Demokrasi
Simbolik
Syarif Hidayat ; Peneliti LIPI
|
KOMPAS,
16 Januari 2014
KIRANYA cukup relevan
menggunakan terminologi ”demokrasi simbolik” dalam menjelaskan realitas
bias demokrasi yang terjadi di Tanah Air saat ini. Realitas ini ditandai oleh
adanya perluasan arena dan penguatan institusi demokrasi, tetapi minus
kapasitas demokrasi.
Data Indeks Demokrasi Indonesia
yang dipublikasikan Bappenas, BPS, dan Kemenko Polhukam bekerja sama
dengan UNDP sangat jelas memperlihatkan tiga tahun terakhir (2010-2012) tren
capaian indeks nasional (rata-rata 33 provinsi) untuk aspek Kebebasan Sipil
selalu di atas angka 75. Lebih spesifik, capaian indeks aspek Kebebasan Sipil
tahun 2010-2012 masing-masing 82,53; 80,79; dan 77,94.
Ironisnya, kurun waktu sama,
capaian indeks aspek Hak-hak Politik selalu berada pada kategori ”buruk”,
bahkan cenderung memburuk, yaitu 47,87 (2010); 47,57 (2011); dan 46,33
(2012). Sementara capaian indeks aspek Lembaga Demokrasi, kendati
mengalami tren kenaikan, yakni 63,11 (2010); 74,72 (2011); dan 69,28 (2012),
tetap pada kategori ”sedang”.
Demokrasi simbolik
Dalam narasi kualitatif,
angka-angka indeks tersebut mengindikasikan sejauh ini Indonesia relatif
telah sangat berhasil dalam membangun dan mengembangkan Kebebasan Sipil, yang
ditandai oleh, antara lain, adanya perluasan arena dan bangkitnya gairah
partisipasi publik. Namun, pada sisi lain, gairah kebebasan sipil yang
meningkat begitu pesat ini belum disertai oleh inherennya perilaku demokrasi
dan meningkatnya kapasitas lembaga demokrasi yang berfungsi menampung,
menyalurkan, dan merespons tuntutan publik.
Implikasinya, kebebasan sipil dan
hak-hak politik kemudian lebih banyak diekspresikan dalam bentuk tindak
kekerasan, atau bahkan dalam bentuk praktik-praktik politik transaksionis.
Pertanyaannya, pada konteks lebih
luas, apa yang dapat dijelaskan oleh kecenderungan di atas apabila dikaitkan
dengan gerakan reformasi politik yang telah berlangsung di Tanah Air 15 tahun
terakhir? Salah satu kelemahan mendasar konsep dan kebijakan reformasi yang
berlangsung sejak 1998 adalah gerakan perubahan yang berlangsung lebih
terfokus pada upaya membangun dan memperbaiki institusi negara (state institutions). Sementara, upaya
membangun dan memperkuat kapasitas negara (state capacity) cenderung tak dapat perhatian seimbang.
Konsekuensinya, dapat dimengerti jika kemudian ”kehadiran negara” dalam
kehidupan sehari-hari (state in
practice) menjadi samar-samar dan dalam beberapa kasus cenderung ”absen”.
Argumentasi hampir sama
dikemukakan Hidayat dan Gismar (2010: 5), bahwa reformasi yang
berlangsung di Tanah Air sejauh ini masih didominasi oleh adanya
”tarik-tegang” antara keinginan melakukan perubahan pada satu sisi dan
keinginan untuk tetap mengekalkan ”tradisi” lama pada sisi lain.
Secara ideologis, perubahan
niscaya harus dilakukan, tetapi kelompok elite, terutama ”keturunan Orde
Baru”, tidak sepenuh hati mendukung gelombang perubahan karena hal ini akan
berimplikasi pada perubahan ”tradisi” yang telah mereka bangun dan nikmati
selama ini. Dengan memanfaatkan struktur, sistem, dan prosedur yang ada, para
elite tersebut melancarkan reformasi tandingan (counter reform) untuk memastikan bahwa gerakan reformasi yang
sedang berlangsung tidak mengusik kepentingan-kepentingan yang dimiliki.
Apabila sejumlah argumentasi
teoretis ini diderivasi pada konteks demokratisasi di Indonesia,
konstruksi preposisi yang sama pun bisa dibangun untuk menjelaskan realitas
demokrasi yang ada. Secara singkat dapat dikemukakan, terjadinya ”bias
demokrasi” saat ini disebabkan gerakan demokratisasi yang berlangsung
15 tahun terakhir lebih dicurahkan pada upaya menghadirkan lembaga
demokrasi, baik pada ranah negara maupun masyarakat. Sementara upaya
meningkatkan kapasitas lembaga demokrasi dan membangun perilaku
demokrasi di kalangan para penyelenggara negara, politisi, dan masyarakat
madani sendiri cenderung terabaikan.
Akibatnya, tak mengejutkan jika
kemudian hasil yang dituai dari gerakan ”reformasi demokrasi” yang
berlangsung, lebih dalam bentuk ”memperluas arena demokrasi” dan
”menghadirkan lembaga demokrasi” di ranah negara dan masyarakat, tetapi
”minus perilaku demokrasi”. Dalam kondisi seperti ini, sejatinya, praktik
demokrasi yang kita saksikan dan rasakan adalah ”demokrasi simbolik”
(struktur dan prosedur).
Sementara ”yang menggerakkan ”jasad demokrasi”
yang terbangun masih sangat kental diisi nilai dan perilaku
”kontra-demokrasi” yang ditunjukkan oleh, antara lain, masih dominannya
praktik kekerasan dan politik transaksionis.
Sosok demokrasi seperti ini,
tentunya, sangat menguntungkan bagi para elite pendukung ”tradisi lama” (otoritarian) yang sedang melancarkan
gerakan counter reform untuk
melindungi hegemoni politik yang telah mereka bangun dan juga
bagi para ”elite baru” (anak kandung reformasi) yang ingin mendapatkan
kekuasaan tanpa harus lebih banyak mengeluarkan ”keringat politik”. Namun,
sangat tak menguntungkan bagi kepentingan bangsa ke depan, khususnya dalam
upaya mendorong gerak maju transisi demokrasi.
Peningkatan kapasitas
Refleksi teoretis dan
empiris di atas bukan sama sekali bermaksud untuk menebar perspektif
”pesimistik” dalam menyikapi dan menengarai masa depan demokrasi di Tanah
Air. Justru sebaliknya, berupaya menjelaskan salah satu akar persoalan yang
sedang dihadapi untuk selanjutnya dapat dijadikan asupan nutrisi dalam
melakukan ”reformasi” konsep maupun kebijakan demokrasi ke depan. Dengan
merujuk preposisi ”demokrasi simbolik” di atas, sangat jelas tergambarkan,
salah satu penyebab ”bias praktik demokrasi” yang terjadi saat ini adalah
karena konsep dan kebijakan ”reformasi demokrasi” yang berlangsung 15 tahun
terakhir lebih menekankan upaya memperluas arena dan menghadirkan
institusi demokrasi (”jasad demokrasi”), tetapi minus penguatan kapasitas
demokrasi (”roh demokrasi”).
Di antara kebutuhan mendesak dan
harus dipenuhi dalam waktu dekat adalah membangun dan menghadirkan
”adab berdemokrasi” (perilaku demokrasi) di kalangan penyelenggara negara,
politisi, dan masyarakat, lewat pendidikan politik, pada khususnya, dan
pendidikan kebangsaan, pada umumnya. Dengan demikian, ”jasad demokrasi” yang
telah dibesarkan 15 tahun terakhir ini juga secara bersamaan dapat diisi dan
digerakkan oleh ”roh demokrasi”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar