Kamis, 16 Januari 2014

Prevensi Punahnya Negeri

Prevensi Punahnya Negeri

Bambang Satriya  ;  Guru Besar Stiekma;
Dosen luar biasa Universitas Ma Chung dan UIN Malang
MEDIA INDONESIA,  16 Januari 2014
                                                                                                                        


KOMUNITAS elite kita sedang disibukkan mengurus perburuan mencari kursi di 2014. Padahal ada ancaman serius yang potensial memorakporandakan perburuan itu jika petaka menyerang.

Ketika bencana alam menyerang sejumlah wilayah di daerah, terutama di ibu kota negara, yang beberapa di antara bencana ini bersifat eksplosif dan memorak-porandakan sektor-sektor strategis, maka terdapat kondisi destruksi ekologi dan sosial yang dimungkinkan menjadi gangguan serius terhadap jalannya suksesi.

Meski sedang dihadapkan dengan banyak problem eksklusif tersebut, selayaknya komunitas elite (pemimpin) negeri ini belajar ke tragedi Haiti tiga tahun lalu. Tragedi itu harus dijadikan ‘guru’ yang sedang memberi pelajaran pada dunia, termasuk Indonesia.

Haiti adalah negara kecil nan jauh, tapi menjadi terasa dekat di hati masyarakat global akibat pernah dirundung bencana alam yang memilukan. Ibu kotanya, Port-Au-Prince, diguncang gempa hingga 7 pada skala Richter dan 100 ribu lebih penduduknya kehilangan nyawa. Itu merupakan bencana terbesar dalam 200 tahun terakhir.

Yang terjadi di Haiti bisa terjadi di mana pun. Sudah semestinya kita selalu ingat akan kekuatan Sang Maha Pencipta. Bencana di Haiti menjadi gugatan moral atau kritik keras terhadap sepak terjang manusia di muka bumi. Segala bentuk bencana alam, selain memang ada campur tangan iradah-Nya, juga tidak lepas dari sepak terjang manusia yang telah berjasa besar melakukan kriminalisasi privasi, publik, moral, hingga ekologis.

Negara-negara barat atau bagian dari barat termasuk dikategorikan sebagai negara yang memang seharusnya dijadikan ‘guru’ oleh bangsa-bangsa di negara lain. Stigma kemajuan di lini budaya dan keadidayaannya di berbagai sektor strategis seperti teknologi komunikasi dan militer ternyata tidak otomatis menjadikannya adidaya saat dihadapkan pada berbagai bentuk bencana alam.

Beberapa tahun lalu pelajaran juga datang dari Amerika Serikat ketika badai Katrina menghempaskan Mississipi (25 Agustus 2005). AS harus menanggung kerugian sekitar US$80 miliar atau sekitar Rp800 triliun. Sebuah majalah berita mingguan yang terbit di Jakarta menyebut badai Katrina sebagai karma menyusul ulah tentara AS yang tidak senonoh dan barbarian baik di penjara Abu Ghraib, Irak, maupun di penjara Guantanamo, Kuba. Tentu, di samping kejahatan perang AS sewaktu menginvasi Irak.

Sudah tradisi

Di negara ini bencana alam berkelas spektakuler seperti tsunami sudah terjadi. Seharusnya hal ini menjadikan komunitas elite Indonesia harus lebih waspada. Bukan tidak mungkin bencana yang lebih dahsyat dan mengerikan akan terulang. Selain itu, tradisi bencana itu sudah ‘disejarahkan’ di negeri ini. Sejak 1988 sampai pertengahan 2003 tercatat terjadi 647 bencana alam yang meliputi banjir, longsor, gempa bumi, dan angin topan. Korban jiwa mencapai 2.022 dan kerugian material ratusan miliar rupiah. Jumlah tersebut belum termasuk bencana yang terjadi pertengahan 2003 sampai pertengahan 2004 yang mencapai ratusan bencana dan mengakibatkan hampir 1.000 korban jiwa.

Setelah pertengahan 2004 hingga sekarang, Indonesia seperti menjadi negeri yang ‘diharuskan’ bersahabat atau membiasakan diri menerima kunjungan bencana alam. Faktanya, sudah berkali-kali Allah SWT menjadikan bencana alam sebagai `rasul' (Sirozi, 2012) yang mengingatkan manusia negeri ini supaya merehabilitasi segala sepak terjang buruk dan kriminalnya. Akan tetapi, keinginan untuk mengonstruksi jalan kebenaran sebagai jalan penyelamatan dan pencerahan hidup bermasyarakat dan berbangsa belum maksimal dilakukan oleh masyarakat, khususnya komunitas elitenya. Komunitas elite inilah yang sejatinya mampu memprevensi kemungkinan punahnya negeri.

Relasi kausalitas antara dosa dan bencana sering disinggung dalam kisah nubuat (kenabian). Dalam Islam, misalnya, ada kisah tentang hancurnya Saba’, sebuah negeri makmur dengan kekayaan sumber daya alam dan ekonomi, berubah menjadi melarat karena dosa-dosa penduduknya, khususnya komunitas elitenya. Di samping itu ada kisah tenggelamnya manusia akibat mengingkari ajaran Nabi Nuh, atau hancurnya kaum Nabi Luth akibat perilakunya yang suka memproduk kekejian (amoralitas), kemungkaran, dan kezaliman.

Idealnya, dengan berkali-kali Tuhan mengirimkan ujian, hukuman, kritik, dan peringatan dalam bentuk gempa atau gunung meletus, seharusnya manusia dapat membacanya dengan kebeningan nurani. Dalam konteks makro ada dosa atau kejahatan besar yang sedang melekat dalam diri seseorang, masyarakat, dan bangsa ini sehingga Tuhan perlu mengingatkan. Tuhan tidak akan menjatuhkan hukuman tanpa sebab, kalau tidak karena Tuhan bermaksud menguji tingkat ketahanan iman, seperti yang dialami Nabi Yakub yang hartanya dimusnahkan hingga terkena penyakit yang membuatnya disingkirkan oleh masyarakat.

Kisah pendosa

Tentu saja kita lebih baik berasumsi bahwa kita bukan seperti Nabi Yakub yang bukan dari golongan pendosa. Akan tetapi, sepatutnya kita memosisikan diri di antara skenario iblis, yang dalam rumus politiknya telah menjadikan kita sebagai musuh (objek) abadi yang harus diseretnya dalam perbuatan angkara, dosa, maksiat, dan zalim. Dengan demikian, ketika dalam kehidupan kita ini akrab dengan bencana, identitas yang pantas disandang ialah ‘kita sedang atau telah lama menjadi pendosa’.

Iklim kehidupan masyarakat tidak akan sarat atau akrab dengan berbagai problem gangguan bencana, jika dalam kehidupannya lebih sarat penegakan nilai-nilai kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran. Selama nilai-nilai adiluhung itu tidak tampak sebagai cahaya terang yang menyinari kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan, sementara warna kehidupan berkabut kejahatan terus-menerus mendominasi dan menghegemoninya, maka ini pertanda kalau ‘banjir bandang’ kaum pendosa, terlebih dari kalangan elite yang ‘suka menikmati’ keadidayaan dosa-dosa privasi dan strukturalnya, akan potensial mempercepat kehancuran negeri ini.

Sungguh mengerikan ketika masyarakat dan negeri ini dibanjiri oleh pendosa elite. Pasalnya ini menjadi isyarat kuat yang bukan tidak mungkin akan mempercepat proses sejarah keberlanjutan hidup masyarakat berjuluk the biggest moeslem community in the world ini.

Bukan hanya dosa-dosa atau kejahatan kecil yang sedang dilakukan elemen bangsa ini. Kejahatan seperti pembalakan yang sudah mengorbankan jutaan hektare kawasan hutan, kemaksiatan budaya yang dibenarkan dan dijadikan alat pengatrol reputasi, dan berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan (korupsi) adalah timbunan dosa dan kejahatan yang menghegemoni atau ‘menjajah’ negeri ini. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Meratanya azab atau bencana adalah meratanya kejahatan manusia.”

Sabda itu menunjukkan bahwa manusia Indonesia lebih baik merefleksi bahwa beragam bencana yang pernah atau sedang menimpanya adalah cermin konkret dari kemenangan kejahatan dan dosa yang diperbuatnya. Manusia telah menjadi makhluk yang kalah, takluk, dan lebih rendah daripada binatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar