Kamis, 16 Januari 2014

Efek Berantai Pernikahan

Efek Berantai Pernikahan

Muh Nursalim  ;    Kepala KUA Kecamatan Tanon Kabupaten Sragen
SUARA MERDEKA,  11 Januari 2014
                                                                                                                     


Artikel Dr Abu Rokhmad yang mengkritisi birokrasi pernikahan (SM, 21/12/13) dan tulisan Dr L Murbandono Hs terhadap hegemoni agama dan negara terhadap prosesi pernikahan (SM, 6/1/14) menarik untuk dikaji. Penulis pernah diminta untuk menjadi saksi pada salah satu Pengadilan Negeri di pantura Jateng.

Perkara yang disidangkan cukup unik, yaitu gugatan terhadap penerbitan akta kelahiran. Tergugat I adalah pemegang akta kelahiran, dan tergugat II kantor Catatan Sipil. Mengingat syarat utama penerbitan akta kelahiran adalah akta nikah maka penulis sebagai kepala KUA yang menerbitkan akta nikah, dijadikan saksi.

Mengapa akta kelahiran digugat? Pasalnya dokumen itu menjadi bukti sah bahwa seseorang itu adalah anak dari X dan Y. Di balik gugatan, ada aset miliaran rupiah milik X dan Y yang sudah meninggal dunia. Ketika akta kelahiran tersebut dinyatakan tidak sah maka si tergugat menjadi tidak berhak lagi atas harta warisan tersebut.

Merujuk teori kontrak sosial Thomas Hobbes, dalam kasus itu maka negara (KUA dan kantor Catatan Sipil) bertindak sebagai Leviathan atas silang-sengkarut nasab (hifd al nasl). Inilah salah satu tujuan agama (Islam) digelar dalam kehidupan. Pernikahan bukan hanya urusan dua insan yang saling mencintai melainkan melihat efek berantai yang kompleks di baliknya, seperti perwalian persaudaraan (mushaharah) warisan dan hijab.

Di sinilah letak pentingnya negara terlibat untuk memastikan bahwa pernikahan orang yang satu dan satunya lagi, serta harus berlainan jenis, itu sah atau tidak. Keterlibatan negara dalam jalinan cinta dua manusia justru dalam rangka melindungi pasangan tersebut dari pertikaian yang mungkin terjadi di kemudian hari.

Dengan memakai perspektif ini maka pernikahan indah sebagaimana diandaikan L Mur­bandono berisiko menjadi pernikahan yang kelam. Cinta yang didewa-dewakan menjadi landasan dua manusia tidak lebih dari pe­menuhan hasrat sek­sual semata. Ini­lah bentuk peradaban ge­lap yang terjadi pa­da ma­­nusia era tribalisme. 

Masih segar dalam ingatan kita pernikahan antara pria pengusaha dan siswi SMP di Kabupaten Semarang beberapa waktu lalu. Walaupun keduanya menyatakan saling cinta, praktik seperti itu tak lazim terjadi pada era peradaban terang. Karena itulah, demi menjaga harmoni sosial, negara turun tangan memenjara sang pengusaha.

Berkas Persyaratan

Untuk dapat melangsungkan pernikahan secara sah menurut agama dan negara, calon mempelai harus memenuhi 15 berkas persyaratan. Itu pun untuk pernikahan ”normal” (antara jejaka dan perawan, serta sipil). Bagi anggota TNI/ Polri atau duda/ janda, persyaratannya makin banyak. Begitu pun mereka yang kurang umur dan poligami.

Ini berarti berkas persyaratan untuk bisa mendapatkan akta nikah lebih rumit ketimbang mengurus paspor, akta kelahiran, bahkan akta tanah di BPN. Menjadi lebih rumit lagi bila berkas persyaratan nikah tidak komplet, dan calon mempelai harus berurusan dengan penghulu yang kebetulan ”nakal”.

Penghulu seperti itu tak akan meminta calon mempelai melengkapi berkas tapi justru meminta ”dilengkapi” dengan sejumlah uang. Dalam hal ini, jajaran Kemenag perlu berijtihad untuk menyederhanakan prosedur administrasi pernikahan. Ikhtiar itu supaya masyarakat dengan mudah mengurus sendiri tak harus bergantung pada petugas pencatat nikah, lebe atau modin.

Berkait eksistensi penghulu yang menjadi topik hangat belakangan ini, sebaiknya kita menye­rah­kan sepenuhnya kepada para pengambil kebijakan. Sebagai pelaksana di lapangan, kepala KUA siap bekerja sesuai aturan. Silakan dikriminalisasi bila ada  penghulu melanggar aturan mengingat ada juga yang nakal.

Sinyalemen Abu Rokhmad bah­­wa penghulu dalam melayani masyarakat acap bertindak tran­saksio­nal, juga tidak sepenuhnya salah.

Un­tuk itu, ka­sus yang menimpa Romli, Kepala KUA Kediri Jatim yang dibui akibat melakukan pungli, menjadi momentum perbaikan pelayanan nikah. Tujuannya supaya pernikahan indah pada era peradaban terang, bisa kita rasakan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar