Embrio
Korupsi Masuk Desa
Sumaryoto Padmodiningrat ; Anggota DPR
|
SUARA
MERDEKA, 02 Januari 2014
IBARAT kanker ganas, korupsi menjalar ke
manamana, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Setelah tanggal 17
Desember 2013 DPR mengesahkan RUU tentang Desa, ada kekhawatiran korupsi
bakal masuk ke desa-desa. Betapa tidak? Data Kemendagri menyebutkan selama
2004- 2013 tercatat 309 kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali
kota terjerat korupsi.
Di legislatif, sepanjang 2004-2012, ada 349
kasus melibatkan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Sementara dari 385
kasus yang ditangani KPK sejak berdiri tahun 2004, 72 kasus di antaranya
melibatkan anggota DPR dan DPRD. Di yudikatif pun banyak hakim terlibat
korupsi, baik di Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri, maupun
Pengadilan Tipikor.
Puncaknya, 2 Oktober 2013, yakni
penangkapan Akil Mochtar sebagai ketua Mahkamah Konstitusi (MK) berkait kasus
suap sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah, dan Kabupaten
Lebak Banten. Penyelenggara dan pengawas pemilu/pilkada, yakni Komisi
Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga tak luput dari
godaan korupsi.
Ketua Bawaslu Muhammad baru-baru ini
mengaku ada kader partai hendak menyuapnya dengan sebuah mobil mewah. Namun
ia menolak. Sayang, Muhammad enggan melaporkan kasus ini kepada KPK,
sebagaimana Ketua DPR Marzuki Alie yang enggan mengungkap anggota DPR dan
fraksi yang menerima suap terkait rencana pembangunan gedung DPR yang
kemudian dibatalkan. Mengapa korupsi bisa terjadi? Karena ada niat dan
kesempatan.
Ada niat kalau tak ada kesempatan, tak jadi
korupsi. Ada kesempatan tak ada niat, juga tak bakal korupsi. Kesempatan itu
dimiliki mereka yang punya kuasa, baik kuasa politik, anggaran, maupun kuasa
birokrasi, dan seperti kata Lord Acton (1834-1902) kekuasaan itu cenderung
korup. Makin absolut sebuah kekuasaan, makin absolut pula korupsi (absolute power tends to absolutely corrupt).
Lihat saja di DPR/DPRD, yang terlibat korupsi kebanyakan mereka yang duduk di
badan/panitia anggaran, dan juga pimpinan.
Kini, setelah UU tentang Desa diberlakukan,
pada 2014 kita dihantui perasaan harap-harap cemas. Dalam salah satu klausul
regulasi itu mengamanatkan pemberian dana kepada tiap desa dari APBN. Sejak
rapatrapat di Panitia Khusus RUU Desa DPR sudah ada wacana dana untuk desa
itu sebesar Rp 1 miliar/ desa. Kini kita berharap dengan dana Rp1 miliar
untuk tiap desa maka angka kemiskinan akan turun.
Tahun 2013, dengan 250 juta jiwa penduduk,
angka kemiskinan di Indonesia mencapai 96 juta jiwa, sebagian besar ada di
desa. Namun yang sejatinya kita cemaskan adalah para kepala desa belum teruji
sebagai kuasa pengguna anggaran dalam jumlah besar. Relevan bila ada
kekhawatiran mereka rentan terjerat korupsi seperti halnya gubernur,
bupati/wali kota. Bila ini terjadi berarti korupsi benar-benar masuk desa.
Pembangunan
Karakter
Namun kapan kepala desa akan diberi
kepercayaan kalau bukan sekarang? Hanya gara-gara kita belum sepenuhnya
percaya kepada mereka, akankah pengesahan regulasi itu kita anulir? Jawabnya
tidak.
Salah satu cara mengantisipasi dan mencegah
para kepala desa terlibat korupsi adalah melalui pembangunan karakter.
Ikhtiar itu bisa dilakukan dengan menanamkan nilai-nilai agama, juga
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan
Bhinneka Tunggal Ika, atau biasa disebut empat pilar kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Dalam konteks ini, MPR telah menugaskan
seluruh anggotanya untuk menyosialisasikan empat pilar kehidupan berbangsa
dan bernegara tersebut ke seluruh pelosok Nusantara. Empat pilar tersebut
akan lebih efektif sebagai upaya membangun bangsa bila ditanamkan kepada para
pemuda mengingat kedudukan mereka sangat penting.
Pemudalah yang menjadi tulang punggung
bangsa. Pemudalah yang menjadi agen perubahan dan agen pembangunan. Masa
depan sebuah bangsa terletak di tangan pemuda. Sedemikian penting posisi
mereka, sampai-sampai Bung Karno kerap menyebutkan dalam pidatonya, ”Berilah aku 10 pemuda maka aku akan
mengguncang dunia.”
Mengingat vitalnya pemuda itulah maka
penulis memasukkan pemuda sebagai salah satu pilar kehidupan berbangsa dan
bernegara, yakni sebagai pilar kelima, setelah Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan
Bhinneka Tunggal Ika. Sejarah membuktikan bahwa kedudukan pemuda sangat
penting, seperti dalam proses berdirinya organisasi kebangsaan pertama, Boedi
Oetomo tahun 1908; pengikraran Soempah Pemoeda pada 28 Oktober 1928;
proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945; dan reformasi pada 1998.
Mengawali tahjun baru, kita optimistis
keterbangunan karakter bisa menangkal bibit korupsi yang kita khawatirkan
mengecambah di desa-desa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar