Payung
Hukum untuk Penghulu
Jamal Wiwoho ; Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas
Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
SUARA
MERDEKA, 02 Januari 2014
Dunia penegakan hukum di
Indonesia saat ini cukup dinamis. Berbagai permasalahan yang pada awalnya
kurang, atau bahkan tidak mendapatkan perhatian publik, kini mengemuka.
Bahkan menjadi masalah cukup serius dalam penegakan hukum pada umumnya atau
secara khusus berkait perkara korupsi yang dilakukan aparatur pemerintah.
Awal kisah ini dimulai dari
penangkapan Romli, petugas pencatat nikah (penghulu) sekaligus Kepala Kantor
Urusan Agama (KUA) Kediri Jatim atas sangkaan menerima gratifikasi dari
keluarga calon mempelai.
Langkah Kejari Kediri patut
disimak dari berbagai dimensi, misalnya dalam bingkai hukum normatif,
pandangan sosiologis, dan dampak yang ditimbulkannya terhadap para pihak yang
berkait dengan pernikahan serta masyarakat pada umumnya.
Dilihat dari segi hukum dengan
pendekatan normatif semata, langkah kejaksaan memproses hukum Romli tentu
sudah dilakukan melalui pertimbangan matang. Tugas aparat penegak hukum yang
volume pekerjaannya sudah banyak pun nantinya bertambah mengingat harus
berkonsentrasi pada masalah ini.
Dalam tinjauan lain, secara
normatif pula petugas pencatat nikah yang melakukan pencatatan di luar kantor
dan di luar hari/jam kerja sudah mempunyai payung hukum, yaitu Peraturan
Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2007 Pasal 21 Ayat (1) yang menyatakan
bahwa pernikahan dilaksanakan di KUA. Namun tradisi yang dianut dalam
masyarakat, diakomodasi dalam peraturan tersebut melalui Ayat 2 yang
menyebutkan akad nikah bisa dilaksanakan di luar KUA atas permintaan calon
pengantin dan atas persetujuan pegawai pencacat nikah (kepala KUA).
Kemudahan itu kemudian
menghadirkan ’’dilema’’. Pasalnya, pelaksanaan akad nikah di luar KUA (misal
di rumah calon mempelai perempuan, masjid, mushala atau tempat yang dipilih)
sudah mentradisikan pemberian uang terima kasih untuk penghulu.
Ketentuan normatif yang
mengatur soal biaya penghulu nikah itu adalah Rp 30 ribu. Namun dalam praktik
di masyarakat terkait prosesi pernikahan di luar KUA hampir dapat dipastikan
keluarga pengantin memberikan sekadar uang transpor atas dasar keikhlasan
kepada penghulu. Dilihat dari sisi petugas pencacat nikah pada umumnya,
tragedi Romli akan menjadi bencana nasional andai tak segera dicarikan
solusi. Reaksi penghulu tak bersedia datang ke rumah calon pengantin dan
pengantin harus datang ke KUA serta pada hari/jam kerja menjadi wajar.
Pasalnya, andai datang ke
tempat/rumah calon pengantin, penghulu berisiko terkena pasal gratifikasi dan
dapat dipidanakan. Ke depan, mungkin saja calon pengantin tak bisa memilih
lagi tempat dan waktu tepat untuk melaksanakan akad nikah. Kita sering
mendengar ada calon mempelai memilih tanggal ’’istimewa’’semisal 11 Desember
2013 (11- 12-13) atau pukul 14.00 tanggal 1 April 2014 (14-1-4 14).
Nantinya, mereka harus
menyesuaikan dengan jadwal atau hari/jam kerja KUA. Terkait kasus Romli, Irjen
Kemenag M Jasin mengatakan pemerintah segera mengeluarkan peraturan, tapi
terpisah dari PPNomor 47 tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP). Sebelumnya PP Nomor 47 tahun 2004 terkait PNBP
menyebutkan biaya akad nikah Rp 30 ribu.
Adapun regulasi yang baru
mewacanakan dua alternatif, yaitu pembebasan biaya pernikahan untuk
masyarakat miskin. Selain itu, biaya nikah di luar kantor KUA dan jam kerja
ditetapkan Rp 500 ribu, dan biaya nikah di kantor KUARp 50 ribu. Biaya nikah
di luar kantor yang akadnya dilakukan di masjid, mushala atau rumah Rp 500
ribu, dan khusus di gedung dikenakan Rp1 juta (Sindonews.com, 25/12/13).
Penulis teringat pernyataan
Profesor Satjipto Rahardjo bahwa tujuan hukum itu pada aras pertama adalah
untuk kepastian, sedangkan pada aras kedua hukum harus menghadirkan keadilan
yang substantif, sedangkan pada aras ketiga, hukum hadir untuk membuat
manusia bahagia dan sejahtera karena hukum itu dibuat untuk kebahagiaan dan
kesejahteraan umat manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar