Anas,
Citra Diri dan Pendukungnya
Laode Ida ; Wakil
Ketua DPD RI
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Januari 2014
AKHIRNYA Anas Urbaningrum (AU) mengisi ruang tahanan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah hampir setahun bebas berkeliaran dalam
status sebagai tersangka korupsi proyek pembangunan sport center Hambalang.
Kini tinggal menunggu proses hukum untuk memastikan apakah tuduhan kejahatan
korupsi terhadap dirinya terbukti atau tidak di pengadilan tipikor nanti.
Interaksi dengan
keluarga dan para konconya sudah akan sangat dibatasi oleh tembok rumah
tahanan KPK. Terlepas dari status hukumnya, AU harus diakui memiliki
kelebihan di antara figur-figur yang disangka koruptor lainnya-–kendati
sekaligus juga melahirkan keprihatinan. Mengapa? Pertama, AU merupakan figur
dengan derajat kepercayaan diri yang luar biasa. Meski sudah demikian banyak
yang menganggap atau mencurigainya sebagai bagian dari pelaku kejahatan
korupsi (seperti yang sering ‘dinyanyikan oleh Nazaruddin’ dan lainnya),
tetap saja ekspresinya tenang seolah-olah tidak ada masalah.
Karakter bicaranya pun
tidak berubah, tetap tenang dan teratur. Mungkin dia ingin menunjukkan
dirinya ‘bebas dari kecurigaan dan atau tuduhan korupsi’ itu. Barangkali saking
percaya dirinya yang demikian tinggi (highly
selfconfidence), AU sampai berjanji ‘mau
digantung di Monas jika terbukti korupsi Hambalang’ –-dan barangkali
karena itu pula lah, pada hari ia ditahan ada seorang yang secara sukarela mendatangi
KPK dengan membawa tali sebagai simbol peringatan atas janji mantan Ketua
Umum PB HMI itu.
Namun, dari sikap
percaya diri itu sebenarnya sekaligus ada upaya mengelabui publik, dan atau
seolah-olah menganggap publik bangsa ini bisa tertipu dengan cara bicara dan
tampilan (cool and calm performance).
Fenomena ini memang aneh sebab di balik sikap tenang itu terselubung gerakan
psikopolitik persuasif untuk mengarahkan opini dan persepsi para warga bangsa
yang baik-baik untuk lebih percaya pada AU ketimbang KPK yang memiliki
sejumlah saksi dan bukti hukum.
Padahal derajat kepercayaan
dan harapan publik KPK masih sangat tinggi.
Sementara itu kepercayaan terhadap
politisi, apalagi yang sudah dituduh korupsi, sudah berada di bawah titik
nol. Ini artinya, dan barangkali bisa jadi bagian penting dari ciri
politisi--figur kondang yang korup, ‘akan selalu bersikap provokatif dan
manipulatif dalam mempertahankan kejahatan kerah putih yang dilakukannya’.
Kedua, AU memiliki talenta politik yang sangat besar dan kuat.
Betapa tidak, dengan stak tusnya yang sudah tersangka korupsi, gerakan
penggalangan massanya masih terbukti manjur, dengan kelompok atau para konco
pengikut yang terlihat demikian fanatik. Selama menanti penahanannya oleh KPK
pun masih sempat mendirikan satu organisasi (Perhimpunan Pergerakan
Indonesia/PPI) dengan sejumlah aktivis yang begitu taat kepadanya, termasuk
melakukan advokasi pembelaan sosial politik untuk membangun pencitraan
terhadap AU.
Perlawanan politik
Mereka juga sesekali melontarkan `serangan terbuka terhadap
pihak Cikeas' yang dianggap sebagai bagian dari pelaku rekayasa yang
menjadikan posisi politik `sang bos' terhempas dari jabatan ketua umum PD,
termasuk di dalamnya status hukum sebagai tersangka proyek Hambalang.
Tepatnya, bagi kelompok pendukung fanatik itu, AU bak pahlawan yang dizalimi
dan harus dibela mati-matian, seraya melakukan perlawanan terhadap siapa pun
yang dianggap secara politik dan moral memerosotkannya hingga masuk tahanan
KPK sekarang ini.
Sosok AU, memang, bagi
sebagian aktivis dengan latar belakang HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) kerap
diidentikkan sebagai mewarisi karakter figur Akbar Tandjung dalam gaya
berpolitik, dan sedikit mengikut jejak almarhum Nurcholis Madjid dalam kaitan
dengan gerakan pemikirannya. Tidak banyak kader yang sama seperti AU sehingga
itu pula barangkali banyak yang menggandrunginya, seraya melakukan pembelaan
mati-matian seperti sekarang ini.
Semua itu, pada
tingkat tertentu, bisa dianggap wajar-wajar saja. Namun, tidak jarang pula sikap fanatik
seperti berimplikasi negatif bagi generasi dan dalam kaitan dengan pemberian efek jera
terhadap para koruptor kakap. Bukankah terlalu mengada-ada jika menutup mata
dengan ‘harta milik AU’ yang tergolong melimpah jika dibandingkan dengan
sejarah sosial dalam perjalanan hidupnya? Bukankah hidup dan harta AU pada
saat jadi aktivis termasuk biasa-biasa saja, lalu tiba-tiba dalam kurun waktu
yang tak begitu lama tiba-tiba melonjak tajam? Bahwa semua itu seharusnya
dipertanyakan pula secara kritis oleh setiap aktivis generasional. Apalagi
mereka yang menikmati hidup di era reformasi, era ketika negara ini
diharapkan tidak lagi jatuh dalam pangkuan koruptor. Sebaliknya, setiap
aktivis mengambil peran untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dari
figur-figur kotor.
Andai saja AU tidak
korup, barangkali boleh boleh saja ia memiliki harta berlimpah. Namun, ketika
faktanya ia disangka melakukan kejahatan besar yang bernama korupsi,
seharusnya semua pihak harus turut terlibat dalam memberikan sanksi sosial sebagai
bagian dari upaya membantu menjadikan negeri ini bebas dari aktor-aktor
penyelenggara yang jahat nan kotor. Generasi reformasi seharusnya tak
bersikap permisif terhadap siapa pun yang tersangka korupsi, apalagi sampai
pada melakukan pembelaan secara terbuka. Jika sikap seperti itu diteruskan,
sama halnya dengan membangun gerakan antireformasi-sebuah sikap yang tidak
boleh dilakukan oleh siapa pun di negeri ini.
Pandangan
lain
Setidaknya, dalam
pandangan ini, masyarakat dan apalagi generasi muda harus mampu menghindar
dari upaya jebakan retorik seolah-olah bersih dan tidak bersalah dari seorang
koruptor. Menghindarkan diri dari menjadikan `figur-figur kotor' (apalagi
sudah berstatus sebagai tersangka korupsi) sebagai anutan. Karena, kalau yang
terjadi justru sebaliknya, seperti halnya fenomena yang muncul dari sebagian
aktor pendukung AU, sama halnya dengan terus mewariskan perilaku korup pada
generasi.
Fenomena AU dan para
pendukungnya seperti itu sebenarnya juga ditopang oleh tiga faktor utama.
Pertama, adanya rentang waktu lama dalam proses-proses hukum terhadap AU.
Pihak KPK sangat lamban dalam mengumpulkan bukti korupsi AU, padahal banyak
pihak yang terkait dengan proyek Hambalang sudah memberi sinyal dan atau
meneriakkan peran atau keterlibatannya. Antara penetapannya sebagai tersangka
dan penahanannya juga begitu, hampir setahun, sehingga AU dan jejaring (utamanya
kerabat dekatnya) memiliki kesempatan untuk mengembangkan pengaruh ke publik,
termasuk membangun kelompok yang fanatik.
Andai saja KPK cepat
bergerak, situasinya niscaya akan berubah. Hal ini sekaligus juga jadi
pelajaran bagi KPK, atau lembaga penegak hukum lainnya, dalam menangani kasus
para koruptor. Soalnya, dan ini harus disadari, koruptor kakap akan selalu
berupaya membangun pengaruh dalam masyarakat dengan memanfaatkan sebagian
dari materi yang dimilikinya (dari hasil kejahatan).
Kedua, pihak media
massa juga memiliki kontribusi dalam membangun pencitraan terhadap figur yang
tersangka korupsi. Selama ini, secara sengaja atau tidak, media massa terlalu
memberi ruang untuk mengangkat sosok, pemikiran, dan kegiatan figur-figur
tertentu baik yang sudah jadi tersangka maupun masih dalam posisi ‘dicurigai
oleh masyarakat luas’ sebagai cenderung korup. Dalam kasus AU, ‘keberpihakan
media’ sangat terasakan hingga kegiatan harian memasaknya pun pernah diliput
salah satu televisi.
Media coverage seperti itu menjadikan para simpatisan dan
pendukung kian bersemangat dalam melakukan gerakan pembelaan terhadap AU,
atau juga koruptor lainnya. Soalnya, media massa dianggap memiliki kontribusi
besar dalam membangun pencitraan terhadap figur tertentu. Apalagi dengan isu
penzaliman, ketika ada sebagian pihak pendukung yang memosisikan AU
‘dizalimi’. Pada tingkat tertentu media massa kurang berperan dalam memberi
efek jera terhadap para koruptor. Hal ini, bagi saya, merupakan bagian yang
harus dievaluasi di dapur pemberitaan media massa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar