Selasa, 14 Januari 2014

Sejarah Ekonomi Politik Tata Kelola Hutan di Indonesia

Sejarah Ekonomi Politik

Tata Kelola Hutan di Indonesia

Emilianus Yakob Sese Tolo  ;   Peneliti di Magister
Administrasi Publik UGM, Yogyakarta
INDOPROGRESS,  30 Desember 2013
                                                                                                                       


INDONESIA menempati posisi ketiga sebagai negara yang memiliki hutan tropis terluas setelah Brazil dan Republik Kongo (Tolo 2012). Pada tahun 2009, total luas hutan Indonesia 90,1 juta hektar (Brockhaus et.al 2012: 32). Namun, keberadan hutan Indonesia terus terancam oleh deforestasi dan degradasi hutan yang disebabkan oleh kebakaran hutan, legal logging dan illegal logging (Noordwijket.al  2008, Tolo 2012). Deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia ditengarai sebagai akibat dari dinamika kebijakan pada sektor kehutanan yang menyingkirkan peran masyarakat (Tolo 2012) dan cenderung mengelola hutan dengan menggunakan pendekatan ekonomi semata[1] (Awang 2009). Kerusakan hutan Indonesia bukanlah fakta baru melainkan sudah menyejarah sejak jaman kerajaan hingga saat ini.

Jaman kerajaan dan penjajahan

Hutan Indonesia sudah menjadi sumber daya alam yang dieksploitasi sejak jaman kerajaan. Di Jawa, eksploitasi hutan terjadi sejak tahun 800. Di salah satu dinding candi Borobudur ada lukisan kapal yang konon sudah berlayar sampai ke India dan Mesopotamia. Candi Borobudur didirikan selama 250 tahun dan rampung pada abad ke-10 (Simon 2008). Dengan ini disimpulkan bahwa penebangan kayu sudah terjadi sejak tahun 800, bahkan sebelumnya. Sementara itu, dalam cerita kronikel sejarah kerajaan Mataram abad ke-16 dan 17 yang berjudul ‘Babad Tana Jawi,’ yang bisa diterjemahkan sebagai ‘Sejarah Tanah Jawa’ atau “Pembersihan Tanah Jawa” diinterpretasi oleh beberapa kalangan sebagai proses pembukaan tata ruang pada tempat lain untuk memindahkan penduduk agar lebih mudah dikontrol oleh kerajaan. 

Dalam proses pembukaan tata ruang ini tentunya terjadi eksploitasi hutan (Hidayat 2008). Pembangunan ibu kota Majapahit di Mojokerto, Jawa Timur, dilakukan dengan membabat hutan jati. Pada tahun 1200, terdapat banyak industri kapal yang menyebabkan deforestasi hutan di Jawa. Industri kapal ini umumnya dikuasai oleh pengusaha Cina di sepanjang pantai utara pulau Jawa yang terbentang mulai dari Pasuruhan di Jawa Timur sampai di Tegal Jawa Tengah. Perusahan kapal pada masa kerajaan Majapahit sangat penting untuk melakukan hubungan dagang dengan Cina, Champa, Siam, Burma, India dan Madagaskar di Afrika Timur (Simon 2008).

Eksploitasi terhadap hutan menjadi semakin intensif pada masa VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Pengusaha etnis Tionghoa juga berperan dalam eksploitasi hutan pada masa VOC.  Biasanya sebelum melakukan ekspoitasi terhadap hutan, VOC meminta izin kepada raja-raja Jawa. Pada tahun 1743, ketika Raja Mataram melepaskan wilayah pantai utara-timur Jawa (Rembang, Jepara, Waleri, Pekalongan, dan lain-lain), hutan daerah ini dieksploitasi oleh VOC. Pada tahun 1812, hutan Jipang yang didominasi hutan jati direbut VOC. Hutan bagian selatan Jipang kemudian dikuasai pada tahun 1930. Tujuan eksploitasi saat itu adalah untuk mendukung perusahaan perkapalan di Rotterdam dan Amsterdam.  Selain itu, pada masa VOC, eksploitasi hutan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar di perusahaan gula di Jawa. Oleh karena itu, hutan di daerah seperti Bekasi, Depok, Tanggerang dan Jakarta dieksploitasi untuk mendukung perindustrian gula milik VOC (Awang 2005).

Ketika VOC mendapat hak-hak konsesi hutan dari raja-raja Jawa, VOC juga merambah eksploitasi hasil hutan berupa getah, damar, kopra, biji-bijian yang menghasilkan minyak dan rotan (Hidayat 2008). Ketika VOC bangkrut pada abad ke-18, maka kekuasaan atas hutan di Indonesia diambilalih oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Karena pentingnya bahan baku untuk industri kapal di Rotterdam dan Amsterdam yang sangat penting bagi ekonomi nasional, Kerajaan Belanda mengirim Herman Willem Daendels menjadi gubernur Jenderal (1808-1811). Salah satu tugas Daendels adalah membangun kembali hutan jati di Jawa (Simon 2008). Pada masa Jepang, hutan di Jawa mengalami kerusakan serius karena dieksploitasi untuk ongkos perang (Awang 2005).

Masa Soekarno dan ideologi sosialisme nasionalis

Pada masa Soekarno, tata kelola kehutanan bersifat desentralistik. Melalui Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 1957, pemerintah mendesentralisasikan tata kelola kehutanan di luar pulau Jawa kepada pemerintah propinsi. Oleh karena itu, pemerintah propinsi berwewenang untuk memberikan izin pemanfaatan sumber daya hutan dalam bentuk: (1) konsesi hutan di wilayah kerjanya maksimal 10.000 hektar dengan jangka waktu 20 tahun, (2) memberi ijin penebangan maksimal 5.000 hektar dengan jangka waktu 5 tahun, (3) ijin tebang kayu dan pemungutan hasil hutan non-kayu lainnya sampai dengan batas tertentu selama 2 tahun (Santoso 2008).

Kebijakan yang desentralistis dalam sektor kehutanan pada masa Soekarno ditopang oleh kebijakan ekonomi politik yang berdasarkan pada gagasan sosialisme dan nasionalisme yang anti investasi Barat. Oleh karena itu, pada masa Soekarno, sumber daya hutan kurang dieksploitasi baik oleh pengusaha asing maupun pribumi. Banyak perusahaan Amerika dan Inggris yang terpaksa mengundurkan diri karena iklim usaha yang merugikan investor asing. Pada tahun 1957/1958, Sukarno mengumumkan sikap anti barat dan hingga tahun 1963 upaya nasionalisasi perusahaan Belanda, Inggris dan Cina, terus berlangsung. Hampir tidak ada investasi komersial dalam bidang kehutanan kecuali oleh perusahaan Jepang, seperti Mitsui yang melakukan eksploitasi hutan pada tahun 1950an di Kalimantan dengan perjanjian pembagian produksi yang adil. Namun, kerja sama dengan Jepang ini dinilai kurang berhasil (Awang 2005).

Pragmatisme dan liberalisme ekonomi Orde Baru

Pada masa Orde Baru (1968-1998), tata kelola hutan bersifat sentralistis dan kebijakan ekonomi politik menjadi pro-investasi barat dan investasi dalam negeri serta mengembangkan skenario pinjaman luar negeri untuk melaksanakan pembangunan nasional melalui IMF dan Bank Dunia (Awang 2006: 16). Kebijikan ekonomi pragmatis ini diambil untuk menyelamatkan ekonomi nasional yang gagal di era akhir era Soekarno yang ditunjukkan inflasi yang mencapai 650 persen (Awang 2005).  

Sumber daya hutan seluas 143 juta hektar menjadi sumber devisa yang penting untuk pembangunan bangsa. Dengan dikeluarkannya UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan UU No. 11 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), pintu investasi asing dan swasta untuk mendapat konsesi hutan terbuka lebar (Siahaan 2007). Sejak saat ini, para investor diberi konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk hutan di luar Jawa, terutama hutan di Sumatra dan Kalimantan.. Dengan dibekukannya hak-hak masyarakat adat oleh pemerintah pada tahun 1970-an, HPH berkembang dengan subur tanpa hambatan perlawanan dari masyarakat adat (Awang 2006). Pada tahun 1989, 572 unit HPH menguasai 64 juta hektar hutan produksi.[2] Hingga tahun 2000, jumlah HPH meningkat sekitar 600 unit.[3] Dengan menjamurnya HPH, menurut FAO, antara tahun 1976-1980, 550.000 hektar hutan rusak setiap tahun (Hidayat 2008). Pada tahun 1980, laju deforestasi adalah 1 juta hektar. Pada tahun 1885, laju deforestasi sebesar antara 600-1,2 hektar per tahun. Laju deforestasi pun semakin meningkat pada tahun 1985-1997, yakni 1,7 juta hektar per tahun (Awang 2005).

Pada tahun 1970an, sektor kehutanan melalui pemberian HPH menyumbangka devisa kedua terbesar setelah sektor minyak bumi. Pada tahun 1974, pendapatan devisa asing meningkat menjadi 564 juta dolar Amerika Serikat (AS) dibandingkan dengan tahun 1968 yang hanya 6 juta dolar AS.  Di penghujung tahun 1968, Indonesia menjadi produsen kayu log utama, lebih besar dari seluruh negara Afrika dan Amerika Latin, yang menyumbangkan devisa 2,1 miliar dolar AS (sekitar 40 persen saham dari pasar log global). Pada tahun 1985, ekspor log dilarang pemerintah karena pemerintah ingin membuat kebijakan untuk mengintegrasikan pemanfaatan sumber daya hutan dari hulu hingga hilir dengan membangun Plywood. Dengan kebijakan ini, pemerintah memperoleh devisa 50 miliar dolar AS selama periode 1983-1997 (Hidayat 2008).

Karena kebijakan Plywood berhasil, pemerintah merencanakan untuk mendirikan industri pulp dan kertas. Konsekwensi dari kebijakan ini adalah bahwa pemerintah mempromosikan Hutan Tanaman Industri (HTI). Pada akhir tahun 1980an, pemerintah berencana membuka 1,5 juta hektar tanaman HTI dan bahkan menjadi 4,4 juta sampai 6 juta hektar menjelang tahun 2000an. Namun, hingga tahun 1998 hanya 2,4 juta hektar HTI yang dibuka. Kegagalan ini disebabkan oleh guncangan krisis ekonomi pada tahun 1997 yang diikuti terjadinya konflik lahan antara masyarakat dan pengusaha HTI.  Konflik lahan ini disebabkan oleh munculnya isu hak-hak hutan adat, otonomi dan desentralisasi pengelolaan sumber daya alam yang mencuat di berbagai daerah dan propinsi (Hidayat 2008).

Pada era Orde Baru, Indonesia kehilangan hutannya seluas 40 juta hektar karena dikonversi untuk lahan kelapa sawit, areal transmigrasi, konsesi HPH dan HTI, ekspansi pertanian (sawah 1 juta hektar di Kalimantan Tengah), dan praktik illegal logging. Selain itu, kebijakan yang sentralistis pada masa Orde Baru dan kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh pemerintah kepada pengusaha dan investor untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah seperti kredit bank, percepatan pemberian izin, serta perkawinan antara pengusaha dan penguasa juga telah menyebabkan terjadinya kerusakan hutan yang masif dan cepat di Indonesia (Hidayat 2008). 

Namun, eksploitasi hutan memberikan devisa negara yang menjadi sumber penting pendorong pembangunan ekonomi nasional. Namun, keuntungan finansial dari sektor kehutanan dinikmati oleh elit militer, penguasa dan politik (Awang 2006).

Kebijakan ekonomi politik Orde Baru dalam hal mengelola hutan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang signifikan. Namun, jika dikalkulasi kontribusi sektor kehutanan untuk APBN sangat kecil karena dari tahun 1984-1989, pendapatan pemerintah pusat hanya sebesar 0,1 persen saja. Rendahnya pemasukan dari sektor kehutanan disebabkan oleh rendahnya rente ekonomi yang dikumpulkan pemerintah dari iuran lisensi, pajak PBB, royalti dan reboisasi. Dari tahun 1988 hingga 1990, rente ekonomi yang ditarik pemerintah maksimal 17 persen, sedangkan rente yang tidak dapat ditarik pemerintah minimal 83 persen yang menjadi milik perusahaan swasta. Namun, jika dilihat dari pendapat ekspor, sumbangan dari sektor kehutanan cukup besar. Dari tahun 1994-1999, kontribusi sektor kehutanan terhadap total ekspor nasional berkisar antara 13,39 persen-16,73 persen (Awang 2006).

Pasca-Orde Baru dan desentralisasi yang gagal

Sejak Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998, Indonesia memasuki era pasca Orde Baru yang diwarnai oleh krisis ekonomi moneter. Untuk mengatasi krisis ini, Indonesia kembali menggunakan resep ekonomi neo-liberalisme yakni melakukan skenario peminjaman kepada IMF dan Bank Dunia untuk memulihkan ekonomi nasional. Selain itu, pemerintah menjalankan kebijakan privatisasi terhadap perusahaan negara seperti perbankan, PT. Telkom, PT Pupuk Kaltim, dan industri semen. Bersamaan dengan itu, masa pasca Orde Baru ditandai oleh perubahan sistem politik dari sentralisasi menjadi desentralisasi dengan dikeluarkannya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disempurnakan oleh UU No. 32 Tahun 2004. Namun, UU desentralisasi ini memiliki konflik kewenangan (conflict of norm) dengan UU Kehutanan No. 41/1999. Namun, karena pemerintah pusat menjadi lemah, maka terjadi penyalahgunaan wewenang dan korupsi dalam pengelolaan hutan oleh para pejabat publik di daerah. Selain itu, masyarakat adat yang merasa dirugikan oleh pemerintah Orde Baru menuntut pengelolaan hutan dikembalikan kepada masyarakat. Konflik masyarakat dengan pengusaha HPH terjadi di mana-mana. Oleh karena itu, banyak HPH yang beroperasi di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jambi, dan Riau tidak lagi beroperasi. Di sisi lain, depertemen kehutanan juga memberhentikan operasi HPH karena tidak memperhatikan kelestarian hutan yang merupakan tanggung jawabnya (Awang 2006, Awang 2005).

Namun, meskipun banyak HPH yang berhenti beroperasi. Pada masa pasca Orde Baru, tingkat deforestasi justru semakin tinggi. Pengimplementasian otonomi yang berlebihan oleh pemerintah daerah dalam desentralisasi pengelolaan kehutanan adalah salah satu penyebab meningkatnya deforestasi (Awang 2006, Awang 2005).
Akibat dari kebijakan eknomi neo-liberal dan implementasi desentralisasi pengelolaan sumber daya hutan, pada tahun 1990, 1,8 juta hektar hutan ditebang setiap tahun. Sejak itu, tingkat deforestasi terus meningkat dari 1,7 persen ke 2 persen setiap tahun. (Siahaan 2007). Namun, laju kerusakan hutan yang tinggi ini tidak diimbangi dengan pemasukan yang diterima pemerintah. Menurut laporan Bank Dunia (2006), dalam 10 tahun terakhir, sektor kehutanan hanya berkontribusi terhadap 3-4 persen GDP. Oleh karena itu, sumber daya hutan di Indonesia tidak berkontribusi terhadap penurunan kemiskinan, pembangunan sosial dan ekonomi, serta sustainabilitas lingkungan hidup (Scheyvens dan Setyarso 2010, Brockhaus et.al 2012). Hal ini diperburuk oleh korupsi dalam manajemen hasil hutan oleh elit pemerintahan. Menurut laporan Clements et.al (2010), sejak tahun 1989, Dana Reboisasi (Indonesia’s Reforestation Fund) sebesar 5,8 miliar dolar AS digunakan untuk proyek-proyek politik yang tidak ada hubungan sama sekali dengan program restorasi hutan.

Ekonomi kapitalis global, penyebab kerusakan hutan

Melihat sejarah tata kelola kehutanan Indonesia maka dapat ditarik inferensinya bahwa kerusakan hutan disebabkan oleh kebijakan tata kelola kehutanan yang dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi global. Hal ini nampak dalam dua hal yakni: pertama, kebijakan ekonomi politik yang pro terhadap investasi, baik asing maupun domestik, dalam sektor kehutanan, pertanian, dan pertambangan, yang bertujuan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi, telah berkontribusi terhadap kerusakan hutan di Indonesia. Kebijakan ekonomi politik pro investasi ini sangat nampak dalam pemerintahan kolonial, Orde Baru dan pasca Orde Baru.

Kedua, kegagalan untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan disebabkan oleh kegagalan untuk menentukan penyebab utama deforestasi (the failure to address the fundanmental driver) dan tendensi untuk melihat sektor kehutanan sebagai entitas yang terpisah dari sektor lain (the tendency to view the forest sector in isolation from other sectors)”. Tendensi seperti ini menimbulkan kontradiksi kebijakan antar-departemen. Regulasi yang dibuat oleh departemen dalam kabinet pemerintahan cenderung tumpang-tindih. Singkatnya, deforestasi di negara berkembang, termasuk di Indonesia, terjadi karena kemiskinan, rendahnya kapasitas manajemen, dan buruknya kebijakan ekonomi politik (Ricketts 2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar