Kamis, 23 Januari 2014

Kota yang Mencemaskan

Kota yang Mencemaskan

Hari Prasetyo   ;   Wartawan Tempo
TEMPO.CO,  23 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         

Tidit, pager ku berbunyi. Tidit-tidit begitu bunyinya." Saya masih mengingat betul petikan berirama hip hop dalam bahasa Indonesia berjudul Ti Di Dit oleh Sweet Martabak pada era 1999.

Saat itu, zaman alat komunikasi tercanggih masih berupa pager. Dengan alat komunikasi sebelum adanya telepon seluler ini, kita bisa menerima pesan atau tugas dari kantor atau memonitor teman atau anak tercinta di lapangan. Semua ini dilakukan dengan menelepon operator dari perusahaan pager.

Zaman sebelum pager, kita melepas anak atau kekasih berjalan sendirian di berbagai sudut kota yang kita tinggali dengan hanya berbekal doa atau keyakinan. Tapi, saat itu, hati kita pada umumnya lebih tenang kalau melepas anak atau kekasih pergi sendirian di sebuah kota. Meski pager belum ada, apalagi handphone alias telepon seluler. Rasanya, lebih pasrah. 

Tapi, pada zaman yang terus berkembang, demikian juga dengan teknologi komunikasi, waswas itu semakin berkembang dan "mungkin" kepasrahan itu semakin berkurang ketika melepas mereka pergi sendirian, apalagi sampai malam hari.

Pager itu telah tergantikan dengan telepon seluler yang membuat kita bisa langsung menelepon sang kekasih. Atau, bila membayangkan mereka masih bergelantungan di atas bus kota atau naik taksi sendirian, kita bisa mengirim pesan pendek kepada mereka. "Lagi di mana? Sama siapa? Hati-hati, ya."

Tak terbayangkan lagi untuk kembali pada era sebelum 1990-an, melepas kekasih atau anak semata wayang tanpa membekali mereka dengan handphone dan perangkat komunikasi mutakhir lainnya.

Zaman kepasrahan dan sepenuhnya mengandalkan pada "iman" itu mungkin sudah sebagian besar tergerus oleh perkembangan zaman. Padahal, pada satu sisi, zaman semakin memanjakan manusia dengan kecanggihan teknologinya, tak terkecuali dalam soal komunikasi.

Mungkin, jumlah bapak, ibu, atau pacar semakin berkurang yang membiarkan orang-orang tercintanya pergi berjalan-jalan ke sudut-sudut kota tanpa dibekali alat komunikasi apa pun. Apalagi, bisa sampai pergi ke luar kota atau mancanegara.

Kota-kota yang semakin besar dan kian modern pada satu sisi semakin menciptakan kenyamanan dan kemewahan. Hanya, di sisi lain, juga menambah kecemasan. Memang tidak semua. Tapi, berapa banyak kota metropolis yang bisa sepenuhnya menyenangkan warganya?

Di kota-kota yang supersibuk dan berdegup selama hampir 24 jam menciptakan sejumlah keruwetan, kebisingan, dan kesemrawutan yang bisa mendatangkan bahaya. Rasa takut berlebihan? Sama sekali tidak, bila kita setiap hari naik angkutan umum atau berjalan kaki sampai ke rumah.

Jalanan di Ibu Kota ini atau di kota-kota besar di sini menghamparkan begitu banyak kejutan, yang sebagian tidak menyenangkan dan mengurangi rasa nikmat. 

Perubahan, itu pasti, tapi memang mengundang kecemasan bila pergerakan atas nama modernisasi ini tak semakin membuat sebagian warganya-paling tidak saya-semakin nyaman. Ada nilai-nilai yang terus tergerus.

Sambil menunggu angkutan terakhir pada dinihari di Blok M, Jakarta Selatan, pada suatu hari, saya mendengar suara pengamen jalanan menyenandungkan lagu karya troubadour Leo Kristi, "Tepi-tepimu Surabaya, di mana kita mulai semua ini, gema nyanyian pahlawan kini jadi nyanyian wayang."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar