Prevensi
Punahnya Negeri
Bambang Satriya ; Guru
Besar Stiekma;
Dosen luar biasa Universitas Ma Chung dan UIN Malang
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Januari 2014
KOMUNITAS elite kita
sedang disibukkan mengurus perburuan mencari kursi di 2014. Padahal ada
ancaman serius yang potensial memorakporandakan perburuan itu jika petaka
menyerang.
Ketika bencana alam
menyerang sejumlah wilayah di daerah, terutama di ibu kota negara, yang
beberapa di antara bencana ini bersifat eksplosif dan memorak-porandakan
sektor-sektor strategis, maka terdapat kondisi destruksi ekologi dan sosial
yang dimungkinkan menjadi gangguan serius terhadap jalannya suksesi.
Meski sedang
dihadapkan dengan banyak problem eksklusif tersebut, selayaknya komunitas
elite (pemimpin) negeri ini belajar ke tragedi Haiti tiga tahun lalu. Tragedi
itu harus dijadikan ‘guru’ yang sedang memberi pelajaran pada dunia, termasuk
Indonesia.
Haiti adalah negara
kecil nan jauh, tapi menjadi terasa dekat di hati masyarakat global akibat
pernah dirundung bencana alam yang memilukan. Ibu kotanya, Port-Au-Prince,
diguncang gempa hingga 7 pada skala Richter dan 100 ribu lebih penduduknya
kehilangan nyawa. Itu merupakan bencana terbesar dalam 200 tahun terakhir.
Yang terjadi di Haiti
bisa terjadi di mana pun. Sudah semestinya kita selalu ingat akan kekuatan
Sang Maha Pencipta. Bencana di Haiti menjadi gugatan moral atau kritik keras
terhadap sepak terjang manusia di muka bumi. Segala bentuk bencana alam,
selain memang ada campur tangan iradah-Nya, juga tidak lepas dari sepak
terjang manusia yang telah berjasa besar melakukan kriminalisasi privasi,
publik, moral, hingga ekologis.
Negara-negara barat
atau bagian dari barat termasuk dikategorikan sebagai negara yang memang
seharusnya dijadikan ‘guru’ oleh bangsa-bangsa di negara lain. Stigma
kemajuan di lini budaya dan keadidayaannya di berbagai sektor strategis
seperti teknologi komunikasi dan militer ternyata tidak otomatis
menjadikannya adidaya saat dihadapkan pada berbagai bentuk bencana alam.
Beberapa tahun lalu
pelajaran juga datang dari Amerika Serikat ketika badai Katrina menghempaskan
Mississipi (25 Agustus 2005). AS harus menanggung kerugian sekitar US$80
miliar atau sekitar Rp800 triliun. Sebuah majalah berita mingguan yang terbit
di Jakarta menyebut badai Katrina sebagai karma menyusul ulah tentara AS yang
tidak senonoh dan barbarian baik di penjara Abu Ghraib, Irak, maupun di
penjara Guantanamo, Kuba. Tentu, di samping kejahatan perang AS sewaktu menginvasi
Irak.
Sudah tradisi
Di negara ini bencana alam berkelas
spektakuler seperti tsunami sudah terjadi. Seharusnya hal ini menjadikan
komunitas elite Indonesia harus lebih waspada. Bukan tidak mungkin bencana
yang lebih dahsyat dan mengerikan akan terulang. Selain itu, tradisi bencana
itu sudah ‘disejarahkan’ di negeri ini. Sejak 1988 sampai pertengahan 2003
tercatat terjadi 647 bencana alam yang meliputi banjir, longsor, gempa bumi,
dan angin topan. Korban jiwa mencapai 2.022 dan kerugian material ratusan
miliar rupiah. Jumlah tersebut belum termasuk bencana yang terjadi
pertengahan 2003 sampai pertengahan 2004 yang mencapai ratusan bencana dan
mengakibatkan hampir 1.000 korban jiwa.
Setelah pertengahan
2004 hingga sekarang, Indonesia seperti menjadi negeri yang ‘diharuskan’
bersahabat atau membiasakan diri menerima kunjungan bencana alam. Faktanya,
sudah berkali-kali Allah SWT menjadikan bencana alam sebagai `rasul' (Sirozi, 2012) yang mengingatkan
manusia negeri ini supaya merehabilitasi segala sepak terjang buruk dan
kriminalnya. Akan tetapi, keinginan untuk mengonstruksi jalan kebenaran
sebagai jalan penyelamatan dan pencerahan hidup bermasyarakat dan berbangsa
belum maksimal dilakukan oleh masyarakat, khususnya komunitas elitenya.
Komunitas elite inilah yang sejatinya mampu memprevensi kemungkinan punahnya
negeri.
Relasi kausalitas
antara dosa dan bencana sering disinggung dalam kisah nubuat (kenabian). Dalam
Islam, misalnya, ada kisah tentang hancurnya Saba’, sebuah negeri makmur
dengan kekayaan sumber daya alam dan ekonomi, berubah menjadi melarat karena
dosa-dosa penduduknya, khususnya komunitas elitenya. Di samping itu ada kisah
tenggelamnya manusia akibat mengingkari ajaran Nabi Nuh, atau hancurnya kaum
Nabi Luth akibat perilakunya yang suka memproduk kekejian (amoralitas),
kemungkaran, dan kezaliman.
Idealnya, dengan
berkali-kali Tuhan mengirimkan ujian, hukuman, kritik, dan peringatan dalam
bentuk gempa atau gunung meletus, seharusnya manusia dapat membacanya dengan
kebeningan nurani. Dalam konteks makro ada dosa atau kejahatan besar yang
sedang melekat dalam diri seseorang, masyarakat, dan bangsa ini sehingga
Tuhan perlu mengingatkan. Tuhan tidak akan menjatuhkan hukuman tanpa sebab,
kalau tidak karena Tuhan bermaksud menguji tingkat ketahanan iman, seperti
yang dialami Nabi Yakub yang hartanya dimusnahkan
hingga terkena penyakit yang membuatnya disingkirkan oleh masyarakat.
Kisah pendosa
Tentu saja kita lebih
baik berasumsi bahwa kita bukan seperti Nabi Yakub yang bukan dari golongan
pendosa. Akan tetapi, sepatutnya kita memosisikan diri di antara skenario
iblis, yang dalam rumus politiknya telah menjadikan kita sebagai musuh
(objek) abadi yang harus diseretnya dalam perbuatan angkara, dosa, maksiat,
dan zalim. Dengan demikian, ketika dalam kehidupan kita ini akrab dengan
bencana, identitas yang pantas disandang ialah ‘kita sedang atau telah lama
menjadi pendosa’.
Iklim kehidupan
masyarakat tidak akan sarat atau akrab dengan berbagai problem gangguan
bencana, jika dalam kehidupannya lebih sarat penegakan nilai-nilai kebenaran,
keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran. Selama nilai-nilai adiluhung itu tidak
tampak sebagai cahaya terang yang menyinari kehidupan kemasyarakatan dan
kenegaraan, sementara warna kehidupan berkabut kejahatan terus-menerus mendominasi
dan menghegemoninya, maka ini pertanda kalau ‘banjir bandang’ kaum pendosa,
terlebih dari kalangan elite yang ‘suka menikmati’ keadidayaan dosa-dosa
privasi dan strukturalnya, akan potensial mempercepat kehancuran negeri ini.
Sungguh mengerikan ketika
masyarakat dan negeri ini dibanjiri oleh pendosa elite. Pasalnya ini menjadi
isyarat kuat yang bukan tidak mungkin akan mempercepat proses sejarah
keberlanjutan hidup masyarakat berjuluk the
biggest moeslem community in the world ini.
Bukan hanya dosa-dosa
atau kejahatan kecil yang sedang dilakukan elemen bangsa ini. Kejahatan
seperti pembalakan yang sudah mengorbankan jutaan hektare kawasan hutan,
kemaksiatan budaya yang dibenarkan dan dijadikan alat pengatrol reputasi, dan
berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan (korupsi) adalah timbunan dosa dan
kejahatan yang menghegemoni atau ‘menjajah’ negeri ini. Nabi Muhammad SAW
bersabda, “Meratanya azab atau bencana
adalah meratanya kejahatan manusia.”
Sabda itu menunjukkan
bahwa manusia Indonesia lebih baik merefleksi bahwa beragam bencana yang
pernah atau sedang menimpanya adalah cermin konkret dari kemenangan kejahatan
dan dosa yang diperbuatnya. Manusia telah menjadi makhluk yang kalah, takluk,
dan lebih rendah daripada binatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar