Demokrasi
Lima Menit
Franz Magnis Suseno ; Mantan Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
|
KOMPAS,
02 Januari 2014
KRITIK tajam Bung Radhar Panca
Dahana terhadap kelas politik yang menguasai demokrasi kita (Kompas,
12/12/2013) sulit disangkal. Bahwa elite politik memanfaatkan dengan rakus
akses istimewa mereka terhadap aset-aset negara, tanpa merasa malu, amat kuat
diyakini oleh masyarakat. Bahwa mereka seharusnya menjadi wakil kebersamaan
kita hampir menguap.
Persepsi ini mengancam masa depan
bangsa Indonesia dan karena itu perlu diekspos terus-menerus. Namun, kalau
lantas demokrasi kita didegradasi seakan-akan dia tidak lebih dari
”demokrasi lima menit”, saya berhenti mengerti.
Demokrasi 51 persen
Istilah ”demokrasi lima menit”
mengingatkan saya akan ejekan Bung Karno 50 tahun lalu terhadap ”demokrasi
liberal” sebagai ”demokrasi 51 persen”. Katanya dalam ”demokrasi liberal” itu
yang 51 persen dapat memperdaya sisa 49 persen, sedangkan—sejak kembali ke
UUD 1945— kita kembali ke ”musyawarah dan mufakat” di mana semua terlibat.
Apakah demokrasi melibatkan semua
atau tidak tentu tergantung dari apakah rakyat yang bersangkutan senang
dengannya. Bukti kesenangan itu bukan rapat raksasa di mana semua berteriak
”setuju”, melainkan apakah rakyat senang taat pada aturan-aturan dan tanpa
paksaan menghormati keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan
aturan-aturan demokratis itu.
Ada dua contoh ”demokrasi liberal”
yang menarik. Dalam pemilihan umum di Jerman tahun 1994, koalisi Helmut Kohl
mendapat 48,3 persen semua suara. Lawannya mendapat 43,7 persen, sisanya tak
berhasil masuk parlemen. Namun, meskipun Kohl bahkan mendapat kurang dari 50
persen suara, pemerintahannya diterima tanpa ada yang protes selama seluruh
periode empat tahun berikut. Begitu pula di tahun 2000 George W Bush
memperoleh setengah juta suara kurang (!) dari lawannya, Al Gore, tetapi
karena Amerika Serikat (AS) memakai sistem distrik, maka Bush yang menjadi
presiden. Hasil itu pun oleh rakyat AS diterima tanpa kesulitan apa pun.
Sebaliknya di Indonesia. Karena
dalam demokrasi terpimpin kekuatan-kekuatan politik nyata dalam masyarakat
tidak dapat main secara demokratis. Di Indonesia Bung Karno tahun 1959
mengakhiri demokrasi dengan akibat-akibat yang mengerikan. Karena permainan
kekuatan-kekuatan demokratis sudah tak jalan, terpaksa presiden memfokuskan
semuanya pada dirinya sendiri.
Akhirnya dinamika yang tak
tersalurkan secara demokratis semakin tak terkendali. Terciptalah situasi
yang tidak dapat lagi dikuasai Bung Karno, yang berakhir dengan
kejadian-kejadian mengerikan tahun 1965 dan 1966, di mana jutaan rakyat tak
bersalah dibunuh, disiksa, dihancurkan eksistensinya, dikeluarkan dari
persatuan bangsa, salah satu peristiwa traumatis paling mengerikan di abad
lalu.
Demokrasi lima menit
Kembali ke ”demokrasi lima menit”.
Masak! Kalau saya menutup suatu pembicaraan dengan memberi tanda-tangan,
pemberian tanda-tangan bisa saja hanya membutuhkan dua menit, tetapi
merupakan puncak dan penutup pembicaraan yang barangkali lama dan mendalam,
di mana akhirnya diambil keputusan.
Lima menit di bilik pemilu sama
saja puncak dan penutup proses panjang. Pagi hari orang sudah merencanakan
kapan ia akan memilih. Tetapi sekarang banyak rakyat kita sudah
mempertimbangkan jauh sebelumnya ke mana suara diberikan. Tak perlu pemilihan
mereka diremehkan.
Yang memang mau dikatakan Bung
Radhar adalah: sesudah dipilih, para wakil rakyat (yang brengsek) selama
lima tahun bebas berulah semau gue. Benarkah?
Pertama, yang hakiki dalam
demokrasi bukan hanya pemilihan para wakil rakyat. Yang hakiki adalah
kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul, dan berserikat. Sebagaimana
dianalisis oleh filsuf Jurgen Habermas, yang hakiki bagi suatu demokrasi
adalah bahwa kelas politik: para pemimpin, para wakil rakyat, ”dikepung” oleh
”arena publik” (public sphere) yang terus-menerus mendiskursuskan
masalah-masalah politik yang dihadapi bangsa, yang tidak dapat diabaikan.
Arena publik itu adalah media cetak dan elektronik, talk show,
seminar-seminar, LSM-LSM, formasi-formasi masyarakat sipil seperti konferensi
para rektor, organisasi-organisasi agama, dan lain-lain. Bahwa DPR belum
berani mengebiri Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai sekarang, tentu
karena mereka dikepung oleh opini publik yang tidak akan menerimanya.
Justru public
sphere itulah yang membedakan demokrasi dari kediktatoran. Tahun 1963
Presiden Soekarno membungkamkan mereka yang ”terlibat” dalam Manifesto
Kebudayaan, setahun kemudian 20 koran yang tidak mendukung Nasakom. Di zaman
Soeharto kritik serius apa pun tidak diizinkan.
Dan sebaliknya di demokrasi. Bulan
Mei lalu saya mengkritik dengan rada keras rencana Appeal of Conscience
Foundation di New York untuk memberikan statesman award kepada
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Yang bagi saya sendiri paling
mengesankan adalah bahwa saya kemudian tidak mengalami tekanan, ancaman,
ataupun pengusiran apa pun dari pihak istana maupun pendukung politik
presiden. Jadi, kebebasan menyatakan pendapat kritis betul-betul ada.
Bandingkan dengan apa yang terjadi
dengan mereka yang 30 tahun lalu mengajukan sebuah petisi mengenai hal
Pancasila (”Petisi 50”)! Memang, sekarang pun masih terjadi pelanggaran
hak-hak asasi manusia—baca laporan-laporan berkala Komisi untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)—tetapi pelanggaran-pelanggaran itu
dapat, dan jadi, diangkat. Di bawah Soeharto terjadi seribu Kedung Ombo yang
hampir semua tak bisa masuk ke ruang publik, sebaliknya sesudah beliau turun
takhta, apa pun yang berbau ”Kedung Ombo” akan langsung dikecam.
Keadilan sosial tidak tercapai
dengan sebuah elite memberi makan pada rakyat—pandangan feodalistik yang
masih kuat muncul dalam diskusi-diskusi di Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bulan Juli 1945, melainkan dengan
memberdayakan rakyat. Pemberdayaan itu menjadi nyata dengan mereka dapat
bebas bersuara dan berorganisasi. Nah, itulah yang disebut demokrasi.
Hak-hak asasi manusia
Ada poin kedua, kita mesti
bertanya, mengapa dukungan terhadap aturan main demokratis di negara
demokratis begitu kuat? Mengapa hanya para diktator dan bukan rakyat yang
hidup dalam demokrasi yang mengangkat hal kediktatoran mayoritas? Karena
demokrasi secara hakiki adalah negara di mana hukum dihormati, ya ”negara
hukum demokratis”, dan hukum dihormati karena berdasarkan pada hak-hak asasi
manusia. Demokrasi dan hak-hak asasi manusia adalah satu paket.
Karena demokrasi menjamin hak-hak
asasi manusia, demokrasi menjamin juga bahwa tidak ada individu maupun
kelompok masyarakat yang kepentingan-kepentingan vitalnya dapat ditindas oleh
mayoritas. Dengan lain kata: karena demokrasi berdasarkan jaminan hak-hak
asasi manusia, maka demokrasi menjamin bahwa minoritas politik tidak menjadi
minoritas sosial, ekonomis, maupun budaya, jadi tetap utuh dalam kemanusiaan.
Itulah dasar akseptasi begitu luas terhadap demokrasi dalam
masyarakat-masyarakat yang betul-betul demokratis.
Hak-hak asasi manusia: masih juga
kita dengar omongan, dalam hal hak-hak asasi manusia jangan ”kebablasan”.
Omongan salah kaprah betul! Hormat terhadap hak-hak asasi manusia
merupakan bottom line masyarakat yang adil dan beradab! Hak-hak
asasi manusia berarti: orang tidak lagi bisa dibunuh dengan impunity,
minoritas tidak lagi dapat dijadikan tumbal bagi keuntungan yang banyak.
Hak-hak asasi manusia bukan ekspresi individualisme (salah betul Supomo di
situ), melainkan sebaliknya tanda dan bukti solidaritas suatu bangsa dengan
saudara mereka yang lemah.
Jaminan hak-hak asasi manusia tak
lain merupakan penegasan mereka yang kuat dan kuasa bahwa ”meskipun kami
sebenarnya tidak perlu memperhitungkan kamu, dan kamu tidak dapat mengancam
kami dan sebenarnya dapat saja kami abaikan, tetapi kami tetap mengakui
dan menghormati kamu sebagai saudara dan manusia seharkat dengan kami”.
Bukankah kita amat berpengalaman ke mana kita dibawa kalau hak-hak asasi
manusia diabaikan? Karena itu kita jangan mengizinkan demokrasi kita—meski
masih sangat lemah—dicuri atau dirusak lagi, juga tidak dengan omongan
bagus-bagus.
Saya juga terganggu bahwa
demokrasi dicaci maki tanpa bicara korban. Jumlah korban dalam bangsa
Indonesia dalam 68 tahun terakhir luar biasa, korban bangsa sendiri. Bicara
demokrasi kita harus bicara korban. Meski sekarang pun masih ada yang diperlakukan
tidak manusiawi, tetapi bandingkan dong 15 tahun terakhir dengan 32 tahun
yang sebelumnya!
Saya juga heran, kok demokrasi
ditertawakan, tanpa dengan sepatah kata pun ditawarkan sistem kekuasaan
alternatif. Kalau Anda tidak mau demokrasi, Anda mau menggantikannya dengan
apa? Dengan kediktatoran militer? Dengan kekuasaan para pengemban ideologi?
Dengan kekuasaan para pastor dan ulama? Adakah Soeharto yang baru? Soekarno
baru? Lupakah kita akhir dua kepemimpinan itu? Kelemahan-kelemahan demokrasi memang
mencolok, tetapi apa perlu dikutip lagi ucapan tak terbantah Winston Churchil
bahwa ”demokrasi adalah bentuk pemerintahan paling jelek, kecuali semua
bentuk pemerintahan lain yang sudah dicoba sewaktu-waktu” (democracy is the
worst form of government, except for all those other forms that have been
tried from time to time). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar