Kamis, 16 Januari 2014

Embrio Korupsi Masuk Desa

Embrio Korupsi Masuk Desa

Sumaryoto Padmodiningrat  ;   Anggota DPR
SUARA MERDEKA,  02 Januari 2014
                                                                                                                        


IBARAT kanker ganas, korupsi menjalar ke manamana, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Setelah tanggal 17 Desember 2013 DPR mengesahkan RUU tentang Desa, ada kekhawatiran korupsi bakal masuk ke desa-desa. Betapa tidak? Data Kemendagri menyebutkan selama 2004- 2013 tercatat 309 kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota terjerat korupsi.

Di legislatif, sepanjang 2004-2012, ada 349 kasus melibatkan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Sementara dari 385 kasus yang ditangani KPK sejak berdiri tahun 2004, 72 kasus di antaranya melibatkan anggota DPR dan DPRD. Di yudikatif pun banyak hakim terlibat korupsi, baik di Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri, maupun Pengadilan Tipikor.

Puncaknya, 2 Oktober 2013, yakni penangkapan Akil Mochtar sebagai ketua Mahkamah Konstitusi (MK) berkait kasus suap sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Lebak Banten. Penyelenggara dan pengawas pemilu/pilkada, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga tak luput dari godaan korupsi.

Ketua Bawaslu Muhammad baru-baru ini mengaku ada kader partai hendak menyuapnya dengan sebuah mobil mewah. Namun ia menolak. Sayang, Muhammad enggan melaporkan kasus ini kepada KPK, sebagaimana Ketua DPR Marzuki Alie yang enggan mengungkap anggota DPR dan fraksi yang menerima suap terkait rencana pembangunan gedung DPR yang kemudian dibatalkan. Mengapa korupsi bisa terjadi? Karena ada niat dan kesempatan.

Ada niat kalau tak ada kesempatan, tak jadi korupsi. Ada kesempatan tak ada niat, juga tak bakal korupsi. Kesempatan itu dimiliki mereka yang punya kuasa, baik kuasa politik, anggaran, maupun kuasa birokrasi, dan seperti kata Lord Acton (1834-1902) kekuasaan itu cenderung korup. Makin absolut sebuah kekuasaan, makin absolut pula korupsi (absolute power tends to absolutely corrupt). Lihat saja di DPR/DPRD, yang terlibat korupsi kebanyakan mereka yang duduk di badan/panitia anggaran, dan juga pimpinan.

Kini, setelah UU tentang Desa diberlakukan, pada 2014 kita dihantui perasaan harap-harap cemas. Dalam salah satu klausul regulasi itu mengamanatkan pemberian dana kepada tiap desa dari APBN. Sejak rapatrapat di Panitia Khusus RUU Desa DPR sudah ada wacana dana untuk desa itu sebesar Rp 1 miliar/ desa. Kini kita berharap dengan dana Rp1 miliar untuk tiap desa maka angka kemiskinan akan turun.

Tahun 2013, dengan 250 juta jiwa penduduk, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 96 juta jiwa, sebagian besar ada di desa. Namun yang sejatinya kita cemaskan adalah para kepala desa belum teruji sebagai kuasa pengguna anggaran dalam jumlah besar. Relevan bila ada kekhawatiran mereka rentan terjerat korupsi seperti halnya gubernur, bupati/wali kota. Bila ini terjadi berarti korupsi benar-benar masuk desa.

Pembangunan Karakter

Namun kapan kepala desa akan diberi kepercayaan kalau bukan sekarang? Hanya gara-gara kita belum sepenuhnya percaya kepada mereka, akankah pengesahan regulasi itu kita anulir? Jawabnya tidak.

Salah satu cara mengantisipasi dan mencegah para kepala desa terlibat korupsi adalah melalui pembangunan karakter. Ikhtiar itu bisa dilakukan dengan menanamkan nilai-nilai agama, juga nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, atau biasa disebut empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks ini, MPR telah menugaskan seluruh anggotanya untuk menyosialisasikan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut ke seluruh pelosok Nusantara. Empat pilar tersebut akan lebih efektif sebagai upaya membangun bangsa bila ditanamkan kepada para pemuda mengingat kedudukan mereka sangat penting.

Pemudalah yang menjadi tulang punggung bangsa. Pemudalah yang menjadi agen perubahan dan agen pembangunan. Masa depan sebuah bangsa terletak di tangan pemuda. Sedemikian penting posisi mereka, sampai-sampai Bung Karno kerap menyebutkan dalam pidatonya, ”Berilah aku 10 pemuda maka aku akan mengguncang dunia.”

Mengingat vitalnya pemuda itulah maka penulis memasukkan pemuda sebagai salah satu pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni sebagai pilar kelima, setelah Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Sejarah membuktikan bahwa kedudukan pemuda sangat penting, seperti dalam proses berdirinya organisasi kebangsaan pertama, Boedi Oetomo tahun 1908; pengikraran Soempah Pemoeda pada 28 Oktober 1928; proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945; dan reformasi pada 1998.

Mengawali tahjun baru, kita optimistis keterbangunan karakter bisa menangkal bibit korupsi yang kita khawatirkan mengecambah di desa-desa. ●

                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar