Bonus
Demografi Meleset
Sonny Harry B Harmadi ; Kepala Lembaga Demografi FEUI,
Ketua Umum
Koalisi Kependudukan
|
KOMPAS,
16 Januari 2014
DALAM sejumlah
kesempatan, banyak pejabat publik di negeri ini mengungkapkan adanya potensi
bonus demografi sebagai peluang yang harus dimanfaatkan guna mempercepat
pembangunan ekonomi Indonesia. Meningkatnya proporsi penduduk usia produktif
(15-64 tahun) saat ini yang diikuti penurunan proporsi penduduk usia
nonproduktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas) menyebabkan penurunan rasio
ketergantungan.
Ekonomi Indonesia berpotensi tumbuh lebih
cepat dan terjadi perbaikan kualitas sumber daya manusia. Manfaat ekonomi
yang terjadi akibat menurunnya rasio ketergantungan (angka yang menyatakan
perbandingan antara jumlah penduduk usia nonprodukif dan jumlah penduduk usia
produktif) inilah yang disebut dengan bonus demografi.
Namun, kenyataannya bonus demografi meleset
dari yang diharapkan. Data yang digunakan untuk menganalisis bonus demografi
saat ini masih mengacu pada hasil proyeksi penduduk dalam UN World Population Prospects (2002).
Setidaknya ada dua argumen mengapa potensi
bonus demografi meleset dari
perkiraan sebelumnya. Pertama, rasio ketergantungan tak serendah yang diperkirakan. Rasio ketergantungan Indonesia akan mencapai titik terendah sebesar 44 per 100 penduduk usia produktif selama periode tahun 2020 hingga 2030 jika didasarkan pada proyeksi penduduk dalam UN World Population Prospects (2002).
Namun, proyeksi penduduk yang dilakukan oleh
Lembaga Demografi FEUI dengan menggunakan basis data Sensus Penduduk 2010
menunjukkan hasil yang berbeda. Rasio ketergantungan terendah hanya akan
mencapai angka 46, bukan 44 seperti perkiraan sebelumnya. Maknanya, manfaat
bonus demografi tidak sebesar yang diharapkan. Setiap 100 penduduk usia
produktif akan menanggung bukan 44 melainkan 46 penduduk usia nonprodukif
(terdiri atas 35 penduduk muda berusia 0-14 tahun dan 11 penduduk lansia).
Kedua, rentang waktu rasio ketergantungan
mencapai titik terendah ternyata lebih pendek. Berdasarkan UN World Population Prospects (2002)
diperkirakan rasio ketergantungan akan mencapai titik terendah selama kurun
2020-2030. Periode tersebut dikenal dengan istilah the window of opportunity (Sri Moertiningsih Adioetomo, 2005).
Setelah itu rasio ketergantungan akan naik
kembali akibat meningkatnya proporsi penduduk lanjut usia (lansia). Namun,
proyeksi penduduk oleh Lembaga Demografi FEUI dengan menggunakan basis data
Sensus Penduduk 2010 justru menunjukkan, rasio ketergantungan akan mencapai
titik terendah hanya selama periode 2020-2025. Ini lebih pendek lima tahun
dari perkiraan sebelumnya. Tentunya manfaat ekonomi yang diperoleh dari
perubahan struktur umur penduduk tidak sebesar yang diharapkan. Setelah tahun
2025, rasio ketergantungan akan naik terus dan kembali mencapai angka 51 pada
tahun 2050 (sama dengan 2010).
Faktor penyebab
Ada dua penyebab bonus demografi tak sesuai
harapan. Penyebab pertama, asumsi angka kelahiran (fertilitas) 1,89 anak per
perempuan di tahun 2030 yang digunakan dalam UN World Population Prospects (2002) sulit tercapai.
Berdasarkan tren fertilitas yang ada, Lembaga Demografi FEUI memperkirakan
bahwa di tahun 2030 angka kelahiran ”hanya” dapat turun menjadi 2,15 anak per
perempuan. Berarti, jumlah kelahiran lebih tinggi daripada perkiraan
sebelumnya.
Dampaknya, jumlah penduduk usia nonproduktif
dari kelompok usia muda (0-14 tahun) juga akan lebih banyak daripada yang
diproyeksikan sebelumnya. Apalagi angka kelahiran total (TFR) hasil Survei
Demografi dan Kesehatan 2012 (BPS) juga cenderung stagnan selama lima tahun
terakhir, yaitu 2,6 anak per perempuan. Program Keluarga Berencana dalam
beberapa tahun terakhir gagal mencapai targetnya.
Penyebab kedua, kematian bayi pada 2030
kemungkinan lebih rendah dibandingkan asumsi UN World Population
Prospects (2002): diperkirakan turun 18,9 per 1.000 kelahiran hidup.
Lembaga Demografi FEUI melihat tren bahwa angka kematian bayi bisa turun
hingga 17 per 1.000 kelahiran hidup di 2030.
Penurunan angka kematian bayi bisa lebih cepat
daripada perkiraan sebelumnya. Dampaknya, usia harapan hidup akan lebih
tinggi dibandingkan asumsi UN World Population Prospects (2002).
Jumlah lansia meningkat lebih cepat dari perkiraan sehingga berkontribusi
terhadap penambahan penduduk usia nonproduktif.
Kita perlu mencermati melesetnya potensi bonus
demografi. Perubahan struktur penduduk menurut umur jelas memiliki arti
penting bagi perekonomian Indonesia.
Angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk
lansia akan lebih tinggi daripada perkiraan sebelumnya, menyebabkan rasio
ketergantungan juga lebih tinggi dan the
window of opportunity menjadi lebih pendek (2020-2025).
Implikasinya
Meskipun tampak sekilas rasio ketergantungan
terendah hanya meleset dari angka 44 jadi 46 per 100 penduduk usia produktif,
tetapi akan muncul konsekuensi yang tidak sederhana dari hal tersebut.
Penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang ditandai peresmian
operasionalisasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 1
Januari 2014—disusul BPJS Ketenagakerjaan pada 2015—akan mengandalkan iuran
yang dibayarkan oleh peserta.
Dengan menggunakan asas asuransi sosial,
potensi iuran terbesar tentunya berasal dari penduduk usia produktif. Berarti
rasio ketergantungan yang lebih tinggi menyebabkan penduduk usia produktif
akan menanggung beban penduduk usia nonproduktif yang lebih tinggi pula.
Beban pembiayaan jaminan sosial yang harus
ditanggung akan terus meningkat setelah tahun 2025, terutama akibat meningkatnya
proporsi lansia. Tahun 2050, diperkirakan lebih dari 40 persen penduduk usia
nonproduktif termasuk dalam kategori lansia.
Pemerintah dan para pengambil kebijakan tak
dapat mengabaikan konsekuensi ekonomi dari rasio ketergantungan yang lebih
tinggi dibandingkan perkiraan sebelumnya. Perlu terobosan strategi, utamanya
dalam kebijakan pengendalian kelahiran. Tanpa komitmen kebijakan yang kuat,
peluang manfaat dari bonus demografi akan terlewatkan begitu saja. Siapa pun
di antara kita, pasti tidak akan pernah menginginkan bonus yang tak sesuai
harapan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar