Buku
Putih NU-PKI
dan
Dosa Militer dalam Industri Ekstraktif
Bosman Batubara ; Anggota Front Nahdliyin untuk
Kedaulatan Sumber Daya Alam
|
INDOPROGRESS,
31 Desember 2013
Artikel ini sebelumnya
telah dimuat di Daulat Hijau. Dimuat ulang di IndoPROGRESS untuk
tujuan Pendidikan
TERBITNYA Buku Putih Benturan NU-PKI 1948-1965 (selanjutnya
akan disebut Buku Putih), memancing diskusi
yang lumayan hangat di kalangan Nahdliyin sendiri. Ada banyak pendapat.
Tulisan ini menjadi bagian dari arus diskusi tersebut dalam rangka melakukan
kontekstualisasi pada kondisi Indonesia kontemporer, khususnya di sektor
industri ekstraktif.
Sehubungan dengan Buku Putih, saya
memiliki dua pendapat. Pertama, dari
perspektif Nahdlatul Ulama (NU), rasanya isi buku masuk akal. Ketika pendulum
sejarah bergerak menunjuk NU sebagai (salah satu) pendosa sejarah, ada faksi
dalam NU yang membela diri. Meskipun tanpa didahului riset dengan metodologi
yang ketat dan terjaga, tebakan saya, andaikan diadakan riset yang lebih
serius soal opini kalangan NU terhadap peristiwa ’65, rasanya tidak akan jauh
berbeda. Suara yang lebih kritis mungkin akan datang dari kelompok santri
yang sudah mengenyam pendidikan dan memiliki persinggungan yang lebih luas.
Tapi mayoritas massa NU di pedesaan kemungkinan besar akan memiliki opini
seperti yang ada dalam Buku Putih. Di
titik ini, terlepas dari penggarapan yang tampak seadanya dengan kesalahan
ketik di sana-sini, maka isi Buku Putih ini
tampak masuk akal.
Kedua, Buku Putih meluputkan konteks global saat itu.
Tidak disinggung peranan CIA (Badan Intelijen Amerika Serikat/AS) dalam kasus
’65. Akibatnya, Buku Putih memandang kasus
ini sebagai konflik (lokal) horizontal belaka, tidak melihatnya dalam
politikskap internasional.
Disebut begitu, karena kudeta terhadap pemimpin dengan didukung oleh CIA
bukan cuma di Indonesia, tapi juga terhadap Salvador Allende di Chile pada
1973. Allende adalah pemimpin Marxis pertama di Amerika Latin yang naik ke
tampuk kekuasaan melalui pemilu yang demokratis. Sama seperti Soekarno yang
didongkel melalui peristiwa ’65, Allende juga komandan dalam melakukan
nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Chile. Mirip di Chile,
Chicago Boys, paralel dengan Mafia Berkley di Indonesia, menjadi teknokrat
yang menopang diktator Augusto Pinochet dalam membuka kran investasi asing di
Chile pasca Allende. Seperti halnya di Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, indoktrinasi massal paham pasar yang mengatur dirinya sendiri (self-regulating market) dilakukan di Universitas
Katolik Chile.
Hal yang mirip terjadi di Brasil, ketika Jenderal Humberto Castello Branco
mengkup kursi kepresidenan dari Joáo Goulart yang popular dengan kebijakan
pro rakyat miskinnya pada 1964. Chicago Boys pulalah yang membentangkan
karpet merah investasi asing di Brasil.
Yang fatal di ’65 adalah aliansi NU dengan Tentara Nasional Indonesia
(TNI) (Angkatan Darat/AD) yang secara simpel dinyatakan Buku Putih bahwa ‘Pembersihan PKI itu dilakukan oleh pihak TNI dengan demikian
peran NU dan Ansor bergeser. Kalau pada bulan Oktober dan November Ansor
berbaris di depan, sementara TNI/AD berjalan di belakang, kemudian berganti
posisi. Ansor berbaris di belakang, sedang TNI berjalan di muka (146).’
Dalam ulasannya terhadap Buku Putih, secara
sungkan M. Najib Yuliantoro menyebut bahwa ‘tidak cukup apabila NU hanya
menjadikan militer sebagai “partner epistemik,”’ Sampai di
sini, tak ada jalan lain, seseorang harus mengarahkan telunjuknya kepada
As’ad Said Ali yang menjadi Penanggung Jawab dalam Dewan Peneliti Buku Putih untuk mengkonkritkan bentuk ‘partner
epsitemik’ ini. AA, demikian biasanya ia disebut, pernah meniti karir selama
35 tahun di Badan Intelijen Negara (BIN) dengan puncak karir sebagai Wakil
Kepala BIN. Dalam kerja-kerja di BIN, tentu saja AA sangat akrab dengan
militer, karena secara struktural intelijen TNI dan Kepolisian wajib
berkoordinasi dengan BIN. Cara kerja (dan gerbong politik) AA dengan
sendirinya terangkut ketika ia menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Pengurus
Besar NU. Bagi AA, barangkali, NU adalah salah satu gerbong politik yang
sangat strategis untuk mencapai tujuan-tujuannya.
Tidak ada yang istimewa dengan analisis di atas, termasuk mengenai
keberadaan AA di PBNU. Data ini berhambur di internet. Bagi saya, yang sangat
mengkhawatirkan adalah aliansi yang lebih luas antara TNI dengan NU dalam
konteks Indonesia kontemporer, lebih spesifik lagi, di sektor industri
ekstraktif.
Militer
dan industri ekstraktif
Tabiat militer dalam keterlibatannya di sektor ekstraksi sudah teruji
dengan hasil yang jelek. Dari luar negeri, kasus Unocal di Myanmar bisa jadi
contoh. Pada 1990-an, Unocal, Total, dan Junta militer yang berkuasa di
Myanmar, menandatangani sebuah proyek pemipaan gas dari Laut Andaman ke
Thailand, melintasi daerah Tenasserim Myanmar. Kedua perusahaan ini sepakat
dengan militer Myanmar agar militer menjaga keamanan proyek. Pada sepanjang
area yang dilintasi oleh proyek pemipaan, kita disuguhi dengan berbagai kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat seperti pembunuhan, pemerkosaan,
dan penyiksaan oleh militer.
Dari dalam negeri memori kita dihajar oleh kasus Exxon di Aceh, dimana
Exxon menyerahkan urusan keamanan aset dan pekerjanya terhadap militer
Indonesia. Pemerintah pusat yang termotivasi oleh angka melebihi 1 milyar
Dollar Amerika Serikat per tahun dari hasil operasi Exxon, mengirimkan
militernya untuk menjadi ‘anjing penjaga.’ Para aktivias HAM kemudian
mencatat bahwa militer melakukan penyiksaan dan pembunuhan terhadap warga
sipil.
Militer berubah tak sekedar anjing penjaga tapi sudah menjadi pemain di
ladang minyak Bojonegoro, seperti yang dapat dibaca dalam laporan KONTRAS
pada 2004. Keadaan ini menunjukkan keterlibatan militer sebagai aktor di
sektor transportasi, pengamanan, dan bisnis minyak. Salah satu akumulasi
keterlibatan ini adalah penembakan (dengan peluru karet?) terhadap 5 orang,
serta 15 orang lainnya mengalami penganiayaan.
Di Boven Digul, dalam proses ekstraksi kayu, kulit gambir, penjualan
kulit buaya, tanduk rusa, dan ikan arwana, militer terlibat dalam dua
bentuk. Pertama, bisnis perdagangan
sumber daya alam setempat, kedua, di sektor
bisnis keamanan baik bagi korporasi nasional maupun internasional.
Kasus yang masih hangat datang dari Mandailing Natal, Sumatera Utara.
Pada Maret 2013, massa bentrok dengan anggota Brimob yang dibantu oleh
petugas keamanan perusahaan tambang PT Sorikmas Mining (SM). Warga yang
memprotes ditangkap Brimob, ada yang ditendang, dipaksa telanjang dada, serta
dijemur di bawah terik matahari. Sekitar satu tahun sebelumnya, pada Juli
2012, empat orang warga terluka dan Solatiah Batubara mengalami luka tembak
ketika warga yang meminta PT SM menghentikan operasinya bentrok dengan
petugas keamanan perusahaan. Emosi yang tersulut, selain menimbulkan korban
di kalangan warga, juga berujung pada pembakaran base camp PT SM.
Di Urutsewu, Kebumen, Jawa Tengah, konflik lebih kronis melibatkan massa
petani Nahdliyin yang belakangan berafiliasi dengan Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA).
Konflik tanah di Urutsewu, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah (Jateng)
telah berlangsung sejak 1932, ketika pemerintah Kolonial Belanda
mengadakan klangsiran tanah yang
membagi tanah berdasarkan nilai ekonomisnya dengan tujuan penetapan pajak.
Belanda mengklaim tanah jarak ± 150—200 m dari garis pantai. Masyarakat
kemudian menyebutnya sebagai ‘Tanah Kompeni,’ dan berjuang untuk merebut
tanah-tanah itu. Pada 1937, Tentara Kolonial Belanda memakai pesisir Urutsewu
sebagai arena latihan militer, dan dilanjutkan Jepang pada periode 1942-5.
Pada Maret 1998 TNI AD mengadakan pemetaan sepihak, melabeli area
lapangan tembak dengan ‘Tanah TNI-AD,’ dan meminta tandatangan para kepala
desa di kawasan Urutsewu yang belakangan dipakai sebagai basis klaim
pengalihan status kepemilikan tanah, sesuatu yang tidak pernah dibicarakan
sebelumnya. Pada 2006, TNI kembali melakukan klaim lewat mekanisme tanahberasengaja yang dipakai untuk lapangan tembak.
Dalam persepsi warga, berasengaja adalah
tanah yang sengaja di-bera-kan (tidak
ditanami) dan digunakan sebagai area penggembalaan.
Tidak puas, pada 2007 TNI AD meluaskan klaimnya menjadi 1000 m dari garis
pantai dan meminta ganti rugi dalam proses pembangunan Jalan Jalur Lintas
Selatan Pulau Jawa. Klaim TNI AD ini memicu perlawanan keras dari masyarakat
dalam bentuk pencabutan patok radius 1000 m dari garis pantai. TNI AD
mengancam warga terkait perlawanan ini. Belakangan, klaim ‘jarak 1000 m’ TNI
ADdiakomodir dalam Draft Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kebumen.
Klaim meluas dari TNI diperparah oleh abrasi pesisir Urutsewu, yang menurut
informasi warga, dalam lima tahun terakhir, garis pantai mundur sekitar
sepuluh m.
Kodam IV Diponegoro mengeluarkan surat Persetujuan Pemanfaatan Tanah TNI
AD di Kecamatan Mirit untuk penambangan pasir besi kepada PT Mitra Niagatama
Cemerlang (MNC) pada 2008. Artinya, TNI AD meneruskan klaimnya, sekaligus
secara jaringan terlibat dalam bisnis pertambangan ini. Hal terakhir
diperkuat dengan terlibatnya salah seorang pensiunan TNI-AD sebagai komisaris
PT MNC, sebagai tambahan terhadap ‘oknum’ dari Badan Pertanahan Nasional
(BPN), dan BIN tadi itulah. Per Januari 2011, pemerintah mengeluarkan Izin
Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT MNC selama 10 tahun, tanpa
sosialisasi. Izin ini menyatakan luasan lahan yang akan ditambang adalah
591,07 ha dengan 317,48 ha diantaranya milik TNI AD.
Reaksi keras pun segera muncul dari warga yang berbalas penyerangan oleh
TNI AD dan berujung dikriminalisasinya 6 petani, 13 orang luka-luka, 6 orang
diantaranya luka akibat tembakan peluru karet dan di dalam tubuh seorang
petani lainnya bersarang peluru timah, 12 sepeda motor milik warga dirusak
dan beberapa barang, seperti handphone, kamera
dan data digital dirampas oleh tentara. Meski akhirnya pada Mei 2011, melalui
surat Kodam IV Diponegoro, TNI AD mencabut persetujuan penambangan pasir besi
yang telah dia diberikan kepada PT MNC.
Pada 2012, warga menolak pengesahan perda RTRW yang menjadikan Urutsewu
sebagai kawasan pertambangan pasir besi dan area latihan dan uji coba senjata
berat. Alternatif tuntutan warga adalah menjadikan Urutsewu hanya sebagai
kawasan pertanian dan pariwisata. Masih dalam fase yang sama, warga mengusir
PT MNC dari Kecamatan Mirit, meskipun izin pertambangan belum dicabut sampai
Desember 2013, ketika klaim TNI AD kembali muncul dalam bentuk pemagaran
pesisir pantai yang sudah merambah dua desa di Kecamatan Mirit, yaitu Desa
Tlogodepok dan Mirit Petikusan.
Dari semua fakta yang disampaikan di atas, kiranya sangat penting bagi
para pengurus NU di semua level untuk mempertimbangkan aliansinya dengan
militer. Kalau pada ’65 yang menjadi musuh bersama aliansi ‘TNI-NU’ yang
disokong oleh berbagai kekuatan lain termasuk AS, adalah PKI, maka sekarang
yang akan menjadi musuh bersama dari aliansi itu adalah kaum Nahdliyin sendiri
yang dihajar oleh berbagai bentuk industri ekstraktif. Aliansi di tahun ’65
adalah sebuah fatal; sekarang sebuah aliansi yang lebih fatal sedang menjadi.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar