Situasi
Pangan 2014
Dwi Andreas Santosa ; Ketua PS S-2
Bioteknologi Tanah dan Lingkungan IPB; Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani
Indonesia/AB2TI
|
KOMPAS,
21 Januari 2014
MELEWATI tahun 2013 dan memasuki
tahun 2014 target swasembada pangan oleh pemerintah untuk lima komoditas
utama, yaitu beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi, semakin jauh
”panggang dari api”.
Produksi padi memang membaik di
tahun 2013 karena faktor alam berupa kemarau basah sepanjang tahun dan harga
gabah di tingkat petani yang relatif tinggi, yaitu berkisar Rp 3.700-Rp 4.000
per kilogram, sehingga petani bergairah menanam padi. Akibatnya luas panen
padi meningkat 325.000 hektar yang menyebabkan produksi gabah meningkat tajam
menjadi 70,87 juta ton gabah kering giling (GKG) atau 2,62 persen
dibandingkan tahun 2012. Peningkatan produksi padi juga disumbangkan oleh
peningkatan produktivitas sebesar 0,10 kuintal per hektar menjadi 51,46
kuintal per hektar.
Peningkatan produksi padi ini
mampu menekan impor beras menjadi hanya 0,43 juta ton (Januari-November 2013)
(BPS, 2014), atau penurunan hampir 1,4 juta ton. Penurunan impor juga
disebabkan stok beras yang masih cukup tinggi karena impor beras 1,8 juta ton
selama dua tahun berturut-turut, yaitu tahun 2011 dan 2012. Selain padi,
impor kedelai juga menurun dari 1,92 juta ton menjadi 1,62 juta ton. Hal ini
tak disumbang dari peningkatan produksi karena produksi kedelai justru turun
dari 0,843 juta ton menjadi 0,808 juta ton. Penurunan impor kedelai lebih
disebabkan harga internasional yang tinggi dan bersamaan dengan
terdepresiasinya rupiah sehingga permintaan menurun.
Berbeda dengan padi dan kedelai,
impor jagung melonjak drastis dari 1,69 juta ton 2012 menjadi 2,81 juta ton
(Januari-November 2013) atau peningkatan sebesar 1,12 juta ton. Produksi
jagung pada 2013 menurun cukup tajam dibandingkan 2012 dari 19,29 juta ton
menjadi 18,51 juta ton.
Fenomena produksi dan impor ketiga
komoditas ini menarik untuk dicermati. Padi menjadi trade-off bagi
jagung dan kedelai karena menggunakan lahan yang sama, kecuali untuk
wilayah-wilayah tertentu yang menanam hanya satu komoditas. Peningkatan
produksi padi di satu sisi akan diikuti penurunan produksi jagung dan kedelai
di sisi lainnya sehingga cukup sulit untuk menyimpulkan bahwa peningkatan
produksi padi di tahun 2013 merupakan karya ”program pemerintah”.
Impor dua komoditas utama lain
yang merupakan target swasembada 2014 masih 3,08 juta ton untuk gula, serta
daging sapi 41,5 juta kilogram dan sapi 104,4 juta kilogram. Selain
itu, masih ada beberapa komoditas pangan utama yang diimpor, di antaranya
gandum dan tepung terigu yang mencapai 6,40 juta ton, garam 1,85 juta ton,
bawang putih 404 juta kilogram, bawang merah 81,3 juta kilogram; dan juga
cabe, daging ayam, mentega, susu, minyak goreng, kelapa, kelapa sawit, lada,
cengkeh, teh, kopi, kakao, tembakau, ubi kayu, dan kentang dengan total impor
17,27 juta ton dengan nilai 8,62 miliar dollar AS atau setara Rp 104,12 triliun.
Situasi pangan global dan Indonesia 2014
Situasi produksi pangan di dunia
diperkirakan relatif membaik tahun 2014. Total produksi serealia di dunia
akan meningkat 8,4 persen di periode 2013/2014 dibanding 2012/2013.
Peningkatan terjadi sebesar 2,6 persen di negara berkembang dan 17,4 persen
di negara maju (FAO Crop Prospects and Food Situation, Desember 2013). Stok
serealia di dunia pada akhir musim 2014 diperkirakan meningkat 13,4 persen
lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan demikian, harga serealia
dunia terutama gandum, beras, dan jagung akan menurun di tahun 2014. Harga
kedelai internasional serta minyak nabati juga akan menurun (FAO Food
Price Index, 9/1/2014).
Sebaliknya situasi pangan di
Indonesia pada 2014 tidak akan lebih baik dibandingkan 2013. Alih-alih
mencapai swasembada lima komoditas pangan utama, yang terjadi adalah impor
akan semakin meningkat. Hal tersebut disebabkan sistem pangan kita sudah
terintegrasi sedemikian rupa dengan sistem pangan global yang menyebabkan
Indonesia masuk dalam ”jebakan impor pangan”. Pembelajaran selama beberapa
tahun terakhir ini menunjuk hal tersebut. Hanya dalam tempo yang relatif
singkat terjadi peningkatan impor serealia yang luar biasa. Impor serealia
meningkat 60,45 persen hanya dalam kurun empat tahun (nilai rata-rata impor
serealia periode 2011-2013 dibandingkan dengan periode 2007-2009).
Di tahun 2014 penulis
memperkirakan impor beras akan kembali ke angka di atas 1,5 juta ton, kedelai
di atas 1,6 juta ton, dan jagung mendekati 3 juta ton. Impor gandum juga akan
meningkat menjadi sekitar 6,5 juta ton, sedangkan impor gula relatif stabil
di angka sekitar 3 juta ton. Hal tersebut sebagian disebabkan harga yang
cenderung menurun di pasar global yang dengan cepat ditangkap oleh para
”pemburu rente” dengan meningkatkan impor. Faktor lainnya adalah kebijakan
pemerintah yang kurang serius menangani sektor pertanian dan pangan dan
menyerahkannya pada mekanisme pasar.
Kebijakan pemerintah
Ketidakberpihakan pemerintah untuk
pembangunan sektor pertanian tecermin dari rendahnya anggaran untuk sektor
tersebut. Anggaran dalam 10 tahun terakhir ini memang meningkat tajam.
Anggaran Kementerian Pertanian meningkat dari Rp 2,3 triliun pada 2003
menjadi Rp 16,5 triliun pada 2013 atau 717 persen lebih tinggi dan Rp 15,47
triliun tahun 2014.
Anggaran Kementerian Pertanian
digunakan untuk kebutuhan internal kementerian dan dana bantuan sosial.
Anggaran pemerintah yang benar-benar diperuntukkan bagi petani berupa subsidi
pupuk yang nilainya hanya Rp 18,05 triliun dan subsidi benih Rp 1,57 triliun
atau hanya 1,07 persen dari total APBN 2014 yang digunakan untuk membantu
26,13 juta keluarga tani atau 91 juta jiwa. Bandingkan dengan anggaran
pendidikan yang mencapai Rp 368,9 triliun (UU No 23/2013 tentang APBN 2014) yang
di banyak kasus tidak jelas pemanfaatannya.
Penyaluran pupuk bersubsidi pada
musim tanam pertama tahun ini menjadi masalah karena keterlambatan para
kepala daerah menerbitkan aturan mengenai alokasi pupuk bersubsidi
(Kompas, 15/1/2014). Padahal, penundaan pemupukan berdampak langsung
terhadap produksi. Selain itu, jumlah pupuk bersubsidi tahun ini hanya 7,78
juta ton yang 1,53 juta ton lebih rendah dibanding tahun sebelumnya.
Karut-marut pupuk bersubsidi ini jika tidak segera diatasi akan mengancam produksi
pangan tahun 2014.
Solusinya memang tidak dengan
meningkatkan penggunaan pupuk kimia, tetapi lebih ke penggunaan pupuk yang
tepat waktu, tepat dosis , dan tepat jenis, serta menggalakkan budidaya
pertanian organik. Penggunaan pupuk kimia bersubsidi dalam dua dekade
terakhir sebenarnya sudah tidak begitu signifikan dalam meningkatkan produksi
terutama padi. Berdasarkan kajian penggunaan pupuk kimia bersubsidi dari 2000
hingga 2009 terjadi kenaikan penggunaan urea sebesar 81 persen, TSP/SP36
sebesar 302 persen, ZA sebesar 371 persen, dan NPK sebesar 8.220 persen,
tetapi peningkatan produksi padi hanya 17,4 persen.
Terkait produksi pangan perlu
terobosan teknologi yang baru bukan dengan cara meningkatkan pemakaian pupuk
kimia. Penggunaan pupuk hayati PROVIBIO-IPB di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur, misalnya, mampu meningkatkan produksi 0,5 hingga 3 ton GKP per
hektar, suatu peningkatan produksi yang tak bisa dicapai jika hanya
menggunakan pupuk kimia. Jaringan Petani Organik di Banyuwangi, Bantul, Sukoharjo,
Boyolali, dan Karanganyar yang sebagian besar menggunakan benih unggul dan
pupuk organik karya petani sendiri mencatat produksi padi pada musim tanam
2013 berkisar 8,5 hingga 21 ton GKP per hektar, jauh dari rata-rata nasional
5,1 ton per hektar (Setiyarman, Ketua AB2TI Jawa Tengah).
Awal 2014, berbagai jaringan
petani melaporkan serangan wereng, sundep, dan kresek yang cukup parah di 15
kabupaten. Ini akibat iklim kemarau basah dalam tiga tahun terakhir serta
penggunaan pupuk dan pestisida berlebihan. Hal ini bisa menjadi salah satu
ancaman serius produksi padi 2014. Penemuan yang sangat menarik, pertanaman
Jaringan Petani Organik relatif bebas dari hama dan penyakit tanaman.
Dengan
demikian, kunci menyelesaikan permasalahan pertanian dan pangan di masa depan
adalah kembalikan hak dan kedaulatan petani, hapuskan subsidi benih dan pupuk
sehingga dana tersebut bisa langsung dikelola oleh petani, jamin stabilitas
harga, kembangkan sistem pertanian agroekologi, dan tidak kalah penting
laksanakan reforma agraria. Dengan demikian, kita semua akan selamat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar