Jumat, 17 Januari 2014

Banjir dan Pentingnya Menjaga Keutuhan Ciptaan

Banjir dan Pentingnya Menjaga Keutuhan Ciptaan

Benny Susetyo  ;  Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI, Budayawan
KORAN SINDO,  17 Januari 2014
                                                                                                                       


Tajuk KORAN SINDO,Rabu 15/1 mengenai banjir di Jakarta menarik untuk kita renungkan. Dalam tajuk tersebut dikatakan bahwa banjir kembali menghantui Ibu Kota DKI Jakarta. 

Seperti tahun-tahun sebelumnya, banyak pihak yang langsung berteriak tentang penyebab banjir dan bagaimana pemerintah daerah maupun pusat menangani banjir. Berbagai upaya pencegahan seolah tak mempan menghentikan banjir yang selalu menjadi langganan Jakarta. Setiap tahun gubernur yang menjabat akan mendapat “serangan” maupun kritikan karena dianggap tak mampu melenyapkan banjir dari Jakarta. 

Tentu Gubernur Joko Widodo (Jokowi) harus bisa memahami dan legawa jika ada pihak-pihak yang menyerang dan mengkritik dia karena belum mampu menghilangkan “tradisi” banjir di Jakarta. Toh, kenyataannya, upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dalam mencegah banjir yaitu melakukan normalisasi sungai-sungai dan waduk, membersihkan gorong-gorong dan parit, ataupun membuat ribuan sumur resapan, belum mampu mengatasi persoalan banjir Jakarta. 

Gubernur Jokowi harus siap menghadapi cercaan karena memang dia yang memimpin Pemprov DKI. Jika dilihat dari segi wilayah, dalam persoalan banjir di DKI memang wajar bila Gubernur Jokowi selaku orang nomor satu di lingkungan pemprov akan mendapat kritikan. Namun, dari sisi kewenangan, ternyata banyak yang harus terlibat selain Pemprov DKI. Di sana ada pemerintah pusat dan daerah-daerah penyangga DKI sepertiDepok, Tangerang, Bekasi, dan Bogor. 

Peran masyarakat DKI bahkan cukup signifikan untuk mencegah atau mengatasi banjir tahunan tersebut. Normalisasi Kali Ciliwung yang membelah Jakarta menjadi kewenangan pusat, begitu juga dengan pembuatan sudetan dari dua proyek kanal banjir di Jakarta. Persoalan banjir bukan sekadar persoalan teknis semata-mata, melainkan perilaku manusia agar manusia tidak seenaknya merusak lingkungan dan sikap hidup bersih yakni tidak membuang sampah dengan seenaknya. 

Konferensi Wali Gereja Indonesia bahkan mengingatkan bangsa akan hal tersebut. Nota Pastoral Konferensi Wali Gereja Indonesia bertopik keterlibatan gereja dalam melestarikan keutuhan ciptaan. Dalam nota ini, gereja ingin mengajak seluruh umat Katolik dan bangsa ini memberikan perhatian, meningkatkan kepedulian, dan bertindak partisipatif dalam menjaga, memperbaiki, melindungi, dan melestarikan keutuhan ciptaan dari segala kerusakan. 

Gereja memandang lingkungan hidup sebagai segala sesuatu yang ada di sekitar makhluk hidup, termasuk manusia, berupa benda, daya, dan keadaan yang memengaruhi kelangsungan makhluk hidup baik langsung maupun tidak langsung. Dalam lingkungan hidup terdapat ekosistem yaitu unsur-unsur lingkungan hidup, baik yang hidup (biotik) seperti manusia, tumbuhan, hewan, maupun yang tak hidup (abiotik) seperti tanah, air, dan udara. 

Semua saling berhubungan dan saling memengaruhi. Dengan demikian, manusia bersama ciptaan yang lain adalah bagian dari lingkungan hidup. Lingkungan hidup menyediakan berbagai kebutuhan manusia serta menentukan dan membentuk kepribadian, budaya, dan pola kehidupan masyarakat. 

Karena itu, dalam memanfaatkan sumberdaya alam, manusia harus memperhatikan tujuan dan dampak yang akan ditimbulkan. Sangatlah penting untuk melindungi sumber daya hayati, melestarikan keanekaan hayati, dan bijak mengelola sumber daya hutan dan laut. 

Kesadaran lingkungan 

Kesadaran masyarakat mengenai lingkungan hidup adalah halpentingdewasaini. Kesadaran ini sesungguhnya bukan sekadar bagaimana menciptakan suasana indah atau bersih saja, melainkan juga masuk pada kewajiban manusia untuk menghormati hakhak orang lain yaitu menikmati keseimbangan alam. 

Dengan demikian, kegiatan-kegiatan yang tidak berpihak kepada kelestarian lingkungan sedini mungkin dapat dihindari. Faktanya, tumbuhnya kesadaran tersebut belumterlihat mengingat kondisi lingkungan kita yang hari ini sungguh-sungguh memprihatinkan. Bermacam bencana alam masih terjadi silih berganti. 

Semakin banyak kawasan Indonesia yang terendam banjir, padahal dahulu termasuk wilayah aman. Banjir terkait kerusakan hutan sebagai kawasan resapan, di sisi lain dibarengi makin canggihnya modus para perusak hutan. Inilah jalinan tali-temali yang sulit diurai. 

Manusia dan Keserakahan 

Menurut Tjokrowinoto (1996), semua kesalahan ini tidak pernah diperhitungkan para pelaku ekonomi yang rakus. Keberhasilan paradigma pertumbuhan ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan kerap harus dicapai melalui pengorbanan (at the expense of) berupa deteriorasi ekologis baik yang berwujud menurunnya kesuburan tanah, penyusutan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui, maupun desertifikasi. 

Upaya mewujudkan masyarakat berkelimpahan (affluent society) ternyata harus disertai dengan pengorbanan yang membahayakan. Masyarakat kecil di dataran rendah harus menanggung amukan badai banjir lumpur akibat resapan yang sudah tidak lagi memadai. Perkembangan kapitalisme yang semakin tidak tentu arah, terutama berkaitan dengan penyelamatan alam, membuat manusia terus berhadapan dengan berbagai problem lingkungan. 

Dari hari ke hari, gejala dan bentuk kerusakan alam semakin berkembang tidak terduga. Andre Gorz (2002) dalam Ekologi dan Krisis Kapitalis memenyatakan bahwa manusia sedang menghadapi situasi semakin meningkatnya kelangkaan sumber daya alam. Solusi dari krisis itu bukan pemulihan ekonomi, melainkan pembalikan logika kapitalisme yang cenderung berorientasi pada penumpukan keuntungan (profit) untuk lebih seimbang antara kebutuhan dan aspek untuk mencapai kebutuhan itu sendiri. 

Perkembangan kapitalisme yang semakin maju telah melahirkan krisis lingkungan serius karena konsep pembangunan lebih banyak diarahkan oleh logika-logika kapitalisme. Alam diperas untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang tidak henti-hentinya menciptakan teknologi takramah lingkungan. 

Karena itu, berbagai praktik pembangunan dan industrialisasi dinegara kita hendaknya terus-menerus kita kritisi dari sudut proses dan dampak dari kebijakan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar