Memilih
Presiden Pelayan Rakyat
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR,
Wakil
Ketua Umum Kadin Indonesia
|
SUARA
MERDEKA, 11 Januari 2014
SEPANJANG paruh pertama 2014,
hampir seluruh elemen rakyat Indonesia akan disibukkan kegiatan mempersiapkan
dan melaksanakan pemilihan umum. Dalam rentang waktu itu, warga negara
pemilik suara dituntut berpikir jernih, independen, dan memahami hakikat
kebutuhan. Pasalnya Indonesia harus mencari dan memilih pemimpin. Bukan
sembarang pemimpin melainkan yang mau menjadi abdi sejati bagi rakyat.
Ketidaknyamanan hidup berbangsa
dan bernegara selama hampir satu dekade terakhir ini merupakan buah
dari sikap dan pilihan tidak cerdas. Maka, jadikan pengalaman tidak enak
tersebut sebagai pelajaran supaya pada saat menggunakan hak pilih nanti,
sikap dan pilihan tidak cerdas itu tak terulang.
Semua elemen rakyat harus
bertekad mengakhiri ketidaknyamanan hidup berbangsa dan bernegara yang telah
berlangsung hampir satu dekade terakhir ini. Karena itu, hindari kesalahan
dalam memilih wakil rakyat, baik anggota DPR maupun DPRD. Jangan juga
mengulang kesalahan dalam memilih pemimpin atau presiden. Sebagai acuan untuk
mengoreksi kesalahan dalam memilih, silakan masing-masing mengalkulasi dampak
buruk atau ekses dari kesalahan memilih itu.
Kalkulasi bisa dimulai dengan
menimbang-nimbang perubahan derajat kesejahteraan bersama dalam waktu hampir
10 tahun belakangan ini. Pertanyakan juga militansi pemerintah dalam membela
dan menjaga kepentingan nasional, serta kepentingan rakyat. Apakah
pemerintahan cerdas dan berani mengelola semua komoditas kebutuhan pokok
rakyat? Tentu, yang juga sangat penting adalah mengkaji seberapa jauh
pemerintahan ini efektif dan bersih.
Dengan demikian, pada tahun
politik 2014, target seluruh elemen rakyat hanya satu: mencari pelayan atau
abdi rakyat. Mencari anggota DPR/DPRD yang melayani, dan mencari presiden
yang mau dan fokus melayani rakyat dan negara. Fokus anggota DPR/DPRD serta presiden
dan pemerintahan yang dipimpin hanya melayani negara dan rakyat. Melayani
berarti harus menjadi abdi negara dan abdi rakyat dalam arti
sebenar-benarnya, bukan sekadar slogan untuk meraih popularitas.
Pemilu 2014 dilaksanakan dalam
dua tahap; pemilu legislatif pada 9 April 2014 yang memilih anggota DPR/DPRD,
dan pemilu presiden pada 9 Juli 2014 yang memilih presiden dan wakil
presiden. Apa yang akan didapatkan rakyat dari pesta demokrasi itu, terpulang
kepada warga negara yang berhak memilih. Ingin dilayani atau melayani?
Menjadi abdi rakyat yang sejati
berarti harus memahami dan menghayati persoalan rakyat. Bahkan, demi
efektivitas pelayanan dan pengabdian kepada rakyat, anggota DPR/ DPRD
serta presiden dan para birokrat di semua institusi pemerintahan harus
menyatu dengan rakyat. Tak boleh ada jarak agar DPR/DPRD dan presiden tahu
betul jalan keluar seperti apa yang diperlukan untuk memecahkan aneka
persoalan yang dihadapi rakyat kebanyakan. Contoh praktik demikian telah
diperlihatkan oleh sejumlah pemerintahan daerah.
Karena itu, jangan memilih abdi
atau pelayan semu. Bila berperan sebagai pelayan semu, anggota DPR/DPRD dan
presiden tak akan pernah dan mau tahu persoalan yang dihadapi rakyat. Kalau
persoalan rakyat saja tidak dipahami, bagaimana mungkin mereka bisa
merumuskan jalan keluar. Berarti, anggota DPR/DPRD harus rajin ke daerah
pemilihan pada masa reses untuk menyerap aspirasi konstituen.
Presiden pun hendaknya rajin
mengunjungi daerah untuk mengetahui perkembangan pembangunan di tiap pelosok.
Urgensi perjalanan ke luar negeri harus jelas, dan tentu saja harus berkait
kepentingan negara dan rakyat. Karena itulah, menjadi sangat penting bagi
presiden dan legislator untuk tidak mempunyai agenda lain, kecuali melayani
negara dan rakyat.
Jika hak pilih digunakan dengan
pikiran jernih dan independen, rakyat pasti bisa mendapatkan wakil rakyat dan
pemimpin yang siap melayani. Sebaliknya, jika hak pilih digunakan secara
sembrono, yang didapatkan bukanlah abdi rakyat sejati melainkan legislator dan
pemimpin yang justru dirundung masalah, termasuk terjerat kasus hukum.
Pada Februari 2013, Kemendagri
menyatakan 2.976 wakil rakyat (DPRD provinsi dan kabupaten/Kota)
terjerat kasus hukum. Saat itu, 431 anggota DPRD provinsi terjerat kasus hukum
dengan 83,76% perkara tipikor. Adapun jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang
terseret kasus hukum 2.545 orang, 40,07% kasus tipikor.
Di Senayan, beberapa anggota
DPR pun terjerat kasus yang sama. Sementara itu, 304 pejabat level pimpinan
daerah bermasalah dengan hukum, meliputi 22 gubernur, 7 wakil gubernur, 156
bupati, 46 wakil bupati, 41 wali kota, dan 20 wakil wali kota.
Dalam kasus Bank Century,
proyek Hambalang, suap kepala SKK Migas hingga kasus suap impor daging sapi,
sangat jelas menggambarkan pemerintah pusat tidak bersih. Persoalan
penggelembungan dana talangan Century bahkan merusak citra pemerintahan
sekarang karena tak satu pun pejabat dan institusi berani tampil untuk
mempertanggungjawabkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar