Mengakhiri
Tradisi Banjir
Lita Lestianti ; Master of Urban and Regional Planning Double Degree Program Undip
Semarang dan Université Paris Ouest Nanterre La Défense, Paris
|
JAWA
POS, 16 Januari 2014
Di negara berkembang
seperti Indonesia, memang wajar pembangunan sangat berfokus pada pengembangan
ekonomi. Sayangnya, hal itu tidak diimbangi kepedulian terhadap kondisi
lingkungan. Berbeda dengan negara maju, kondisi ekonomi yang lebih baik
memungkinkan mereka untuk peduli terhadap lingkungan. Bangunan-bangunan besar
berkembang pesat di kawasan perkotaan. Meski begitu, ruang terbuka hijau
tetap tersedia sebagai penyeimbang kehidupan perkotaan.
Di negara kita, kepedulian terhadap lingkungan menjadi tinggi ketika dampak terabaikannya lingkungan sudah berada di depan mata. Ketika sawah-sawah di pinggiran kota, sempadan sungai, ruang terbuka hijau, atau lahan resapan lain disulap menjadi kegiatan yang bernilai ekonomis tinggi seperti industri, perumahan, mal, dan lainnya, terjadi degradasi lingkungan sehingga mengakibatkan banjir besar. Salah satu dampak terabaikannya eksistensi lingkungan adalah banjir. Tidak ada seorang pun yang mengharapkan datangnya banjir seperti yang terjadi di Jakarta. Tetapi, musibah tersebut seolah-olah berubah menjadi sebuah ''tradisi''. Hal yang biasa terjadi setiap tahun tanpa pernah ada penyelesaian yang signifikan, walaupun mustahil dalam waktu setahun banjir Jakarta bisa teratasi tanpa solusi yang tegas. ''Dulu juga banjir'' bukan alasan yang tepat untuk menenangkan hati atas musibah yang terjadi sebagai hal yang normal dan yang tidak perlu disedihkan jika tidak bisa menyelesaikannya. Problematika banjir di Jakarta saat ini dan pada zaman Belanda dulu bukanlah hal yang bisa dibanding-bandingkan. Ya benar bahwa Jakarta banjir sejak zaman dulu. Tetapi, ada hal yang tidak sama antara dulu dan sekarang. Yakni, sebab-sebab banjir tersebut. Pada zaman dulu, kondisi Jakarta jauh berbeda dengan saat ini karena lahan resapan air jauh lebih besar jika dibanding lahan terbangun. Bandingkan dengan kondisi sekarang yang bertolak belakang, lahan terbangun lebih besar daripada lahan resapan. Tetapi, kenapa dulu juga banjir? Kondisi geografis, hidrologis, dan fisik lahanlah yang memengaruhi banjir pada zaman dulu. Intensitas banjir pun hanya terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama. Pada zaman sekarang, banjir terus terjadi setiap tahun di ibu kota negara kita. Penyebab banjir pada zaman sekarang dengan zaman Belanda tidak bisa disamakan. Penyebab banjir saat ini justru lebih kompleks. Bukan hanya kondisi geografis, hidrologis, dan fisik lahan, aspek sosial seperti perilaku masyarakat juga menambah beban lingkungan sehingga banjir semakin sering terjadi. Saat ini banjir terjadi karena masyarakat membuang sampah ke badan sungai. Kita memang bisa menyalahkan masyarakat yang tidak memiliki kesadaran untuk membuang sampah. Tetapi, jika fasilitas tempat sampah tidak tersedia dan petugas pembuang sampah tidak menjangkau rumah mereka, pantaslah masyarakat memilih membuang sampah di badan sungai. Tidak seperti zaman dulu yang masih banyak ruang terbuka hijau (RTH), saat ini RTH semakin berkurang. RTH-lah yang menjadi korban ketika pertumbuhan penduduk semakin meningkat sehingga berubah menjadi lahan tempat tinggal. Begitu juga, banyak sempadan sungai sebagai lahan resapan yang bertransformasi menjadi lahan terbangun. Pemerintah saat ini bersibuk ria mengatasi masalah banjir dengan pembangunan drainase, lahan resapan, serta sistem polder. Alangkah lebih baik jika euforia pembangunan tersebut diikuti pemeliharaan yang baik. Percuma jika euforia hanya terlihat sekarang, sedangkan pemeliharaannya terhenti pada masa mendatang sehingga banjir tetap akan menggenangi Jakarta. Saat ini inovasi teknologi seperti rekayasa cuaca menjadi salah satu solusi untuk mengurangi curah hujan. Pelaksanaannya setelah banjir menjadi terlambat karena seharusnya dilakukan pada awal musim hujan. Memang, biaya investasi teknologi mengatasi banjir itu cukup besar. Tetapi, biaya tersebut masih lebih kecil jika dibandingkan dengan biaya yang ditanggung karena banjir setiap tahun. Sebagai upaya pencegahan banjir, pemerintah telah menyusun perda larangan membuang sampah. Seolah-olah, peraturan tersebut hanyalah sebuah tulisan yang tidak bermakna. Banyaknya bangunan di sempadan sungai sangat berpengaruh terhadap fungsi ekologis. Tetapi, manfaat kondisi tersebut kurang dihiraukan. Pemerintah bertanggung jawab atas musibah banjir di Jakarta. Program pemerintah untuk mengatasi banjir tidak akan berjalan tanpa dukungan masyarakat. Dukungan tersebut harus diwujudkan dalam sikap mereka dengan menerima keputusan pemerintah untuk kepentingan bersama agar terhindar dari banjir. Masyarakat yang sadar dan taat hukum akan sangat memudahkan pemerintah dalam menjalankan program. Semua tahu, para pejabat Pemprov DKI Jakarta saat ini tidak hanya duduk-duduk santai di kursi jabatan mereka, tetapi juga terjun langsung dan benar-benar berusaha keras menyelesaikan permasalahan di wilayah tersebut. Komitmen yang tinggi, ketegasan pemerintah, dan yang terpenting dukungan masyarakat diharapkan bisa menuntaskan tradisi banjir yang terjadi setiap tahun. Semua kebijakan membutuhkan waktu untuk melihat efek program yang dijalankan. Jika kata-kata ''Jakarta banjir sejak zaman Belanda'' memberikan pesimisme dalam mengatasi masalah banjir, setidaknya banjir tidak menjadi tradisi setiap tahun. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar