Jumat, 17 Januari 2014

Memetik Pelajaran dari SHIA

Memetik Pelajaran dari SHIA

Chappy Hakim  ;  Pilot Senior, ATPL Holder No.2391
KORAN SINDO,  17 Januari 2014
                                                                                                                        


Minggu ini banyak orang tengah menikmati keputusan yang diambil untuk mengatasi delay penerbangan di Soekarno- Hatta International Airport (SHIA) yaitu memindahkan sebagian dan menambah beberapa penerbangan di Halim Perdanakusuma. 

Apa sebenarnya yang terjadi dan apa sebenarnya yang menjadi penyebabnya, tidak banyak yang mengetahuinya dengan benar. Di dalam dunia penerbangan, semua kegiatan telah diatur dengan cermat dan akurat berupa ketentuan, regulasi, dan aturan yang sangat ketat. Tidak ada sedikit pun diberikan ruang untuk berkompromi. Itu sebabnya dalam dunia penerbangan sangat dibutuhkan disiplin yang tinggi. 

Sebagai manusia biasa, untuk mewujudkan disiplin, tidaklah mungkin bila tidak dilakukan pengawasan yang ketat. Pengawasan yang ketat pun akan menjadi sia-sia bila tidak ada sanksi dengan efek jera jika terjadi pelanggaran atau penyimpangan dari aturan yang berlaku. Dengan menaati semua aturan dan regulasi serta ketentuan yang berlaku, akan sangat kecil kemungkinan terjadi masalahmasalah yang tidak diinginkan dalam dunia penerbangan. 

Sayangnya, untuk bergiat di dunia penerbangan yang sangat padat teknologi ini, tidak hanya dibutuhkan pengetahuan yang cukup, tetapi juga dibutuhkan kecerdasan agar secara operasional pengelolaan penerbangan yang ketat aturan itu dapat memberikan sebesar-besarnya manfaat bagi orang banyak. 

Di sinilah letak kunci dari keberhasilan manajemen pada bidang penerbangan sekaligus di sini pula letak kegagalan yang mungkin terjadi. Slogan “the right man on the right place” tidak bisa ditinggalkan hanya untuk menjadi slogan belaka.

Mari kita tengok sejenak apa sebenarnya yang terjadi di SHIA. Airport internasional kebanggaan Indonesia ini sudah beberapa waktu yang lalu dikenal sebagai airport yang “congested” dan “outdated”, airport yang sudah kepenuhan dan ketinggalan zaman. Konon SHIA sudah mencapai 300% melebihi kapasitasdari desainawalnya. 

Disisi lain, peralatan yang digunakan untuk mengatur lalu lintas udara sudah sangat ketinggalan zaman. Lebih dari itu, peralatan yang berlokasi di Jakarta ternyata tidak “kompatibel” dengan peralatan pengatur lalu lintas udara yang lebih modern di Makassar. Singkat kata, SHIA memang sudah jauh melebihi kapasitas dan penerbangan yang berangkat dan datang sudah mengalami “delay” yang “ugal-ugalan”, sampai lebih dari 5-6 jam! 

Menyimak dari uraian pada pendahuluan tadi, dengan mudah kita dapat menyimpulkan apa sebenarnya yang telah terjadi. Disiplin yang rendah telah menyebabkan manajemen tidak jeli melihat perkembangan pertumbuhan penumpang yang bisa bablas sampai 300%. Ini dapat dipastikan pula sebagai akibat dari rendahnya pengawasan yang dilakukan. 

Pertumbuhan penumpang telah dinikmati semata dengan mengukur bahwa telah terjadi kenaikan kemakmuran bagi rakyat banyak. Sikap seperti ini telah membuat lalai untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) penerbangan dan peningkatan kapasitas serta pelayanan lalu lintas udara. Kini kita kekurangan banyak tenaga pilot, banyak tenaga pengatur lalu lintas udara (air traffic control) dan teknisi pemeliharaan pesawat terbang. 

Manajemen telah begitu sibuk hanya memperhitungkan keuntungan belaka tanpa berpikir untuk meningkatkan pelayanan, fasilitas infrastruktur, dan menyiapkan SDM bidang penerbangan terutama pilot dan tenaga ATC. Ini semua kemudian menyajikan kehadapan kita SHIA yang dipakai melebihi kapasitasnya dan delay yang ugal-ugalan

Sayangnya, dalam mencari solusi pemecahan masalah tersebut, telah diambil keputusan yang terburu-buru dan terkesan “menggampangkan” persoalan. Solusi itu hanya berupa mengalihkan kelebihan slot penerbangan di SHIA ke Halim. Satu keputusan yang sangat naif. Ada dua kejanggalan besar dari keputusan itu. 

Yang pertama tentang rentang kendali operasi dalam pemerintahan dan yang kedua tidak sampainya data lapangan ke pengambil keputusan. SHIA dan Halim sebagai bandara sama-sama aerodrome, namun keduanya berada di bawah kendali institusi yang berbeda. SHIA berada di bawah kendali Kemhub dan Kemeneg BUMN, sedangkan Halim berada di bawah TNI AU, Mabes TNI, dan Kementrian Pertahanan. 

Dengan demikian, sangat janggal sekali menyaksikan kesibukan Kementrian Perhubungan (Kemhub) dan Angkasa Pura 2 (AP2) yang langsung saja secara sepihak mengatur sendiri limpahan penerbangan di SHIA hasil dari salah urus manajemen ke Halim lengkap dengan penjadwalan penerbangannya. 

Ini merefleksikan juga bahwa ternyata slot penerbangan maskapai penerbangan yang tidak mampu lagi diberikan karena SHIA sudah terlalu penuh, (karena kesalahan manajemen) dengan mudah dapat dialihkan begitu saja ke Halim yang merupakan pangkalan udara militer subsistem pertahanan udara nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak pula terdengar penjelasan dari pihak Angkatan Udara, Mabes TNI, dan Kementrian Pertahanan sebagai pemegang kendali dan pembinaan dari Pangkalan Militer Halim Perdanakusuma. 

Kejanggalan kedua tentang realita lapangan yang memang susah sampai di meja para pengambil keputusan, lebih kepada kebiasaan “asal bapak senang” (ABS). Dalam banyak hal, kita memang sangat menikmati upacara-upacara yang lebih seremonial sifatnya, tanpa berkewajiban bekerja keras untuk itu. Demikian pula saat menjelang digunakan Halim dalam prosesi “inspeksi kesiapan” Halim sebagai bandara yang siap menjadi tempat tumpahan traffic dari SHIA. 

Tampak dengan jelas, bagaimana perbaikan yang hanya dilakukan di bagian depan gedung terminal yaitu dicat dan dikapur layaknya orang bersolek dengan beberapa perubahan sedikit alakadarnya. Tidak jauh dari situ, di balik dinding yang diinspeksi tersebut tergelar ruang parkir pesawat (apron) yang sempit dengan beberapa pesawat parkir di sekitarnya dan bahkan masih banyak bangkai pesawat yang tergeletak tidak teratur di sana. 

Sejajar dengan itu terbentang runway yang hanya satu buah dan tidak dilengkapi taxiway sebagai sarana perjalanan pesawat dari apron ke runway dan sebaliknya untuk take off dan landing. Itulah semua yang dikemukakan sebagai “telah siap” Halim dioperasikan kembali sebagai bandara untuk penerbangan komersial. Entah sampai kapan kita selalu saja senang menikmati sandiwara yang sejenis ini. 

Memang benar seperti pernah dikatakan oleh Malcolm S Forbes bahwa “It’s so much easier to suggest solutions when you don’t know too much about the problem.” Sangat mudah menyarankan sebuah solusi bila Anda tidak mengetahui banyak tentang masalah yang tengah dihadapi. Selayaknya kita semua mampu memetik pelajaran berharga dari keputusan yang tergesa- gesa memindahkan tumpahan kelebihan penerbangan dari SHIA ke Halim tersebut. 

Seyogianya semua pemangku kepentingan penerbangan nasional hendaknya rela duduk bersama membahas masalah serius dengan jujur yang tengah dihadapi negeri ini untuk kemudian berembuk dengan baik untuk mencari solusi bersama yang masuk akal demi menyelesaikan masalah tersebut. 

Bila diperlukan, cukup banyak pihak yang akan sukarela turut berpartisipasi “urun rembuk” agar Indonesia dapat dipandang lagi sebagai sebuah negara yang memang berkemampuan memenuhi standar minimum keamanan dan keselamatan terbang seperti yang dipersyaratkan di kancah global sebagaimana tercantum dalam regulasi International Civil Aviation Orga. Semoga saja.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar