KPK
Tidak Berwenang Menuntut TPPU
Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Universitas
Padjadjaran (Unpad)
|
KORAN
SINDO, 17 Januari 2014
Artikel
sdr Dr Yunus Husein, mantan ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK), di harian ini pada 16 Januari 2014 dengan
judul berbeda dari penulis merupakan
tulisan kedua setelah Ketua PPATK Muh Yusuf di harian Kompas beberapa
bulan yang lalu.
Tanggapan tertulis saya tidak dimuat di harian Kompas dengan alasan tempat terbatas dan akan ditempatkan pada kompas digital, saya menolak dan memuatnya di KORAN SINDO. Sangat wajar jika kedua penulis yang pejabat struktural tersebut menyampaikan argumentasinya; keduanya tidak ada perbedaan signifikan tentang kewenangan penuntutan pada KPK dalam kasus pencucian uang hasil korupsi. Saya kutip pendapat Dr Yunus Husein pada bagian akhir tulisannya, ”Idealnya, wewenang KPK menuntut perkara TPPU diatur secara eksplisit dalam UU seperti UU KPK atau UU TPPU”. Pernyataan ini membuktikan pengakuannya bahwa KPK tidak memiliki wewenang menuntut TPPU per-UU KPK atau UU TPPU. Kalimat, “idealnya” di muka kalimat berikutnya mencerminkan bahwa dalam penyusunan UU RI Nomor 8 Tahun 2010 terselip kelalaian tim penyusun dan dalam pembahasan RUU-nya dengan Komisi III DPR RI. Kelalaian ini tentu berdampak sebagaimana saya telah ungkapkan kepada publik bahwa KPK tidak memiliki wewenang menuntut TPPU atau tidak alas hukum yang kuat KPK untuk menuntut terdakwa korupsi dengan UU TPPU. Solusi termudah dan tidak bermasalah serta tidak rentan perdebatan dan memenuhi asas kepastian hukum adalah PPATK melalui pemerintah mengajukan inisiatif perubahan UU TPPU Tahun 2010 dengan menambah ketentuan tentang wewenang KPK menuntut TPPU selain wewenang penyidikan. Ini pernah saya sampaikan pada Muh Yusuf, ketua PPATK atau UU KPK direvisi dan dimasukkan wewenang KPK menuntut TPPU pada Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 UU KPK Tahun 2002. Tampaknya pimpinan kedua lembaga independen tersebut keberatan dengan alasan kekhawatiran terjadi ihwal di luar yang diharapkan berasal dari anggota DPR RI. Jika merunut sejarah UU TPPU, tidak dapat dinafikan upaya penulis memulainya, selaku ketua Delegasi RI (Delri) telah mendeklarasikan keikutsertaan Indonesia sebagai anggota APG on Money Laundering (APG-ML) sekitar 1999 di Manila, dilanjutkan upaya menyusun draf RUU TPPU yang berhasil diundangkan dengan UU RI Nomor 15 Tahun 2002. Saya ingat di antara anggota Delri, sdr Yunus Husein, wakil dari Bank Indonesia (BI). Dalam draf pertama UU TPPU penulis memasukkan ketentuan pembentukan Komisi Pemberantasan TPPU dengan tujuan melengkapi bersinergi dengan KPK sepanjang terkait penelusuran hasil tindak pidana korupsi dan perampasannya. Rumusan ketentuan tersebut berhasil digagalkan DPR RI dengan alasan Polri dan Kejaksaan Agung masih dapat dipercaya melakukan tugas penyidikan dan penuntutan TPPU. Fakta yang terjadi sebaliknya, sejak 2002 hingga 2007/2008 perkara TPPU hanya mencapai tidak lebih dari 30-an perkara sehingga sdr Yunus Husein ketika itu sebagai kepala PPATK merasa sangat kecewa dengan kinerja kepolisian dan kejaksaan dalam menindaklanjuti hasil analisis PPATK. Tentu dalam keadaan yang memprihatinkan penanganan TPPU, satu-satunya lembaga independen yang diharapkan dapat menuntaskan TPPU adalah KPK. Upaya ini terbentur dengan masalah yang menjadi pro dan kontra tentang wewenang KPK dalam TPPU sehingga perkara TPPU merujuk pada UU TPPU Tahun 2010 yang diundangkan sejak Oktober 2010, baru dapat efektif dipaksakan berlaku (penerapannya) oleh KPK pada 2012 sampai saat ini. Ada jeda waktu dua tahun diskusi hangat di internal KPK untuk mulai mendakwa TPPU hasil korupsi karena masih ada pro dan kontra di dalam KPK. Tampaknya KPK harus mengalah dan mulai menerapkan UU TPPU atas aset-aset tipikor, yang menurut sdr Bambang Wijayanto atas pertanyaan penulis, masalah kewenangan KPK telah dibahas mendalam dengan pandangan para ahli hukum pidana. Saya telusuri tidak ada ahli hukum pidana yang memberikan dukungan atas kewenangan KPK tersebut kecuali hanya Dr Yenti Garnasih, juga sdr Dr Yunus Husein, yang bukan ahli hukum pidana. Saya bahkan bertanya dan diskusi dengan Prof Andi Hamzah, beliau semula meyakini kewenangan KPK dalam TPPU, dengan alasan dalam UU Kejaksaan, jaksa adalah satu dan tidak terpisahkan. Namun, akhirnya beliau mengakui KPK tidak berwenang menuntut TPPU karena penuntut KPK tidak berkoordinasi dan berkonsultasi kepada Jaksa Agung kecuali kepada kelima pimpinan KPK dan kop surat dakwaan atau penuntutan penuntut KPK adalah tercantum “Komisi Pemberantasan Korupsi”, bukan kejaksaan. Selain itu, penuntut dan penyidik KPK juga diberhentikan sementara dari institusi asalnya selama menjadi penyidik dan penuntut KPK (Pasal 39 ayat (3) UU KPK) sehingga tidak ada hubungan struktural dan hierarkis antara jaksa KPK dan Jaksa Agung. Alasan lainnya sebagaimana diakui Dr Yunus Husein adalah tidak terdapat ketentuan eksplisit yang menyatakan KPK berwenang menuntut TPPU seperti ketentuan Pasal 71 ayat (2) b, Pasal 72 ayat (5) c UU TPPU 2010 yang hanya memberi mandat pada kejaksaan. Jika kewenangan KPK menuntut TPPU masih juga dilaksanakan, tentu kita harus mengingatkan pimpinan KPK atas lafal sumpah dalam Pasal 35 ayat (2) UU KPK antara lain bersumpah, “mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia”, dan bersumpah, “…akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan undang-undang kepada saya”. Lafal sumpah tersebut ditempatkan pada UU KPK dan hanya berlaku untuk pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (bukan pencucian uang)! Lafal sumpah ini juga berlaku untuk hakim pada umumnya khusus hakim majelis pengadilan tipikor. Merujuk pada lafal sumpah tersebut jelas bahwa UUD dan UU memberikan mandat kepada KPK untuk memegang teguh dan melaksanakan UU KPK dan UU lain yang terkait yaitu UU RI Nomor 3 Tahun 1971; UU RI Nomor 31 Tahun 1999 diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 dan UU TPPU 2010 sepanjang penyidikan. Apakah lafal sumpah yang selalu dibacakan di bawah bimbingan payung Alqurannulkarim itu menganut paham progresif atau positivisme? Penulis 1000% setuju dengan keberadaan UU TPPU karena dapat melengkapi UU Tipikor. Sepuluh argumen sdr Dr Yunus Husein untuk meyakinkan pembaca perihal wewenang KPK dalam perkara TPPU mutatis mutandis terpatahkan dengan pernyataan yang bersangkutan sendiri pada bagian akhir tulisannya yang telah saya kutip pada awal tulisan saya, apalagi jika dihubungkan dengan lafal sumpah kelima pimpinan KPK sebagaimana saya sampaikan di atas. KPK bukan Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tipikor bukan KPK dalam arti KPK adalah lembaga penyidikan dan penuntutan berdasarkan UU KPK sehingga tidak memiliki kewenangan menafsirkan ketentuan UU secara khusus dan apalagi terkait kewenangan karena tafsir hukum atas kewenangan itu hanya ada pada hakim majelis Pengadilan TUN, bukan Pengadilan Tipikor. Pengadilan Tipikor bukan KPK karena pengadilan tidak memiliki wewenang menyidik apalagi menuntut sehingga hakim majelis Pengadilan Tipikor bukan jaksa penuntut umum karena hakim Pengadilan Tipikor wajib menjalankan perintah UU dan penerapan atas suatu peristiwa pidana berdasarkan fakta persidangan dan bukti-bukti yang diajukan pihak penuntut dan terdakwa/ penasihat hukumnya dan keyakinannya. Merujuk UU RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sangat jelas menegaskan bahwa kalimat ”peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan” (Pasal 2 ayat(4) jo Pasal 4ayat (2)) hanya ditujukan untuk membantu pencari keadilan, bukan ditujukan terhadap lembaga penyidikan dan penuntutan. Aliran hukum progresif justru untuk memperoleh keadilan bagi pencari keadilan, bukan tujuan untuk melindungi institusi negara dalam mendakwa dan menuntut setiap warga negara, tercermin dari kata-kata Almarhum, “hukum untuk manusia, bukan sebaliknya”. Putusan atas perkara TPPU yang dituntut KPK telah menjadi yurisprudensi tidak bisa lagi dipersoalkan dapat dikatakan “nasi telah menjadi bubur”, namun tetap menyisakan masalah hukum mendasar, apakah negara boleh menuntut warga negaranya tanpa alas hukum yang sah sehingga putusan MA RI dalam perkara aquo akan menjadi preseden buruk bagi masa depan penegakan hukum di Indonesia bahwa seseorang di dalam wilayah hukum Indonesia dapat dituntut dan dihukum berdasarkan penafsiran dan dugaan tanpa dasar ketentuan UU. Tetapi, hanya atas dasar rasa keadilan masyarakat? Quo vadis Pengadilan Tipikor? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar