Diskriminasi
Masyarakat Adat
Sukirno ; Dosen Hukum Adat dan
Antropologi Hukum, FH Undip
|
KOMPAS,
16 Januari 2014
HINGGA akhir tahun 2013,
kehidupan masyarakat adat tidak kunjung lepas dari diskriminasi. Salah satunya menimpa
suku Anak Dalam Bathin IX pada empat desa di Kecamatan Bajubang, Batanghari,
Jambi, yang kehilangan 600 rumah dan pondokan karena digusur aparat polisi
dan keamanan perusahaan lantaran masuk dalam area HGU PT AMS. Kendati sudah
menginap seminggu di kompleks Kantor Gubernur Jambi untuk mengadukan
nasib mereka, ternyata tak mendapat respons positif dari pemerintah dan DPRD
setempat. Bahkan, Pemerintah Provinsi Jambi berniat memulangkan mereka dan
meminta Pemerintah Kabupaten Batanghari agar bertanggung jawab mengurusnya
(Kompas, 24/12/2013).
Peristiwa yang menimpa
suku Anak Dalam ini bukan kejadian satu-satunya di Indonesia. Menurut catatan
Koordinator Serikat Petani Kelapa Sawit Mansuetus Darto, sepanjang tahun 2013
telah terjadi konflik sosial melibatkan 150 masyarakat adat dengan perkebunan
kelapa sawit di Sumatera. Konflik serupa terjadi di Kalimantan, melibatkan 96
komunitas lokal di Kalimantan Timur, 94 komunitas di Kalimantan Barat ,
dan 56 komunitas di Kalimantan Tengah (Kompas, 23/12/2013).
Sebagaimana diketahui,
Menteri Pertanian Suswono dalam acara ”Indonesian Palm Oil
Conference Ke-9” mengemukakan, dengan luas kebun lebih dari 9 juta hektar,
Indonesia telah menjadi negara penghasil minyak kelapa sawit mentah terbesar
di dunia dengan tingkat produksi 23 juta ton (2012). Suswono juga menyatakan,
devisa ekspor khusus produk kelapa sawit sendiri mencapai 19,65 miliar dollar
AS atau Rp 200 triliun. Data Sawit Watch menunjukkan, sampai Juni 2010
pemerintah telah memberikan 9,4 juta hektar kepada perkebunan sawit dan
diperkirakan mencapai 26,7 juta hektar pada 2020 (Kompas, 14/1/2012).
Terhadap kasus yang
menimpa suku Anak Dalam Bathin IX dan masyarakat adat lainnya yang
diperlakukan sebagai warga negara kelas dua, semakin menegaskan bahwa
pemerintah belum memberikan perlindungan kepada mereka sebagai bagian dari
bangsa Indonesia. Selain itu, menegaskan pula bahwa dalam proses pengambilan
keputusan, pemerintah belum memberikan ruang adanya partisipasi publik, dalam
arti pemerintah merasa paling tahu dan paling benar apa yang akan
dilakukan tanpa meminta pendapat masyarakat.
Bukan sekadar pengakuan
Setelah kemerdekaan,
secara implisit pengakuan masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya diakui
dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945. Kemudian, sesudah UUD 1945
diamendemen, kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya
(termasuk hak ulayat) juga diakui dalam Pasal 18B Ayat 2. Pengakuan hak
ulayat secara eksplisit ditegaskan dalam Pasal 3 UU No 5/1960. Namun,
pengakuan dalam Pasal 3 UU Pokok Agraria (UUPA) itu oleh sebagian kalangan
disebut sebagai pengakuan setengah hati, semu, dan ambigu karena pengakuan
disertai syarat, baik dalam eksistensi maupun pelaksanaannya. Pola pengakuan
hak ulayat dalam UUPA ini kemudian ”diikuti” sejumlah peraturan
perundang-undangan lainnya, misalnya UU Kehutanan, UU Perkebunan, bahkan oleh
UUD 1945 hasil amendemen.
Selain pengakuan
dengan syarat, sejak awal pembentuk UUPA sudah menjustifikasi bahwa hak
ulayat akan segera lenyap sehingga tidak perlu diatur lebih lanjut. Akan
tetapi, menghadapi kenyataan bahwa masih banyak konflik hak ulayat, maka
dikeluarkanlah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No 5/1999.
Namun, hingga saat
ini, dari 413 kabupaten di Indonesia, tidak sampai 5 persen kabupaten yang
mengatur eksistensi hak ulayat, seperti Lebak, Kampar, Nunukan,
Merangin, dan Malinau. Hal ini menunjukkan kepedulian pemerintah kabupaten
untuk mengatur lebih lanjut eksistensi hak ulayat sangat rendah. Bahkan, ada
kabupaten yang secara implisit menegasikan hak ulayat dan menyamakannya
sebagai tanah negara sebagaimana terdapat dalam Perda Kabupaten Kutai Barat
No 7/2012 tentang Izin Memakai Tanah Negara.
Pengakuan hak ulayat
dengan syarat ini menunjukkan adanya hegemoni negara. Secara historis
pembentukan UUPA dilahirkan dalam suasana yang kurang demokratis dan
kekuasaan eksekutif yang sangat besar sehingga partisipasi publik tidak
mendapatkan ruang yang semestinya. Alhasil, pengakuan hak ulayat dilakukan secara
sepihak oleh pemerintah, tanpa mau mendengar kebutuhan masyarakat adat.
Sebagai komparasi,
sebelum terbentuknya Agrarische Wet tahun 1870, Pemerintah Hindia
Belanda mendahuluinya dengan mengadakan survei di 808 desa di Jawa pada
1868-1869, dengan laporan 1.464 halaman termasuk lampiran (Kano, 1984 : 34).
Secara khusus,
penggusuran permukiman dan hak ulayat suku Anak Dalam Bathin IX akibat
keputusan pemberian izin lokasi dan hak guna usaha (HGU) oleh pemerintah menunjukkan pula ada kemunduran dari apa yang dilakukan Pemerintah
Hindia Belanda. Misalnya, wilayah Dusun Depati Djentik dari suku Anak Dalam
Batin IX telah diakui oleh Belanda dengan surat keputusan dari De
Controleur van Moeara Tembesi tanggal 20 November 1940 (M Rizki Maulana,
2013). Pemerintah Belanda melalui Keputusan Presiden Riau No 82, 20 Maret
1919, juga mengakui hutan ulayat berupa 26 rimba larangan dan padang gembala
ternak dari suku Talang Mamak.
Jauh sebelum itu,
Pemerintah Hindia Belanda dengan Pasal 62 Paragraf 3 Regeringsreglement 1854
mengakui adanya tanah yang dibudidayakan, termasuk ladang penggembalaan,
dalam lingkup milik bersama komunitas adat. Bahkan, dalam Pasal 6 kontrak
sewa tanah antara Sultan Siak (Riau) dan pengusaha Belanda disebutkan: bila
di dalam batas-batas tanah yang diserahkan terdapat kampung atau tanah yang
masih digunakan penduduk, pihak penyewa tanah tak boleh menguasai tanah-tanah
itu (Mahadi, 1978).
Di samping itu,
kurangnya perhatian dari negara tampak dari UU mengenai pengakuan dan
perlindungan hak-hak masyarakat adat yang diamanatkan oleh Pasal 18B Ayat 2
UUD 1945 sejak 2000, masih menjadi daftar tunggu dalam Prolegnas sejak masa
bakti DPR 2004-2009 hingga sekarang. Dalam Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945 juga
masih menekankan pada pengakuan dan penghormatan, dan tidak diteruskan dengan
kata perlindungan, sebagai kata yang lazim dikaitkan dengan tanggung jawab
negara dalam melindungi hak asasi warganya.
Dengan demikian,
pemerintah belum sepenuhnya mengakui hak ulayat sebagai bagian dari HAM
sebagaimana telah ditentukan dalam UU HAM. Berbeda dengan ketentuan dari
Konstitusi Filipina yang mengatur tanah leluhur (ancestral domein) dalam
empat ketentuan. Di antaranya dalam Bagian 5 Pasal XII yang menentukan
bahwa negara tunduk pada ketentuan-ketentuan konstitusi dan kebijakan-kebijakan
serta program-program pembangunan nasional, serta akan melindungi hak-hak
masyarakat adat atas tanah leluhur mereka. Hal ini untuk
memastikan kesejahteraan ekonomi, sosial, dan budaya mereka.
Di samping itu,
pengakuan dengan syarat juga menimbulkan ketidakadilan sosial bagi masyarakat
adat. Dalam tata cara pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik,
ketentuan peraturan tidak boleh terlalu rinci atau ketat karena hal itu
akan menyingkirkan substansi keadilan dari peraturan yang bersangkutan.
Demikian pula, sesuai dengan Pancasila, khususnya keadilan sosial sebagai
kaidah penuntun dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, seharusnya
masyarakat adat sebagai golongan lemah memperoleh proteksi dengan memberi affirmative
action agar tidak tergilas golongan yang kuat.
FPIC
Maraknya konflik
antara masyarakat adat dan pengusaha perkebunan atau pertambangan, selain
disebabkan ketiadaan peta tunggal yang dapat dipakai untuk menentukan batas
oleh semua pihak, juga disebabkan tidak dilakukannya prosedur free, prior and informed consent (FPIC)
oleh pemerintah dalam menerbitkan izin lokasi. FPIC adalah suatu prinsip
persetujuan tanpa paksaan atas dasar informasi awal atas tindakan yang
memengaruhi tanah, wilayah, dan sumber daya alam masyarakat adat.
Secara implisit dan
eksplisit, FPIC diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Antara
lain dalam Pasal 68 Ayat 2b UU No 41/999 tentang Kehutanan, yang menegaskan
bahwa masyarakat ”dapat” mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan
hasil hutan, dan informasi hutan. Kemungkinan besar karena kata ”dapat’
ini bukan suatu keharusan, maka FPIC sering diabaikan pemerintah.
Sebagai perbandingan,
di Filipina, FPIC antara lain diatur dalam Konstitusi 1987 dan Indigenous Peoples Rights Act (IPRA)
1997. Dalam Bagian 17 Pasal XIV, Konstitusi Filipina menyebutkan, negara
harus mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat budaya asli
untuk melestarikan dan mengembangkan budaya, tradisi, dan institusi mereka.
Negara harus mempertimbangkan hak-hak adat dalam perumusan rencana dan
kebijakan nasional. Bahkan, dalam Bagian 3g IPRA, FPIC
didefinisikan sebagai konsensus dari semua anggota masyarakat adat yang
ditetapkan sesuai hukum dan praktik adat mereka masing-masing, bebas
dari segala manipulasi dari luar, campur tangan paksa, dan dicapai
setelah maksud dan jangkauan kegiatan sepenuhnya diinformasikan dalam bahasa
dan proses yang dapat dimengerti masyarakat.
Dengan demikian, untuk
meminimalisasi konflik mengenai hak ulayat, selain harus membenahi peraturan
perundang-undangan agar dapat memberikan perlindungan dan keadilan sosial
bagi masyarakat adat, juga secara konsisten mengimplementasikan HAM
yang sudah ditentukan dalam UUD 1945 dan UU HAM.
Di samping itu, pemerintah
daerah dituntut konsistensinya atas pelaksanaan otonomi daerah yang pada
mulanya diniatkan agar masyarakat di daerah dapat terlayani dan terlindungi
dengan baik, serta membuka ruang partisipasi publik dalam setiap pengambilan
keputusan yang berdampak pada masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar