|
KOMPAS,
01 Juli 2013
Hari Bhayangkara 2013 agak berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya. Bedanya, terjadi pergeseran di pucuk pimpinan Polri. Wakil Kepala
Polri Komjen Nanan Soekarna memasuki masa pensiun. Pada saat yang sama, merebak
isu akan adanya pergantian Kapolri Jenderal Timur Pradopo meski masa pensiunnya
masih tujuh bulan lagi.
Dalam situs
www.setkab.go.id Maret 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan,
Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono dan Timur Pradopo akan diganti pada
Agustus atau September 2013. Panglima TNI diganti karena faktor usia, sementara
untuk Kapolri diperlukan figur baru yang cakap dan bisa menjalankan tugas.
Tidak hanya mengamankan Pemilu 2014, tetapi juga mengatasi berbagai gangguan
keamanan.
Ada dua
fenomena yang patut dicermati di balik pernyataan Presiden. Pertama, ini
pertama kali seorang presiden memaparkan akan adanya pergantian Kapolri,
padahal pelaksanaan pergantian masih 3-4 bulan lagi. Dengan demikian, selama
tenggang waktu itu Kapolri yang akan diganti bisa kehilangan wibawa di mata
bawahannya. Manuver dan intrik di internal, terutama di kalangan elite, bakal
berkecamuk mengganggu kinerja kepolisian di sepanjang tenggang waktu pergantian
yang begitu panjang.
Kedua, ini
pertama kali seorang presiden secara terbuka memaparkan pergantian pimpinan
Polri dikaitkan dengan kecakapan dalam mengatasi gangguan keamanan. Apa yang
disampaikan presiden tentu tak terlepas dari situasi politik yang memanas
menjelang Pemilu dan Pilpres 2014.
Apa yang
dipaparkan Presiden merupakan gambaran sebuah kegalauan. Apalagi sepanjang 2012
ada 154 orang tewas dan 217 luka dalam sejumlah kerusuhan di Indonesia. Selain
itu, ada 85 kantor polisi yang dirusak dan dibakar massa. Bagaimana Polri bisa
mengamankan masyarakat jika mengamankan kantornya saja tak mampu.
Pemimpin
seperti apa yang dibutuhkan Polri? Yang bersih seperti Jenderal Hoegeng, yang
berwawasan luas seperti Jenderal Awaludin Djamin, atau yang berani seperti
Jenderal Dibyo Widodo? Perpaduan ketiganya dalam satu figur tentu mustahil.
Apalagi untuk mendapatkan figur ideal di Polri bukan perkara mudah. Tak gampang
mendapatkan perwira dengan integritas, kapabilitas, dan sifat kepemimpinan
seperti diharapkan banyak pihak, terutama di tengah gaya hidup hedonis yang
berkembang luas di internal kepolisian.
Masyarakat
selalu mengharapkan pemimpin Polri yang terpilih senantiasa berorientasi pada
kesetaraan, kesamaan hak, tak arogan, tak diskriminatif, tak represif, dan
profesional. Dengan begitu, akan lebih mudah bagi Polri membentuk, melahirkan,
dan mengawasi polisi-polisi di jajaran bawah, yang belakangan ini kerap berbenturan
dengan masyarakat. Juga akan lebih mudah bagi Polri melahirkan polisi-polisi
berintegritas, profesional, tak arogan, tak diskriminatif, dan tak represif.
Bagaimanapun,
nilai-nilai kebajikan pemimpin itu akan mengalir ke bawah. Sikap simpatik yang
ditunjukkan pimpinan Polri dan jajaran kepolisian akan mampu membuat masyarakat
ikut berpartisipasi menjaga situasi kamtibmas. Sebaliknya, sikap arogan dan
represif akan membuat masyarakat antipati, minimal apatis.
Para pakar
kepolisian sudah sering melakukan analisis dan kajian untuk mencari format
ideal kepemimpinan kepolisian di Indonesia, sebagai negara demokrasi baru
setelah 32 tahun rezim Orde Baru di mana Polri berada di bawah militer.
Intinya, kepemimpinan yang dibutuhkan oleh Polri adalah figur yang senantiasa
membawa inspirasi bagi perubahan.
Keterampilan memimpin
Dalam sebuah
organisasi, termasuk Polri, keberhasilan ataupun kegagalan dalam mencapai
tujuan sangat bergantung pada pemimpinnya. Kepemimpinan memegang peranan yang
signifikan untuk mewujudkan tujuan organisasi kepolisian.
Kecakapan
pemimpin dengan segala potensi yang terkandung di dalamnya sangat diperlukan
guna menggerakkan anggota demi tercapainya tujuan bersama yang telah
ditetapkan, yakni tampilnya Polri yang profesional.
Sebagai organisasi
besar, dengan anggota lebih dari 400.000 orang dan tersebar di 33 provinsi,
bukanlah perkara gampang menanganinya. Keterampilan memimpin untuk mengarahkan
Polri sesuai harapan masyarakat penting untuk tercapainya efektivitas
kepemimpinan. Seorang pemimpin kepolisian harus mampu memacu diri guna
meningkatkan potensi kepemimpinan secara berkesinambungan agar bisa menjadi
figur teladan. Siapa pun tak menginginkan kepemimpinan di kepolisian ada,
tetapi seperti tiada. Anak buah berlaku semaunya dan tindakannya jauh dari
profesional dan nilai-nilai Tribharata.
Perlu
kepemimpinan yang kuat, tegas, dan berwibawa. Selain itu, dia juga harus
bersikap terpuji, bisa jadi teladan, mengarahkan, inovatif, visioner, dan
memiliki intelegensia tinggi. Apakah figur seperti itu ada di Polri? Jika pun
tak ada, dinamika yang mengarah ke sana harus ditata dan dibangun.
Pengawasan internal
Tolok ukur
keberhasilan reformasi Polri yakni sejauh mana Polri mampu dan berhasil
membangun serta memaksimalkan pengawasan internalnya. Jika pengawasan internal
tidak berjalan, artinya Polri memang tidak mau berubah. Jika Polri tidak mau
berubah, reformasi Polri yang sudah berjalan 14 tahun bisa dikatakan gagal
total.
Keberhasilan
reformasi Polri juga bisa dinilai dari keseriusan mendidik kader-kader jajaran
bawahnya. Di era Orde Baru, calon polisi dididik 11 bulan di Sekolah Polisi
Negara (SPN). Setelah reformasi Polri, mereka hanya dididik 3-5 bulan di SPN.
Dengan waktu sesingkat ini tentu tidak akan bisa diperoleh kader-kader Polri
yang siap menjadi polisi.
Tak heran jika
dalam lima tahun terakhir ini benturan antara polisi dan masyarakat terus
merebak. Tugas utama kapolri baru ke depan adalah memaksimalkan pengawasan
internal, membenahi sistem pendidikan jajaran bawah Polri, dan tampil menjadi
teladan bagi jajarannya serta masyarakat.
Dirgahayu Polri! Selamat datang kapolri
baru! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar