Januari 2014
MENYAMBUNG renungan Natal
dari Martin Suryajaya, tulisan ini hendak menawarkan rute lain dalam meretas
jalan menuju suatu teologi yang punya daya emansipasi, bahkan daya
konfrontasi—hal-hal yang kita butuhkan saat ini untuk melakukan perlawanan
terhadap sistem eksploitatif kapitalisme hari ini. Keberatan saya terhadap
Martin hanya pada caranya dalam memperlakukan teologi. Ibarat seorang pemandu
bakat, ia mengaudisi teologi dalam standar-standar yang ia tentukan sendiri
sebelumnya. Tidak heran, pertanyaan yang diajukannya adalah ‘[b]agaimana
mungkin materialisme historis dan materialisme dialektis mengakomodasi teologi?’ Akibatnya, kita
seakan diperlihatkan pada suatu panorama abad pertengahan dengan versi
terbalik: teologi harus tunduk pada gada logika.
Keberatan ini bukan muncul dari
suatu aspirasi konyol akan kesetaraan dan keseimbangan di antara keduanya.
Sama sekali bukan ini. Yang ingin saya tekankan adalah bahwa tidak hanya
potensi emansipatoris, namun bahkan potensi konfrontatif sistemik telah
terdapat secara inheren dalam teologi itu sendiri. Sehingga, tidaklah perlu
kita mengaudisinya sesuai dengan rambu-rambu revolusioner kita. Inilah yang
juga akan saya coba tunjukkan melalui tulisan ini: memunculkan watak
revolusioner dari teologi itu sendiri. Karena tulisan ini masih berada di
sekitar perayaan Natal, maka saya akan pakai teologi Kristen untuk ini.
Hal pertama yang penting untuk
diklarifikasi terlebih dahulu adalah pertanyaan mendasar seperti: apa itu
materi dalam materialisme? Pandangan standar mengenai filsafat materialisme
biasanya berkisar pada keyakinan naif bahwa tidak ada segala sesuatu yang
berada di luar determinasi materi. Ide, misalnya, tidak lebih dari mimpi di
siang bolong. Pandangan seperti ini juga menjalar ke ekonomi politik, bahwa
basis material, yaitu relasi sosial produksi, adalah yang menentukan
segalanya—regulasi, negara, ideologi, institusi, dst. Begitu pula bagi ilmu
kebudayaan, yaitu bahwa seluruh sistem kebudayaan terdeterminasi oleh basis
materialnya, yaitu ideologi borjuis/kapitalis. Agama dan ajarannya, misalkan,
akan dilihat sebagai manifestasi sekaligus konstitutif bagi langgengnya
struktur dominan di masyarakat. Epistemologi demikian—yaitu terdapat suatu
struktur material yang serba menentukan dan mengatur segala
sesuatunya—akhirnya mendudukkan yang material sebagai semata-mata manifestasi
dari strukturnya. Akhirnya, tidak akan ada suatu apa pun yang lepas dari
jeratan struktur material ini.
Tulisan ini merupakan ungkapan
keberatan saya terhadap pandangan materialisme yang demikian ini.
Beberapa alasan akan dikemukakan pada bagian berikutnya. Terlebih, penekanan
akan diberikan pada implikasi-implikasi filosofis (dan teologis) dan politis
dari keberatan tersebut.
Materialisme mesianik
Dari penjabaran di atas,
setidaknya terdapat tiga keberatan sentral yang saya ajukan: pertama,asumsi tentang totalitas yang inheren.
Struktur material diasumsikan utuh pada dirinya sendiri. Masalahnya, bukankah
dengan mengasumsikan totalitas yang demikian ini materialisme justru jatuh
pada transendensi versi lain? Hal ini lantas membawa saya pada
keberatan kedua, bahwa telah terjadi
re-transendentalisasi materialitas. Dengan kata lain, saat para materialis
ini menolak transendensi, mereka malah memindahkan kualitas-kualitas
transenden, yang entah dari mana asal-usulnya (thus,ahistoris),
ke dalam materi. Materi, akhirnya memiliki sifat-sifat transenden. Mirip
animisme.
Keberatan ketiga saya adalah sifat keter-mediasi-an dari
materi yang seakan-akan disepakati oleh keseluruhan pendukung materialisme
ini, sekalipun terdapat perbedaan trivial di antara mereka. Manifestasi
material dilihat sebagai suatu sistem obyek yang diproduksi secara sosial
yang, tentu saja, produksinya dihegemoni oleh segelintir orang (kelas
dominan?). Namun tetap saja, memahami materialitas seperti ini harus
dimediasi oleh manusia sebagai penghuni ‘segelintir orang’ ini. Kubu
relativis/pascastrukturalis, juga sama, hanya saja ia memberikan kesempatan
privilese hegemonik tersebut tidak pada segelintir orang saja, tapi pada kita
semua sepanjang kita bertindak sebagai produsen narasi sejarah. Akhirnya,
kita akan selamanya menantikan ‘orang’ atau ‘segelintir orang’ tertentu
(baca: pemimpin, partai, ratu adil, mesias) yang dapat memproduksi sistem
obyek material yang revolusioner.
Keberatan ini sebenarnya bukan
disebabkan karena kesirikan saya atas gestur ‘kembali ke
tuhan/transendensi’ per se, melainkan
lebih kepada kepasrahan milenarian yang memotivasi gestur tersebut. Materialisme
akhirnya menjadi tidak lebih dari ritual asketis menunggu kedatangan sang
mesias. Untuk keluar dari deadlock ini,
nampaknya kita perlu merumuskan semacam ‘materialisme kultural
pasca-konstruktivis.’[1] Upaya untuk mempertimbangkan
keberatan-keberatan di atas, dan tentu juga mencarikannya jalan keluar,
tersebut mendapatkan momennya pada era saat ini di mana perubahan dan
alternatif radikal mendesak diperlukan saat umat manusia, di satu sisi
dihadapkan pada kegagalan seluruh korelat modernitas (sekulerisme, rasio,
negara bangsa, kapitalisme, demokrasi), namun di sisi lain, sudah tidak
tersisa lagi aspek-aspek material yang tidak terjamah (baca: termediasi,
terkonstruki, terdeterminasi) korelat modernitas tadi (terutama kapitalisme
dan negara bangsa)—membuat semua tak lebih dari sekedar faktor produksi
dan/atau komoditas.
Urgensi untuk merangsek keluar dari belenggu ini tidak
cukup dengan senantiasa tawakal dan
menunggu kehadiran sang penyelamat agung. Perlu upaya yang lebih proaktif dan
militan dari sekedar menanti-nanti.
Menuju Materialisme
Transendental
Salah satu upaya teoritik yang
dapat dilakukan adalah dengan mengubah cara pandang terhadap materialisme itu
sendiri. Determinasi aspek material tidak selamanya harus berwajah
milenarian, melainkan ia tetap dapat berwajah materialis.
Materialisme ini,
dengan demikian, melihat tuhan bukan dari atas sana, melainkan
tuhan yang secara imanen telah selalu ada di dalam materi
itu sendiri. Inilah tugas utama materialisme, atau untuk tujuan pembeda, saya
akan menyebutnya ‘materialisme transcendental:’ memikirkan transendensi dalam imanensi material; suatu
ketak-terhinggaan dalam keterhinggan; suatu tuhan di bumi—dan bukan di surga.[2] Dengan definisi seperti ini,
para pembelajar teologi akan segera teringat akan definisi umum dari teologi.
Itulah mengapa saya tekankan di awal bahwa materialisme sebenarnya sudah
inheren di dalam teologi itu sendiri.
Setidaknya ada beberapa langkah
yang bisa ditempuh untuk mengemban tugas tersebut. Salah satu yang terpenting
adalah memecahkan apa yang dapat disebut ‘misteri materialitas,’ yaitu
berkaitan dengan pertanyaan ‘mengapa materialitas yang seperti itu, dan bukan yang lainnya?’ Menerapkan model
pertanyaan seperti ini ke problem materialisme, maka pertanyaanya bisa
menjadi: mengapa ideologi dominan memanifestasi dalam suatu sistem obyek
yang partikular tersebut, dan bukan lainnya? Pertanyaan
ini akan mengarahkan analisis untuk memahami spesifisitas materialisasi
tersebut, dan bukan prinsip struktural general yang melandasinya.
Spesifisitas ini berlaku temporal dan spasial. Analisis spesifisitas yang
dimaksud sama seperti, di antaranya, Roland Barthes memahami penari
telanjang,[3] Adrian Mackenzie mempelajari sintaks sistem operasi
Linux,[4] dan Alex Galloway mempelajari algoritma perangkat
lunak video game.[5] Hal ini penting karena
seperti juga telah ditandaskan Freud tentang mimpi, yaitu bahwa misteri
ketidaksadaran bukan pada ‘makna’ (isi laten) mimpi tersebut, melainkan
justru pada bentuk tampilannya, yaitu materialitasnya, demikian pula misteri
materialitas bukan terletak pada makna sosio-kultural atau siapa yang
berkepentingan di baliknya, melainkan justru pada bentuk
material/kongkritnya.
Langkah di atas berikutnya membuka
jalan bagi langkah berikutnya. Memahami bahwa misteri telah selalu terkandung
dalam materi, sama saja melihat materi tersebut sebagai sesuatu yang
berkekurangan. Terdapat lubang abadi yang akan selalu mencegah materi tersebut
menjadi absolut. Memahami lubang keabadian dalam suatu materialitas ini
agaknya mustahil tanpa berputar pada psikoanalisis Jacques Lacan.
Lacan
menunjukkan bagaimana logika ketak-terhinggaan dalam keterhinggaan ini adalah
logika beroperasinya hasrat manusia: tak pernah cukup terpuaskan.[6]Hasrat manusia bak lubang hitam
yang menyedot segala sesuatu demi suatu kepuasan yang mustahil. Bagaimanapun
juga, hal ini menunjuk pada kemungkinan untuk memahami suatu
ketak-terhinggaan dalam keterhinggan.
Keberadaan ketak-terhinggaan ini
memiliki dua konsekuensi yang sifatnya ambigu: pertama, ia akan membuat kontainer materialnya,
yang serba terhingga, senantiasa berada pada kondisi tak menentu; seketika
saja saat ketak-terhinggaan ini mencuat keluar, kontainer itu akan menderita
krisis. (Bayangkan, misalnya, saat keseharian kita diganggu oleh perasaan
cinta yang absurd—dalam artian ketak-terhinggaan dan ketak-terjelaskanan—maka
semuanya akan berantakan!). Kedua, sekaligus
sebaliknya, ia merupakan sumber segala kemungkinan yang dapat mengubah
materialitas tadi. Inilah tuhan[7] materialis: di satu sisi ia
sumber bencana dan deviasi, tapi di sisi lain, ia sumber potensialitas.[8] (Bukankah potensialitas ilahi ini yang hari-hari ini
diperlukan untuk mendatangkanbencana bagi
mesin raksasa kapitalisme dan Goliath negara-bangsa?).
Dengan konsepsi tuhan seperti ini, maka perlu pula dilakukan revisi bagi
gagasan teologi yang notabene merupakan ‘bidang studi’ yang mengkaji ‘Tuhan.’
Teologi Materialis dan Iman
Ateis
Tugas utama teologi materialis
bukan hanya memahami tuhan materialis, namun terlebih ia juga menginvestigasi
segala daya upaya untuk mengondisikan kehadirannya. Hal ini utamanya
dilakukan dengan menetapkan dimensi ontologis dari materi, yaitu sebagai
suatu totalitas yang sepaket dengan negativitasnya, lack-nya. Mengapa demikian? tuhan yang imanen dalam
materi tidak akan pernah kompatibel dengan sifat keterhinggaan materi
tersebut; ia akan selalu melubangi materi. Totalitas, dengan kata lain,
bukanlah suatu absolusitas; ia selalu berkekurangan. Dalam materialitas
Kapitalisme-Neoliberal, misalnya, Burger King yang
lezat adalah sepaket dengan nasi aking yang dimakan orang di Yahukimo;
pembangunan Disneyland di California sepaket dengan perampasan tanah di
India, Nepal, Cina, Papua, dst.; sorak gembira ABG labil di konser Korean-Pop
adalah sepaket dengan jeritan anak-anak saat tentara AS mendobrak pintu-pintu
pemukiman di Baghdad, dst.; tawa menggemaskan SBY juga sepaket dengan jerit
geram Sondang Hutagalung saat membakar dirinya di depan istana. ‘”Material reality is non-all” [...] is the true formula of materialism,’ tandas
Žižek.[9]
Tanpa negativitas ini,
materialitas hanyalah menjadi nama lain bagi transendensi. Kemustahilan
(untuk menjadi utuh, dalam artian absolut) adalah fitur utama materialitas
realitas semenjak negativitas, ketiadaan, atau kehampaan senantiasa
menghantuinya. Lalu pertanyaannya kemudian, apabila realitas material yang
kita jalani sehari-hari adalah suatu kemustahilan, bagaimana bisa ia (dan
kita yang ada di dalamnya) bertahan? Di sinilah letak keajaiban materialisme
transendental:realitas dapat berjalan tanpa dikendalikan
oleh Tuhan transenden![10] Ketimbang pembacaan anarkis,
yaitu bahwa semuanya berjalan secara acak, hal ini sebaiknya dibaca
sebagai akibat dari suatu kenyataan bahwa terdapat
agen lain (tersembunyi, namun sepenuhnya nyata) yang mengonstruksikan
realitas kita sebagai suatu dunia yang tersimulasi.[11] Jadi jelas di sini bahwa agensi
sebenarnya bukan pada Tuhan transenden, melainkan pada tuhan yang imanen pada
realitas material.
Mencoba memformulasikan agensi
tuhan materialis yang imanen pada realitas material ini, saya kira ada
perlunya merefleksikan konsepsi realitas yang memungkinkan kehadiran agensi
tersebut. Setidaknya ada tiga bentuk penampakkan realitas: jika realitas
pertama adalah realitas obyek yang independen dari pemahaman manusia (ini
umumnya merupakan bidang kajian filsafat realisme), dan realitas kedua adalah
realitas pemahaman manusia akan obyek (bidang kajian fenomenologi), maka realitas ketiga, sekaligus yang paling kompleks,
adalah realitas dimana sang obyek secara obyektif dan spesifik
menampakkan dirinya kepada sang subyek. Žižek memformulasikannya
dengan baik terkait petunjuk untuk memahami ini melalui suatu pertanyaan
pemantik atas apa yang saya sebut ‘realitas ketiga:’ “[t]here is the way things really are. There is the way things
appear to [our perception]. There is the way things objectively
appear to us even if we do not know how they appear to us.’[12] Adalah bentuk ketiga ini di
mana kita dapat saksikan agensi pada sisi materi itu sendiri, dan lepas dari
seluruh kontruksi dan mediasi manusia. Untuk dapat melihat agensi ini, maka
teologi materialis akan membantu kita untuk menolak dan menegasikan seluruh
upaya-upaya pemaknaan transenden bagi realitas material.
Lalu bagaimana melihat agensi ini?
Dengan iman tentunya. Namun, bukan iman dalam pengertian agama-agama
konvensional. Iman yang dibutuhkan adalah iman ateis, karena hanya ateis saja
yang bisa benar-benar percaya. Ateis yang dimaksud bukanlah suatu identitas
yang fixed, yang dengan gagahnya memproklamirkan
‘tuhan tidak ada’ dengan argumen empirik naif—klaim konyol: ‘karena tuhan
tidak terlihat maka tuhan tidak ada.’ Ateisme yang saya rujuk di
sini adalah sebentuk mentalitas, etos. Mentalitas ateistik akan selalu
menolak upaya-upaya untuk menjelaskan segala sesuatunya melalui narasi agung
nan mulia Tuhan transenden—agama, moral, HAM, demokrasi, kebaikan, keadilan,
kemanusiaan, ke-Timur-an, dst. Ateis selalu berkeras bahwa realitas bukanlah
dikendalikan oleh Tuhan-Tuhan transenden ini. Bahkan, ateis memandang bahwa
dunia ini tidak berarti apa-apa (meaningless)—dalam
artian pascamodern, yaitu tidak ada makna, fondasi dan penjamin bahwa segala
sesuatunya akan baik-baik saja. Ateisme adalah afirmasi tuhan materialis yang
mewujud dalam bentuk negasi tanpa ampun terhadap narasi Tuhan transenden.
Jelas di sini, ateisme bukan sebentuk selebrasi dan pasifitas; ateisme selalu
berupa aktif-itas perlawanan.
Peperangan Rohani dan Teladan
Paradigmatik Yesus
Menutup tulisan ini, saya akan menyajikan
dua cerita: yang pertama pembacaan
kisah Ayub dengan pembacaan teologi materialis, kedua tentang tuhan yang menderita bersama kita.
Sebagaimana diketahui, Ayub adalah seorang abdi Tuhan.[13] Suatu saat Tuhan bertaruh
dengan Iblis tentang apakah Ayub akan tetap menjadi abdi yang setia apabila
berkat-berkat Tuhan dicabut darinya. Tuhan pun sepakat, maka dicabutlah
kekayaan, keluarga dan kesehatannya. Sawahnya dirampok, rumahnya hancur
terkena bencana, yang juga merenggut ketiga anaknya. Ayub sendiri terkena
kusta yang menjijikan. … tapi Ayub masih bertahan.
Lalu masuklah sang istri Ayub
dalam cerita. Ia menyuruh Ayub untuk meninggalkan Tuhan; tapi Ayub menolak
sembari menekankan bahwa ia tidak bersalah. Akhirnya istri Ayub
meninggalkannya untuk menikahi pria lain. Lalu datanglah tiga orang kawan
Ayub. Ketiganya mencoba menasehati Ayub: ‘mungkin kamu kena tulah’—Ayub
menolak; “mungkin kamu melakukan kesalahan pada Tuhan”—Ayub menolak; ‘mungkin
ini dosa turunan’—Ayub menolak; bahkan, Ayub mengusir mereka. Ayub berbalik
pada Tuhan dan melayangkan protesnya! Ayub marah! Ayub bersikeras bahwa tidak
ada penjelasan bagi penderitaannya. Ayub meminta pertanggungan-jawab Tuhan
atasnya, dan bukan pemaknaan! (Andai saja Ayub tahu bahwa penjelasannya
adalah keisengan Tuhan dan Iblis, ia pasti akan balas mengumpat ‘sekarang
aku, nanti rasakan saat anakmu Yesus harus di-bully di kayu
salib. ’[14]) Inilah iman Ayub, suatu iman ateistik, yang karena
militansinya, ia mendapatkan ganjaran setimpal: kekayaannya dilipat-gandakan,
dikarunia keluarga baru, dst.
Cerita kedua, dalam film Shooting Dogs,[15] saat
orang-orang Hutu di Rwanda memburu orang-orang Tutsi, scene diarahkan pada suatu pembicaraan
sekelompok Tutsi yang bersembunyi di sebuah sekolah. Tahu bahwa tidak ada
harapan lagi bagi mereka untuk lari lagi, seorang guru muda bertanya kepada
pendetanya: Bapa, dimana Tuhan saat ia kita butuhkan untuk mencegah
pembantaian ini semua? Jawab sang pendeta, ‘God is now present here more
than ever, He is suffering here with us.’Iman ateistik Ayub dan
tuhan yang menderita dan berjuang bersama kita seperti inilah yang kita
butuhkan saat ini, dan bukan tuhan di atas sana yang dengan isengnya
mengontrol segala sesuatu dengan remote sembari
duduk di kursi malasnya. Tuhan materialis adalah tuhan yang memimpin manusia
yang percaya padanya dalam suatu peperangan rohani.
Peperangan rohani, menggunakan
terminologi Paulus, bukanlah menumpas habis orang-orang yang berbeda (secara
suku, agama, ras, golongan, kepentingan politik, kelas, dst.).
‘[K]arena perjuangan kita
bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah,
melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini,
melawan roh-roh jahat di udara.’[16]
Dengan demikian, peperangan
rohani, secara materialis adalah peperangan untuk mengonfrontasi seluruh
proses-proses di luar manusia (‘darah dan daging’)/ nir-manusia yang
mengarahkan dunia ini ke jurang krisis dan bencana. Ketimpangan, diskriminasi,
ketidak-setaraan yang kerap menghiasi pelataran media informasi-komunikasi
cetak, digital, visual dan jejaring kita hari-hari ini bukanlahsekedar akibat dari problem ‘darah dan
daging’—misal: keserakahan, kurangnya kepemimpinan, kendornya supremasi
hukum, degradasi moral, dst. Lebih dari itu, semuanya merupakan efek dari
pengkondisian sistemik yang deviasional. Pengkondisian sistemik inilah yang
semestinya diperangi. Bukankah ini yang dimaksud Paulus saat menyebut musuh
kita sebagai ‘roh-roh jahat di udara.’
Lalu bagaimanakah berperang dengan
berangkat dari telogi materialis ini? Untuk ini, Yesus, dengan memberi diri
disalibkan, memberi contoh paradigmatik yang
baik— dan bukan contoh mentah-mentah bahwa orang harus
disalib untuk melawan! Yang dicontohkannya adalah dengan berperang dengan cara yang tak terpahami.
Pelajaran
paradigmatik perlawanan Yesus adalah bahwa Ia, dengan memberi diri
disalibkan, tidak hanya melawan maut alias rezim penindasan sang Iblis. Lebih
dari itu,dengan memberi diri disalibkan, Yesus melawan sistem pengondisian yang
membatasi jangkauan kemungkinan cara perlawanan terhadap sistem itu
dilakukan![17] Yesus masuk ke jantung sistem dan
menghujamnya dengan telak. Yang dilakukan Yesus tidak hanya menumpas sistem
perbudakan dosa, lebih dari itu, Ia juga menghajar sistem yang memungkinkan
sistem perbudakan dosa tersebut. Yesus mampu keluar dari dan berbalik melawan
anggapan umum tentang perlawanan yang mungkin, sebagaimana
disediakan oleh sistem berpikir dominan seperti misalnya yang diolok-olokkan
orang Yahudi kepadanya saat disalib: memanggil sebatalion malaikat,
menggunakan kuasa Allah untuk turun dari salib, dst.[18].
Berpaling kepada ide-ide muluk nan
melangit tentang hak asasi manusia dan kemanusiaan universal, atau pada
ide-ide munafik (hipokrit) sehari-hari seperti ‘kasihan’, ‘iba’, dan
kedermaan filantropis(charity), seperti yang kerap
disuntikkan rangsangannya oleh berbagai rupa reality
show dan film-film seperti Laskar Pelangi, adalah
mengulangi kebodohan menyedihkan murid-murid Yesus yang hanya bisa menganga
dungu sembari mengantar kenaikan gurunya dengan tatapan lugu.[19] (Penting: baca catatan kaki!)[20] Berharap ada orang di luar
sana—pemimpin ideal yang berkarakteristik, bergelar lulusan ‘luar negeri,’
berpakaian dan beratribut relijius—sama saja mengingkari dan menolak
kenyataan bahwa api Pentakosta telah dihinggapkan pada kita semua sehingga
kita semua memiliki segala potensialitas yang dibutuhkan untuk memerangi
seantero musuh.[21]
Mengikuti teladan Yesus bukanlah
menjiplak mentah-mentah yang tertera dalam Alkitab. Namun yang lebih penting
adalah memetik teladan paradigmatik darinya
dan menerapkannya dalam kehidupan hari ini. Ke-hari-ini-an
berbicara tentang aktualitas yang spesifik secara temporal. Konsekuensinya,
‘hari ini’ satu milenium lalu berbeda dengan ‘hari ini’ seabad yang lalu,
atau sewindu yang lalu. “Hari ini” berbicara tentang suatu kondisi kekinian
yang ‘aktual terjadi’ (actually existing).Tanpa
pendasaran pemahaman obyektif (baca: riset!) tentang tentang apa yang secara
aktual sedang terjadi—krisis, eksploitasi, penindasan—maka Alkitab tidaklah
lebih sebagai skriptura antik yang tidak memiliki relevansi hari ini.
Akibatnya, para pembaca Alkitab akan berakhir pada kesimpulan a la Dan Brown, yaitu Yesus berhubungan seksual
dengan Maria. Memperlakukan teladan Yesus sebagai teladan paradigmatik, maka akan membuat orang untuk
kembali ke pergumulan dan penderitaannya sehari-hari—Ya! Anda harus
menderita!—dan berperang dari sana.
Penutup
Pembahasan mengenai Ayub,
peperangan rohani, dan teladan salib Yesus ini sekiranya dapat menunjukkan
bagaimana potensi konfrontatif sistemik yang kita butuhkan hari ini untuk
melawan kapitalisme dan neoliberal, sebenarnya telah ada dan inheren dalam
teologi itu sendiri. Dengan mengubah sedikit cara pandang kita terhadap
teologi ke arah yang materialis, maka bisa kita lihat dan manfaatkan potensi
revolusioner dari teologi tersebut. Yang saya lakukan barusan adalah menggali
dari teologi Kristen. Tidak lantas berarti saya hendak mempromosikan agama
ini. Yang hendak saya sampaikan adalah bahwa upaya serupa juga perlu
dilakukan pada teologi dari agama lainnya secara spesifik. Bukankah ini
konsekuensi berpikir secara materialis, yaitu dengan masuk dan mengkonfrontasi
langsung ke spesifisitas doktrin teologi—sebagai materialitas—tersebut? ●
|
Catatan : Versi terdahulu dari
makalah ini pernah disajikan sebagai bahan diskusi pada panel ‘Agama dan
Materialisme’ kelas Filsafat Religi, Program Doktoral Filsafat, Univ. Indonesia,
Depok, 12 Desember 2012. Penulis menyampaikan terima kasih untuk segenap
kritikan yang masuk dari para partisipan diskusi tersebut. Kritik dan komentar
dapat disampaikan langsung atau melalui email : yosieprodigy@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar