Catatan Menentang WTO Desember
2013
Bukan
Panitia Tujuhbelas Agustusan
Syarif Arifin ; Bekerja di LIPS (Lembaga Informasi Perburuhan Sedane)
|
INDOPROGRESS,
01 Januari 2014
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Majalah
Sedane.
Dimuat ulang di IndoPROGRESS untuk tujuan Pendidikan
PADA 3-6 Desember, Pemerintah
Indonesia dipercaya sebagai tuan rumah untuk untuk melaksanakan Konferensi
Tingkat Menteri (KTM) IX organisasi perdagangan dunia (World Trade
Organisation/WTO). Pertemuan tersebut membahas mengenai kemajuan pelaksanaan
kesepakatan-kesepakatan yang telah disepakati oleh anggota WTO, seperti
pelaksanaan topik liberalisasi pertanian (AoA/Agreement on Agriculture)
dan fasilitas perdagangan (Trade Fasilitation)
dan pembangunan negara berkembang dan miskin atau tema (LDC/Least Development
Country).
Pertemuan yang dilaksanakan di
Bali tersebut telah menghasilkan Paket Bali. Bagaimana respons gerakan sosial
terhadap KTM IX tersebut? Mengapa perlawanan gerakan sosial seolah tak
bergema?
Kesepakatan Keji WTO
Niatan Amerika Serikat mendorong
pencabutan subsidi pertanian hampir tersandung oleh India. Diikuti oleh Kuba,
Bolivia, Venezuela, dan Nikaragua Paket Bali nyaris gagal. Konferensi Tingkat
Menteri IX WTO di Bali, Indonesia, di sektor pertanian (AoA) kembali moncer
setelah diadakan perpanjangan waktu pembahasan hingga dini hari, 7 Desember.
Pertemuan itu sendiri seyogyanya ditutup sore hari pada 6 Desember.
Paket Bali menyepakati sepuluh
poin pembahasan yang mencakup fasilitasi perdagangan, general service untuk pertanian, public stockholding untuk ketahanan
pangan, tariff rate quota untuk
produk pertanian, persaingan ekspor, perdagangan kapas, ketentuan asal
barang, perlakuan khusus terhadap penyedia jasa dari negara miskin, duty-free dan quota-free untuk
negara miskin, serta mekanisme pengawasan special and differential
treatment terhadap negara miskin.
Setelah 12 tahun buntu, di tengah
krisis pangan, energi, dan keuangan, peran institusi pemenang Perang Dingin
ini akan menjadi garda terdepan untuk melaksanakan pembangunan dunia. Melalui
Paket Bali, negara-negara miskin dan berkembang dipaksa membuka
perekonomiannya; memberikan perlakuan setara kepada bisnis besar dan kecil,
serta mendorong produk-produk dalam negeri untuk dijual di pasar
internasional. Sebagai bagian dari warga dunia, di bawah kontrol institusi
global, negara-negara miskin dan berkembang bersedia memikul, turut prihatin,
dan membantu memulihkan krisis yang dialami negara-negara maju.
Caranya
dengan memberikan kemudahan prosedur perdagangan dan mendorong perekonomian
berorientasi ekspor. Kesepakatan tersebut dimaksudkan untuk mencapai satu
triliun dolar AS pada perekonomian global.
Memberikan fasilitas kemudahan
proses perdagangan dan ekspor menyaratkan peranan negara yang semakin
berpihak pada bisnis besar dan penghancuran perlindungan kelas pekerja.
Pengalaman Indonesia pada 1980-an, ketika arahan industri berorientasi ekspor
dioperasikan, kaum tani diusir dari lahan pertanian dan perlindungan hak
dasar buruh dilucuti. Contoh popular dari kejadian tersebut adalah raibnya
tanah 5268 kaum tani di Kedung Ombo untuk membangun waduk yang dibiaya Bank
Dunia, Bank Exim Jepang, dan APBN, serta penunggalan serikat buruh menjadi
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).
Aliansi Penentang WTO
Tapi pertemuan itu sendiri bukan
tanpa perlawanan. Upaya untuk menentang pertemuan WTO dilakukan dengan
berbagai cara; protes jalanan di pusat-pusat pemerintahan maupun di tempat
umum, membuat seminar, konferensi pers, dan mengorganisasikan diri dalam
aliansi.
Sebaliknya, usaha untuk mencapai
kesepakatan Paket Bali pun telah dipersiapkan. Pimpinan WTO berharap bahwa
kesepakatan di Bali dapat membuahkan hasil setelah 12 tahun bertemu dengan
jalan buntu. Sebagai tuan rumah, Pemerintah Indonesia menjanjikan, KTM IX WTO
tidak akan berakhir dengan nihil. Pertemuan institusi pemenang Perang Dingin
ini dipersiapkan dengan baik.Lobby politik
antarnegara dan pengerahan aparat untuk memandulkan gerakan massa menjadi
menu utama untuk mencapai kesepakatan tersebut. Pemilihan Bali sebagai pusat
pertemuan KTM IX WTO bukan tanpa alasan.
Di Bali, gerakan rakyat memang
memiliki sedikit pilihan. Gerakan protes jalanan mengandaikan ketersediaan
massa yang cukup. Sementara sebagian besar tulang punggung organisasi tani
dan buruh berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera. Perlu
diketahui, secara keseluruhan perhatian gerakan buruh tertuju pada tuntutan
kenaikan upah ketimbang isu-isu yang lebih luas. Di samping itu, dalam dua
tahun terakhir gerakan rakyat mengalami pukulan hebat. Di sektor perburuhan,
sistem outsourcing memukul telak jumlah keanggotaan.
Tekanan-tekanan eksternal telah menghancurkan sumber daya yang telah dipupuk
selama bertahun-tahun. Menghubungkan agenda-agenda busuk WTO dan tuntutan
tahunan gerakan buruh tidak dapat disepelekan.
Di samping itu, upaya untuk
merusak pertemuan dari dalam penuh risiko –atau dapat dianggap angin lalu
oleh rezim. Pastinya, penyelenggara pertemuan telah memiliki pembacaan
terhadap para delegasi yang akan diakreditasi untuk memasuki KTM. Untuk
menggagalkan perlawanan, rezim tidak akan segan menempuh tindakan yang paling
barbar sekalipun. Represi yang paling keji tidak semata karena ofensif
gerakan massa. Ini merupakan tesis klasik dalam operasi pelipatgandaan
keuntungan. Tidak ada alasan bahwa gerakan aktif hanya mendatangkan represi
lebih kejam dari rezim.
Sejauh pengetahuan saya,
aliansi-aliansi perlawanan WTO, tergabung dalam tiga kelompok. Semuanya
mengalami kesulitan untuk memusatkan perlawanan. Gerak Lawan mengusung sloganEnd WTO. Indonesian People Alliance (IPA)
meneriakan Junk WTO, dan Internation Trade
Union Confederation (ITUC) mengusulkan beberapa konsep untuk reformasi WTO.
Karena keterbatasan informasi dari
aliansi lain, di sini saya hanya akan menceritakan mengenai kegiatan IPA
dalam melawan WTO. IPA dikoordinaskan sejak Januari 2013 dengan mengusung
tuntutan: Kedaulatan Rakyat, Akhiri liberalisasi perdagangan, Tidak pada
perjanjian baru WTO, Perdagangan yang mengabdi rakyat, Perdagangan
antarnegeri yang saling menguntungkan, danJunk WTO. IPA
mengonsolidasikan Organisasi Non Pemerintah (Ornop), Organisasi Massa (Ormas)
pemuda-pelajar, Ormas perempuan, Ormas buruh, Ormas tani, dan Ormas
masyarakat adat. Di Jakarta, IPA melakukan rapat rutin seminggu sekali, di
mana hasil-hasil pertemuannya dibagikan melalui surat elektronik. IPA
dibangun pula di berbagai daerah yang melibatkan komposisi yang kurang lebih
mirip. Secara keseluruhan IPA mengorganisasikan organisasi di Indonesia,
Malaysia, Hong Kong, India, Amerika Latin, Filipina, Australia, dan
lain-lain, yang disebut dengan International People Alliance.
Di Bali, IPA membuat People Global
Camp (PGC) dan Global Day Action, yang diterjemahkan menjadi Kemah Rakyat
Dunia dan Rally. Acara itu dilangsungkan di GOR Ngurah Rai Denpasar Bali dari
3 sampai 6 Desember. Acaranya dibuat sedemikian rupa. Ada pleno bersama,
kemudian pembagian sektoral, dan diakhiri dengan pernyataan bersama. Ada tiga
belas tenda untuk melaksanakan kegiatan sektoral. Di tenda-tenda tersebut
kegiatan dilaksanakan; ada yang membuat workshop, membuka bazaar, festival
foto, dan pemutaran film. Kegiatan workshop dilaksanakan di siang hari. Malam
harinya diramaikan dengan pagelaran musik dan orasi budaya. Rerata peserta
datang dari luar Bali. Hampir tidak ada peserta yang datang dari Bali kecuali
sebagai panitia pelaksana.
Selama kegiatan berlangsung, teriakan
‘Junk WTO!’ atau ‘Bubarkan WTO!’ hampir tak berhenti. Karena fonetiknya sama,
beberapa peserta dari Jawa Barat memelesetkan teriakan itu menjadi panggilan,
‘Jang rek kamana, Jang?’
Pada 3 Desember, saat pembukaan
KTM WTO, IPA melancarkan rally serentak di berbagai kota. Di Bali rally hanya
dilakukan di sekitar GOR Ngurah Rai. Aksi serentak di berbagai kota di
lakukan juga pada penutupan KTM WTO, pada 6 Desember, yang diarahkan ke
Konsulat Jenderal Amerika Serikat.
GOR Ngurah Rai cukup luas. Di luar
benteng GOR adalah kantor-kantor pemerintah, terutama kepolisian dan tentara.
Pertemuan KTM IX WTO terletak di Nusa Dua Bali, sebuah jarak yang tidak mudah
ditempuh untuk sebuah rally. Apalagi memang tidak dipersiapkan untuk
menerobos tempat tersebut.
IPA mencoba menerapkan prinsip
‘membiayai diri sendiri’ untuk tiap organisasi. Ornop internasional dikenai
biaya Rp 1 juta, Ornop nasional Rp 500 ribu, Ormas internasional dikenai
biaya Rp 500 ribu, dan Ormas nasional Rp 100 ribu. Saya sebagai perwakilan
LIPS tidak urun iuran. Di samping itu, untuk menggelar side-event di PGC, setiap sektor dipersilakan
untuk mengurus sendiri. Panitia hanya menyediakan tenda, kursi, dan pengeras
suara. Perihal tiket dan jadwal keberangkatan, tempat penginapan, konsumsi
harian, tempat berkumpul, diurus masing-masing organisasi. Panitia hanya
memberikan daftar alamat dan daftar harga untuk setiap penginapan. Jika
diperlukan panitia akan mencarikannya. Saya kira gagasan membiayai kegiatan
secara mandiri cukup menarik, dan harus terus menerus diujicobakan. Panitia
pun memberikan beberapa panduan seperti kerangka acuan kegiatan, jadwal
acara, dan lain-lain yang diperkirakan dibutuhkan peserta. Barangkali, karena
tiap peserta memiliki jadwal keberangkatan dan kepulangan masing-masing, panitia
tampak kesulitan mengatur arus informasi dan mengonsolidasikan massa.
Sekali waktu saya merasa kaget
ketika salah satu pimpinan organisasi membawa selembar kertas berbahasa
Indonesia. Isinya jadwal acara. Dia berkata, ‘Nah kalau dalam bahasa begini
(bahasa Indonesia), enak kita bacanya dan mudah sosialisasi kepada anggota.’
Pikiran saya jadi ragu; apakah dia yang telat mendapat informasi; atau
informasi itu memang adanya demikian. Entahlah.
Badan-badan yang dibentuk IPA
bersifat kepanitiaan yang terdiri dari panitia pengarah (SC) dan panitia
pelaksana (OC), yang dipilihan dari beberapa organisasi. Kepanitian itu
dibantu oleh 111 relawan dari mahasiswa. Tidak diketahui dengan jelas fungsi
relawan yang begitu banyak tersebut.
Di sektor perburuhan, peserta
didatangkan dari Jakarta, Bekasi, Karawang, Bogor, Medan, Filipina,
Australia, Amerika Latin, Hongkong. Mereka adalah perwakilan dari Ornop dan
Ormas. Ada PPMI SPSI, GSBI, KSBSI, SBSI 92, AMRC, Eiler, KMU, dan beberapa
individu dari negara-negara lain. Kejadian lucu adalah mengenai kesenjangan
bahasa dan persaingan ‘suara’ antartenda. Rupanya panitia tidak menyediakan
penerjemah atau setiap peserta dianggap memiliki kemampuan yang sama:
semuanya mampu berbahasa Inggris. Di saat acara workshop perburuhan
berlangsung beberapa kali diinterupsi karena harus mencari orang yang
bersedia dan mampu menerjemahkan bahasa Inggris ke Indonesia ataupun
sebaliknya.
Pada 4 Desember, sektor perburuhan
melakukan workshop tentang gerakan buruh melawan WTO, yang diakhiri dengan
pemutaran film dokumenter Bekasi Bergerak.
Pada 5 Desember, sektor perburuhan melakukan workshop tentang praktik buruh
kontrak di tiap negara dalam hubungannya dengan neoliberalisme. Puncak dari
workshop itu adalah pernyataan bersama.
Inti pernyataan bersama itu
menyatakan, WTO merupakan salah satu lembaga yang mendukung pemberangusan
serikat buruh, mengutamakan politik upah murah, melanggengkan pengangguran,
dan penganjur sistem kerja kontrak outsourcing.
Karena itu Pemerintah Indonesia dituntut untuk keluar dari keanggotaan WTO
dan WTO layak dibubarkan. Logikanya kurang lebih begini. WTO meyakini bahwa
buruh merupakan barang dagangan. Karenanya, perlindungan terhadap buruh dan
kesempatan kerja dianggap merusak mekanisme pasar.
Sebagai sebuah kegiatan
internasional bentuk-bentuk kegiatan tersebut menarik dan menyenangkan. Kita
pun layak memberikan apresiasi terhadap kerelaan para pimpinan Ormas untuk
menjalin kerjasama. Seperti kita alami bersama kerjasama antarlembaga tidak
mudah. Keengganan bekerjasama seringkali muncul karena lemahnya konfirmasi
dan dugaan yang tidak berdasar. Niat baik melipatgandakan kekuatan seringkali
dituduh mencari sensasi atau dituduh ditarik untuk kepentingan politik
praktis.
Menurut saya, jika sekadar
mengaduk-aduk amarah massa maka seluruh kegiatan IPA lebih dari cukup.
Materi-materi di sektor buruh, misalnya, sebenarnya lebih cocok dibahas
sebelum acara KTM IX WTO berlangsung. Wajar jika selama kegiatan berlangsung,
beberapa peserta yang saya temui merasa jengkel, karena kegiatan IPA tidak
secara langsung menyerang pertemuan WTO.
Saya sendiri sulit memahami
bagaimana hubungan slogan dengan bentuk kegiatan; hubungan kegiatan dengan
bentuk organisasi dan pengambilan keputusan harian. Akhirnya, selama kegiatan
berlangsung muncul hal-hal yang menggelikan –jika tidak disebut
menjengkelkan. Saya melihat beberapa peserta merasa gelisah. Pertanyaan
mereka kurang lebih begini. Apa yang akan dilakukan untuk melawan
pertemuan di Nusa Dua? Kepada siapa pertanyaan itu akan dialamatkan? Tak
jelas. ‘Ibaratnya, kita sebagai penonton berteriak di Bogor, sementara pemain
bola berada di Bandung,’ keluh salah seorang peserta.
Pada akhirnya, setiap orang
mencari informasinya sendiri. Panitia penyelenggara memang selalu tersedia.
Jumlahnya berseliweran. Pikirannya tampak terkonsentrasi menyelenggarakan
kegiatan ketimbang memikirkan bagaimana melawan WTO. Bentuk pengambilan
keputusan akhirnya gagal mengonsolidasikan dan mengerahkan energi perlawanan.
Ketidakmampuan menyerap aspirasi dan menguasai lapangan pun sangat kentara.
Persiapan yang ceroboh dan pengalaman yang minim menjelma dalam pengambilan
keputusan yang tidak terpimpin dan kegiatan yang berantakan.
Sebagai sebuah
kerjasama luas, IPA sangat lemah. Seandainya ada serangan mendadak dipastikan
bahwa kegiatan tersebut akan berantakan. Jangankan untuk melawan, bertahan
pun tidak ada. Sangat sulit pula dikatakan bahwa kegiatan tersebut merupakan
tandingan kegiatan WTO.
Akhirnya, muncul
inisiatif-inisiatif untuk menembus pertemuan KTM IX WTO. Organisasi perempuan
dan para penyandang ODHA melakukan protes langsung pada 4 Desember. 5
Desember organisasi perempuan dan organisasi tani kembali berinisiatif
melakukan aksi protes secara mandiri. Sayang sekali, inisiatif tersebut tidak
terkoordinasi dan tidak diupayakan untuk dipimpin. Begitu pula,
organisasi-organisasi yang memiliki akreditasi dari Panitia KTM WTO mencoba
melakukan protes dari dalam. Entah bagaimana cerita lengkap protes di dalam
dan di luar dilakukan, kecuali sebagai pengalaman pribadi.
Kejadian lucu lainnya berkaitan
dengan kegiatan harian. Seorang peserta berseloroh, lebih sulit memasuki
acara IPA ketimbang masuk dalam acara KTM IX WTO. Sebagai peserta, setiap
saya memasuki ruangan GOR selalui ditanyai hal yang sama oleh orang yang sama,
‘Mana ID Card Anda?’ Di hari ketiga, saya melihat dua peserta dari Taiwan
tidak dapat masuk ke GOR karena lupa membawa ID Card. Padahal dua hari
sebelumnya orang tersebut bolak-balik ke ruangan tersebut. Kepada dua orang
tersebut, panitia lainnya mencoba menjelaskan bahwa hal itu dilakukan demi
keamanan. Panitia yang lain menjelaskan bahwa semuanya diperlakukan sama;
jika tidak membawa ID Card berarti Anda tidak boleh masuk. Dua orang Taiwan
tersebut hanya menjawab dengan menahan tawa.
Sebagaimana pepatah lama,
kewajiban front persatuan adalah melipatgandakan kekuatan yang diikat oleh
kerjasama yang saling menguntungkan untuk memukul musuh yang paling jahat.
Barangkali kita memerlukan diskusi mendalam mengenai bentuk organisasi yang
efektif untuk melakukan perlawanan; bagaimana pembagian kerja dilakukan;
memerlukan diskusi lagi bagaimana mengelola dan mengarahkan energi kerjasama
dapat memukul lawan.
Seperti saya, mungkin banyak orang
mengira bahwa KTM IX akan buntu sebagaimana perundingan sebelumnya. Rupanya
kita gagal menilai bahwa perjanjian-perjanjian perdagangan bebas antarnegara
(bilateral) dan regional (ASEAN-FTA) merupakan bagian dari konsolidasi untuk
mencapai perdagangan bebas melalui institusi multilateral –bukan sekadar
jalan lain dari WTO. Bali telah menjadi batu loncatan baru untuk
memaksimalkan liberalisasi perdagangan dan menghidupkan kembali fungsi keji
WTO. Korban utamanya sudah dapat diduga: pelucutan hak dasar buruh dan
pengusiran kaum tani dari lahan-lahannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar