Efek
Berantai Pernikahan
Muh Nursalim ; Kepala KUA
Kecamatan Tanon Kabupaten Sragen
|
SUARA
MERDEKA, 11 Januari 2014
Artikel Dr Abu Rokhmad yang mengkritisi
birokrasi pernikahan (SM, 21/12/13) dan tulisan Dr L Murbandono Hs terhadap
hegemoni agama dan negara terhadap prosesi pernikahan (SM, 6/1/14) menarik
untuk dikaji. Penulis pernah diminta untuk menjadi saksi pada salah satu
Pengadilan Negeri di pantura Jateng.
Perkara yang disidangkan cukup unik, yaitu
gugatan terhadap penerbitan akta kelahiran. Tergugat I adalah pemegang akta
kelahiran, dan tergugat II kantor Catatan Sipil. Mengingat syarat utama
penerbitan akta kelahiran adalah akta nikah maka penulis sebagai kepala KUA
yang menerbitkan akta nikah, dijadikan saksi.
Mengapa akta kelahiran digugat? Pasalnya
dokumen itu menjadi bukti sah bahwa seseorang itu adalah anak dari X dan Y.
Di balik gugatan, ada aset miliaran rupiah milik X dan Y yang sudah meninggal
dunia. Ketika akta kelahiran tersebut dinyatakan tidak sah maka si tergugat
menjadi tidak berhak lagi atas harta warisan tersebut.
Merujuk teori kontrak sosial Thomas Hobbes,
dalam kasus itu maka negara (KUA dan kantor Catatan Sipil) bertindak sebagai
Leviathan atas silang-sengkarut nasab (hifd
al nasl). Inilah salah satu tujuan agama (Islam) digelar dalam kehidupan.
Pernikahan bukan hanya urusan dua insan yang saling mencintai melainkan
melihat efek berantai yang kompleks di baliknya, seperti perwalian
persaudaraan (mushaharah) warisan dan hijab.
Di sinilah letak pentingnya negara terlibat
untuk memastikan bahwa pernikahan orang yang satu dan satunya lagi, serta
harus berlainan jenis, itu sah atau tidak. Keterlibatan negara dalam jalinan
cinta dua manusia justru dalam rangka melindungi pasangan tersebut dari
pertikaian yang mungkin terjadi di kemudian hari.
Dengan memakai perspektif ini maka
pernikahan indah sebagaimana diandaikan L Murbandono berisiko menjadi
pernikahan yang kelam. Cinta yang didewa-dewakan menjadi landasan dua manusia
tidak lebih dari pemenuhan hasrat seksual semata. Inilah bentuk peradaban
gelap yang terjadi pada manusia era tribalisme.
Masih segar dalam ingatan kita pernikahan
antara pria pengusaha dan siswi SMP di Kabupaten Semarang beberapa waktu lalu.
Walaupun keduanya menyatakan saling cinta, praktik seperti itu tak lazim
terjadi pada era peradaban terang. Karena itulah, demi menjaga harmoni
sosial, negara turun tangan memenjara sang pengusaha.
Berkas
Persyaratan
Untuk dapat melangsungkan pernikahan secara
sah menurut agama dan negara, calon mempelai harus memenuhi 15 berkas
persyaratan. Itu pun untuk pernikahan ”normal” (antara jejaka dan perawan,
serta sipil). Bagi anggota TNI/ Polri atau duda/ janda, persyaratannya makin
banyak. Begitu pun mereka yang kurang umur dan poligami.
Ini berarti berkas persyaratan untuk bisa
mendapatkan akta nikah lebih rumit ketimbang mengurus paspor, akta kelahiran,
bahkan akta tanah di BPN. Menjadi lebih rumit lagi bila berkas persyaratan
nikah tidak komplet, dan calon mempelai harus berurusan dengan penghulu yang
kebetulan ”nakal”.
Penghulu seperti itu tak akan meminta calon
mempelai melengkapi berkas tapi justru meminta ”dilengkapi” dengan sejumlah
uang. Dalam hal ini, jajaran Kemenag perlu berijtihad untuk menyederhanakan
prosedur administrasi pernikahan. Ikhtiar itu supaya masyarakat dengan mudah
mengurus sendiri tak harus bergantung pada petugas pencatat nikah, lebe atau
modin.
Berkait eksistensi penghulu yang menjadi
topik hangat belakangan ini, sebaiknya kita menyerahkan sepenuhnya kepada
para pengambil kebijakan. Sebagai pelaksana di lapangan, kepala KUA siap
bekerja sesuai aturan. Silakan dikriminalisasi bila ada penghulu
melanggar aturan mengingat ada juga yang nakal.
Sinyalemen Abu Rokhmad bahwa penghulu
dalam melayani masyarakat acap bertindak transaksional, juga tidak
sepenuhnya salah.
Untuk itu, kasus yang menimpa Romli,
Kepala KUA Kediri Jatim yang dibui akibat melakukan pungli, menjadi momentum
perbaikan pelayanan nikah. Tujuannya supaya pernikahan indah pada era
peradaban terang, bisa kita rasakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar