Kamis, 16 Januari 2014

Pencatatan Tanpa Penghulu

Pencatatan Tanpa Penghulu

A Fuad NS  ;    Alumnus Magister Pendidikan Islam Universitas Sains Al Qur’an (Unsiq) Jawa Tengah di Wonosobo,
Kepala KUA Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo
SUARA MERDEKA,  09 Januari 2014
                                                                                                                        


“Bila penghulu tidak menghadiri, dikhawatirkan banyak pasangan kumpul kebo melapor ke KUA telah menikah”

BUAH pemikiran Dr Abu Rohmad (SM, 21/12/13) menarik untuk dikritisi dan ditanggapi. Geger dunia penghulu diawali dari kasus pemidanaan Romli, Kepala KUA Kediri atas sangkaan menerima gratifikasi dari mempelai, merupakan titik awal yang menjadi dasar dia  dalam memahami birokrasi kepenghuluan.

Abu Rohmad menawarkan solusi penyederhanaan administrasi pernikahan dan penghulu tak dibenarkan menghadiri akad nikah. Mempelai cukup diwajibkan melaporkan perkawinan ke pegawai pencatat nikah (PPN) sesuai dengan syarat dan ketentuan. Peran penghulu seperti menikahkan, membimbing, dan memberi tausiah dapat dilakukan tokoh agama setempat.

Barangkali sekilas pandangannya itu rasional dan memberikan solusi agar penghulu tidak terjerumus dalam kasus hukum. Namun persoalan tentang profesi penghulu di lapangan perlu dicermati lebih detail melalui berbagai aturan perundangan yang menjadi legitimasi pelaksanaan tugas mereka.

Tugas penghulu baik di KUA maupun di luar sudah diatur dalam peraturan. Mereka tidak melakukan ijtihad sendiri dalam bertugas. Sebagai pelaksana birokrasi ia terikat aturan main guna menghindari jerat hukum dengan dakwaan gratifikasi dari mempelai yang dinikahkan.

Keharusan kehadiran penghulu telah dijelaskan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 Ayat 1 dan 2. Perkawinan sah apabila dilakukan hukum masing-masing agama dan kepercayaan calon mempelai. Tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan.

Kemudian diperjelas dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 mengenai Pencatatan Perkawinan. Pasal 2 Ayat 1 menjelaskan pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana dimaksud UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Dua regulasi tersebut dapat dipahami bahwa proses pernikahan, dari pendaftaran sampai pelaksanaan, peran PPN sangat besar dan dominan. Pencatatan pernikahan harus dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam dan hukum negara.

Nikah Siri

Dalam praktik, pernikahan merupakan perbuatan hukum dan berakibat pada hukum. Untuk bisa mencatat, penghulu harus menghadiri akad, baik di KUA maupun di luar. Bila tidak menghadiri, dikhawatirkan banyak pasangan kumpul kebo melaporkan ke KUA mengaku telah menikah. Sangat mungkin perbuatan perzinaan berkedok nikah siri.

Dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2007 Pasal 2, PPN adalah pejabat yang memeriksa persyaratan, mengawasi, dan mencatat nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak dan cerai gugat, dan membimbing perkawinan. Sederet tugas itu menunjukkan bahwa kehadiran PPN dalam akad nikah menjadi keharusan.

Lebih jelas dalam PMA Nomor 11 Tahun 2007 Pasal 17 dinyatakan akad nikah dilaksanakan di hadapan PPN atau penghulu dan pembantu penghulu dari wilayah tempat tinggal calon istri. Pernyataan tersebut memberikan pengertian merupakan suatu keharusan bagi PPN untuk menghadiri akad nikah.

Usulan Abu Rokhmad perlu pemerintah menerapkan sistem pernikahan yang dapat diakses secara terbuka dan online, patut dipertimbangkan. Terlebih saat ini banyak KUA yang sudah menerapkan Sistem Informasi dan Manajemen Nikah (Simkah). Namun tidak berarti menafikan penghulu untuk hadir dalam akad nikah, karena begitu pentingnya kehadirannya u dalam momen tersebut.

Administrasi pernikahan juga untuk memeriksa lebih detail keadaan calon pengantin dalam konteks hukum syaríi (fikih). Jangan sampai terjadi manipulasi data semisal sudah duda mengaku jejaka, janda mengaku perawan, atau tertib wali nikah yang mestinya ada dikatakan ghoib (tidak ada).

Jangan sampai kesakralan pernikahan ternodai karena persoalan biaya yang sebenarnya KUA bukanlah lembaga yang pandai membengkakkan anggaran dalam pelayanan. Melihat begitu signifikannya peran penghulu dalam pelaksanaan pernikahan, bisakah pencatatan nikah tanpa kehadiran mereka?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar