Kamis, 16 Januari 2014

Payung Hukum untuk Penghulu

Payung Hukum untuk Penghulu

Jamal Wiwoho  ;   Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
SUARA MERDEKA,  02 Januari 2014
                                                                                                                        


Dunia penegakan hukum di Indonesia saat ini cukup dinamis. Berbagai permasalahan yang pada awalnya kurang, atau bahkan tidak mendapatkan perhatian publik, kini mengemuka. Bahkan menjadi masalah cukup serius dalam penegakan hukum pada umumnya atau secara khusus berkait perkara korupsi yang dilakukan aparatur pemerintah.

Awal kisah ini dimulai dari penangkapan Romli, petugas pencatat nikah (penghulu) sekaligus Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kediri Jatim atas sangkaan menerima gratifikasi dari keluarga calon mempelai.

Langkah Kejari Kediri patut disimak dari berbagai dimensi, misalnya dalam bingkai hukum normatif, pandangan sosiologis, dan dampak yang ditimbulkannya terhadap para pihak yang berkait dengan pernikahan serta masyarakat pada umumnya.

Dilihat dari segi hukum dengan pendekatan normatif semata, langkah kejaksaan memproses hukum Romli tentu sudah dilakukan melalui pertimbangan matang. Tugas aparat penegak hukum yang volume pekerjaannya sudah banyak pun nantinya bertambah mengingat harus berkonsentrasi pada masalah ini.

Dalam tinjauan lain, secara normatif pula petugas pencatat nikah yang melakukan pencatatan di luar kantor dan di luar hari/jam kerja sudah mempunyai payung hukum, yaitu Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2007 Pasal 21 Ayat (1) yang menyatakan bahwa pernikahan dilaksanakan di KUA. Namun tradisi yang dianut dalam masyarakat, diakomodasi dalam peraturan tersebut melalui Ayat 2 yang menyebutkan akad nikah bisa dilaksanakan di luar KUA atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan pegawai pencacat nikah (kepala KUA).

Kemudahan itu kemudian menghadirkan ’’dilema’’. Pasalnya, pelaksanaan akad nikah di luar KUA (misal di rumah calon mempelai perempuan, masjid, mushala atau tempat yang dipilih) sudah mentradisikan pemberian uang terima kasih untuk penghulu.

Ketentuan normatif yang mengatur soal biaya penghulu nikah itu adalah Rp 30 ribu. Namun dalam praktik di masyarakat terkait prosesi pernikahan di luar KUA hampir dapat dipastikan keluarga pengantin memberikan sekadar uang transpor atas dasar keikhlasan kepada penghulu. Dilihat dari sisi petugas pencacat nikah pada umumnya, tragedi Romli akan menjadi bencana nasional andai tak segera dicarikan solusi. Reaksi penghulu tak bersedia datang ke rumah calon pengantin dan pengantin harus datang ke KUA serta pada hari/jam kerja menjadi wajar.

Pasalnya, andai datang ke tempat/rumah calon pengantin, penghulu berisiko terkena pasal gratifikasi dan dapat dipidanakan. Ke depan, mungkin saja calon pengantin tak bisa memilih lagi tempat dan waktu tepat untuk melaksanakan akad nikah. Kita sering mendengar ada calon mempelai memilih tanggal ’’istimewa’’semisal 11 Desember 2013 (11- 12-13) atau pukul 14.00 tanggal 1 April 2014 (14-1-4 14).

Nantinya, mereka harus menyesuaikan dengan jadwal atau hari/jam kerja KUA. Terkait kasus Romli, Irjen Kemenag M Jasin mengatakan pemerintah segera mengeluarkan peraturan, tapi terpisah dari PPNomor 47 tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sebelumnya PP Nomor 47 tahun 2004 terkait PNBP menyebutkan biaya akad nikah Rp 30 ribu.

Adapun regulasi yang baru mewacanakan dua alternatif, yaitu pembebasan biaya pernikahan untuk masyarakat miskin. Selain itu, biaya nikah di luar kantor KUA dan jam kerja ditetapkan Rp 500 ribu, dan biaya nikah di kantor KUARp 50 ribu. Biaya nikah di luar kantor yang akadnya dilakukan di masjid, mushala atau rumah Rp 500 ribu, dan khusus di gedung dikenakan Rp1 juta (Sindonews.com, 25/12/13).

Penulis teringat pernyataan Profesor Satjipto Rahardjo bahwa tujuan hukum itu pada aras pertama adalah untuk kepastian, sedangkan pada aras kedua hukum harus menghadirkan keadilan yang substantif, sedangkan pada aras ketiga, hukum hadir untuk membuat manusia bahagia dan sejahtera karena hukum itu dibuat untuk kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar