Kamis, 04 Juli 2013

Praktik Tata Kelola Jalan di Tempat

Praktik Tata Kelola Jalan di Tempat
Wiwik Utami ;   Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana
MEDIA INDONESIA, 03 Juli 2013

RESESI ekonomi pada 1997-1998 telah melahirkan reformasi pemerintahan dan juga tuntutan untuk melakukan tata kelola yang baik (good governance) demi pembangunan bangsa. Kebijakan pemerintah untuk menerapkan tata kelola yang baik merupakan hasil negosiasi antara pemerintah dan berbagai institusi donor internasional seperti IMF, World Bank, dan Asian Development Bank (ADB). Sebagai bentuk implementasi kebijakan tersebut, pemerintah melalui keputusan Menko Perekonomian pada 19 Agustus 1999 membentuk Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) atau National Committee on Corporate Governance (NCCG).

Komite ini bertugas mendorong dan memantau perkembangan tata kelola perusahaan di Indonesia. Melalui diskusi dengan berbagai pihak, komite tersebut berhasil merumuskan pedoman tata kelola Indonesia (Indonesian code), yang dipublikasikan pertama kali pada Maret 2001.

Secara umum, dapat dijelaskan bahwa tata kelola yang baik adalah mekanisme hubungan antarelemenelemen dalam masyarakat (bangsa) dalam rangka untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan Pancasila. World Bank memberikan definisi good governance sebagai penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab, yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, serta penghindaran kesalahan dalam alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi secara politik dan administratif.

Dengan mengacu pada pengertian tata kelola, terdapat tiga pilar yang membentuk citra tata kelola dari suatu negara, yaitu pilar korporasi (tata kelola perusahaan), pilar pemerintah (tata kelola publik) dan pilar masyarakat (tata kelola partai politik sebagai wakil rakyat). Tiap-tiap pilar harus kukuh sehingga mampu membangun Indonesia menjadi bangsa yang kuat, makmur, dan berbudi luhur.

Tata kelola perusahaan

Tata kelola perusahaan yang baik secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari proses dan struktur yang dikoordinasikan untuk mengarahkan pengambilan keputusan yang efektif, bersumber dari budaya perusahaan, etika, sistem nilai, kebijakan, dan struktur organisasi. Tujuannya untuk mendorong: (1) pertumbuhan kinerja perusahaan, (2) pengelolaan sumber daya dan risiko secara lebih efisien dan efektif, dan (3) ditaatinya prinsip tata kelola yang meliputi transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan keadilan.

Masyarakat transparansi Indonesia punya komitmen untuk mendorong terciptanya dunia d usaha Indonesia yang tepercaya, etis, dan bermartabat. Oleh karena itu, pada 2 Juni 2000 dibentuk organisasi nirlaba yang diberi nama The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG). Organisasi ini bertujuan untuk mendorong praktik tata kelola yang baik di Indonesia dan membantu perusahaan dalam menerapkan tata kelola. Wujud dari produk IICG adalah publikasi hasil riset tentang kajian praktik tata kelola perusahaan di Indonesia.

Untuk melihat sejauh mana masyarakat bisnis Indonesia mempunyai komitmen untuk mengimplementasikan tata kelola perusahaan yang baik, dapat dilihat dari banyaknya perusahaan yang bersedia untuk dinilai praktik tata kelola mereka oleh IICG.

Pada awal dilakukan survei pada 2001 terdapat 52 perusahaan. Namun, jumlah partisipasi tahun-tahun berikutnya justru semakin turun. Sebutlah untuk 2011, total hanya 40 perusahaan yang bersedia dinilai (25 perusahaan go public dan 15 non-go public).

Jumlah perusahaan go public (emiten) yang bersedia dinilai implementasi tata kelolanya juga sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah emiten di Bursa Efek Indonesia yang mencapai kisaran 420 emiten. Beberapa BUMN dan BUMD nonemiten menun jukkan jumlah partisipasi yang relatif sedikit.

Banyaknya perusahaan go public yang menolak untuk dinilai IICG menunjukkan bahwa korporasi merasa belum mampu (belum siap) untuk menerapkan tata kelola yang baik. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Sebab sudah 10 tahun lebih program tata kelola didengungkan sebagai gerakan nasional, tetapi dunia bisnis justru tidak menunjukkan kemauan kuat untuk mengimplementasikan tata kelola dengan baik.

Menurut survei yang dilakukan Kaufmann, Kraay, dan Mastruzzi (2010), yang melakukan riset proyek Bank Dunia tentang implementasi tata kelola di Indonesia setiap tahun dari 1996-2009 menyimpulkan bahwa skor yang diperoleh Indonesia termasuk dalam kategori buruk (termasuk 25% negara terburuk) untuk seluruh indicator governance, yaitu meliputi indikator: 1) voice and accountability; 2) government effectiveness, 3) rule of law, 4) political stability and abssence of violence, 5) regulatory quality, dan 6) control of corruption. Hasil survei ini sejalan dengan komitmen perusahaan yang sangat rendah dalam mengimplementasikan tata kelola yang baik.

Tata kelola publik

Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance di Indonesia menerbitkan Pedoman Umum Good Public Governance (GPG) pada 2008 yang bertujuan meningkatkan daya saing dan mendorong laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. GPG merupakan sistem atau aturan perilaku yang terkait dengan penge lolaan wewenang oleh para penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya secara bertanggung jawab dan akuntabel.

UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU Pemerik saan Keuangan Ne gara, PP 8 Tahun 2006 tentang pelaporan LK Pemerintahan dan La poran Kinerja Peme rintahan, PP 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintahan, dan PP 71 tentang Standar Akuntansi Pemerintah merupakan regulasi-regulasi yang diter bitkan dalam rangka mene gakkan GPG.

GPG wajib dilaksanakan para penyelenggara negara di setiap lembaga negara, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, dan bahkan juga di lembaga-lembaga nonstruktural. Untuk menciptakan sistem birokrasi yang baik, pemerintah telah mengambil langkah-langkah agar tata kelola diterapkan di lingkungan pemerintahan khususnya dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Upaya pemerintah tersebut diharapkan dapat memperoleh hasil maksimal sesuai dengan yang diinginkan. Namun, kenyataannya sungguh memprihatinkan, berdasarkan hasil riset Transparency International yang dilakukan dari 2001-2010 menyimpulkan posisi Indonesia dalam satu dasawarsa tidak ada perubahan, yaitu tetap tergolong negara korup.

Indonesia dipandang sebagai negara dengan risiko tinggi dan tingkat korupsi tinggi karena indeks persepsi korupsi masih di bawah tiga (skala indeks 0-10). Semakin tinggi indeks persepsi semakin baik tata kelolanya. Kondisi ini merupakan bukti bahwa pemerintah belum berhasil memberantas korupsi.

Untuk mencapai Indonesia yang makmur dan sejahtera, dibutuhkan kerja keras semua pihak. Pemerintah dan dunia usaha adalah dua sisi mata uang yang mampu menggerakkan perekonomian bangsa. Implementasi GPG akan membawa pad pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Efek selanjutnya akan tercipta iklim dunia usaha yang kondusif sehingga perusahaan dapat beroperasi dengan efi sien dan tumbuh berkelanjutan berlandaskan pada praktik tata kelola perusahaan yang baik.

Beberapa faktor yang merupakan bagian permasalahan yang perlu diperbaiki agar pemerintah dan dunia bisnis tumbuh dengan tata kelola yang baik adalah: 1) etika bisnis yang rendah, 2) perlindungan investor lemah, 3) independensi komisaris rendah, 4) penegakan hukum lemah, dan 5) transparansi rendah.

Sejumlah tantangan itulah yang harus dibenahi agar tercapai tata kelola yang baik sekaligus menjadi akar budaya.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar