|
JAWA
POS, 22 Juli 2013
SAYA bertanya-tanya
mengapa Jawa Pos (19/7) menonjolkan berita Sefti
Sanustika (istri tahanan Ahmad Fathanah) meminta bilik asmara di Rutan KPK?
Apakah karena kasus Fathanah ini spektakuler dan dikaitkan dengan banyak wanita
cantik? Atau karena permohonan Sefti ini "nyeleneh"? Sebab, pemohon
bukan tahanan, tetapi istri tahanan, di bulan puasa pula.
Tetapi, ini memang soal serius. Permintaan Sefti ini 20 tahun lalu diwacanakan oleh Menteri Kehakiman Ali Said, tetapi tak ada kelanjutannya. Topik yang diwacanakan Sefti dan Ali Said ini dalam terminologi pemasyarakatan disebut conjugal visit (CV). Artinya, lapas menyediakan "cottage" untuk napi pria dengan persyaratan tertentu sehingga bisa berhubungan seksual dengan istrinya.
Ciri pemenjaraan adalah adanya penderitaan yang diberikan oleh negara melalui proses peradilan pidana. Ada anekdot di lapas, "Jika orang bilang penjara itu enak, maka itu orang gila. Tetapi, jika orang bilang penjara itu tidak enak, maka itu orang akan gila." Jadi, enak maupun tidak enak di penjara itu dekat dengan kegilaan.
Pakar Gresham M. Sykes menyatakan, orang yang dipenjara itu mengalami penderitaan karena kehilangan beberapa hak. Pertama, kehilangan kebebasan bergerak (deprevation of liberty). Kedua, kehilangan untuk memiliki barang pribadi dan pelayanan pribadi (deprevation of goods and services). Ketiga, kehilangan hak untuk mengatur diri (deprevation of autonomy). Keempat, kehilangan rasa aman (deprevation of security). Kelima, kehilangan hak untuk berhubungan seksual dengan lawan jenis (deprevation of heterosexual relationship) .
Bagi kriminolog Ronny Nitibaskara, kehilangan hak berhubungan seksual dengan lawan jenis ini merupakan derita yang paling berat. Untuk mengatasinya, biasanya dilakukan inovasi yang terkadang menyimpang, seperti menggunakan binatang sebagai alat pemuas (angsa, itik, ayam). Inovasi ini juga bisa melalui homoseksualitas, lesbian, atau setidaknya masturbasi. Memang, mengutip Ross dan Carleen Thompson, penjara bukanlah lingkungan yang normal (not normal environment).
Tetapi, memang ada negara yang menerapkan conjugal visit. Menurut Harkristuti Harkrisnowo, negara-negara itu adalah Austria, Brasil, Kanada, Denmark, Prancis, Thailand, Amerika Serikat (enam negara bagian), dan Arab Saudi. Kalau Arab Saudi mengadopsi kebijakan ini, dasarnya pendapat syariah Islam yang menggolongkan pemenuhan kebutuhan seksual termasuk kebutuhan primer (dharuriyyat), dalam konteks penghormatan kepada sakralisasi hukum perkawinan, penjaminan keturunan, dan pengharaman zina.
Yang pro, kata Alex Nefi, menyatakan conjugal visit membantu melestarikan hubungan suami istri, meringankan ketegangan seksual, mengurangi persetubuhan sesama jenis, merupakan insentif untuk berkelakuan baik, mengurangi pelarian, dan menormalkan keadaan. Tetapi, yang kontra justru menganggap conjugal visit merupakan diskriminasi terhadap napi yang belum kawin, mengubah hubungan heteroseksual jadi alat administratif, merupakan stimulasi untuk meningkatkan nafsu seksual yang jadi problem seksual baru, dan dibutuhkannya fasilitas khusus yang membebani lembaga.
Ada rujukan internasional untuk Standar Aturan Minimum Perlakuan Tahanan 1957. Sebagian besar substansinya sudah dimasukkan dalam UU Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan, namun tidak memasukkan conjugal visit sebagai salah satu hak narapidana. Yang ada selama ini aturan umum, yakni beberapa instrumen hukum internasional mengatur setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Lalu, apakah tidak adanya hak conjugal visit merupakan pelanggaran HAM? Terhadap soal ini, Kemenkumham perlu, pertama. membuat kajian akademik yang komprehensif yang melibatkan para akademisi, praktisi, politisi, dan pemangku kepentingan terkait dengan kelayakan pelaksanaannya dengan mengedepankan HAM dan rasa keadilan masyarakat. Sebab, lapas itu adalah pelembagaan reaksi masyarakat terhadap pelaku kejahatan.
Kedua, bila conjugal visit diperbolehkan, detail soal tata cara pemberiannya dan mekanisme pengawasan serta substansi pokok lainnya harus dimuat dalam produk legislasi (revisi UU pemasyarakatan ) dan jangan dalam produk regulasi yang lebih rendah daripada UU. Ketiga, upayakan menekan kelebihan daya tampung (over crowding). Sebab, sulit mengimplementasikan conjugal visit di tengah over crowding.
Sangatlah bijaksana jika ditempuh upaya crash program yang menghemat uang negara seperti optimalisasi pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, cuti bersyarat, dan remisi. Menekan over crowdingdengan membangun lapas baru sangat membebankan keuangan negara. Bila untuk satu orang napi diperkirakan Rp 90 juta, maka untuk mengurangi kelebihan daya tampung 60.000 napi diperlukan Rp 5,4 triliun!
Keempat, menekan over crowding dengan mengharmoniskan RUU Pemasyarakatan dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tujuannya, tindak pidana yang tidak serius diupayakan diversi dengan pendekatan keadilan restoratif sehingga dijauhkan dari sistem peradilan pidana dan pemenjaraan. Tentu dengan tetap mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. ●
Tetapi, ini memang soal serius. Permintaan Sefti ini 20 tahun lalu diwacanakan oleh Menteri Kehakiman Ali Said, tetapi tak ada kelanjutannya. Topik yang diwacanakan Sefti dan Ali Said ini dalam terminologi pemasyarakatan disebut conjugal visit (CV). Artinya, lapas menyediakan "cottage" untuk napi pria dengan persyaratan tertentu sehingga bisa berhubungan seksual dengan istrinya.
Ciri pemenjaraan adalah adanya penderitaan yang diberikan oleh negara melalui proses peradilan pidana. Ada anekdot di lapas, "Jika orang bilang penjara itu enak, maka itu orang gila. Tetapi, jika orang bilang penjara itu tidak enak, maka itu orang akan gila." Jadi, enak maupun tidak enak di penjara itu dekat dengan kegilaan.
Pakar Gresham M. Sykes menyatakan, orang yang dipenjara itu mengalami penderitaan karena kehilangan beberapa hak. Pertama, kehilangan kebebasan bergerak (deprevation of liberty). Kedua, kehilangan untuk memiliki barang pribadi dan pelayanan pribadi (deprevation of goods and services). Ketiga, kehilangan hak untuk mengatur diri (deprevation of autonomy). Keempat, kehilangan rasa aman (deprevation of security). Kelima, kehilangan hak untuk berhubungan seksual dengan lawan jenis (deprevation of heterosexual relationship) .
Bagi kriminolog Ronny Nitibaskara, kehilangan hak berhubungan seksual dengan lawan jenis ini merupakan derita yang paling berat. Untuk mengatasinya, biasanya dilakukan inovasi yang terkadang menyimpang, seperti menggunakan binatang sebagai alat pemuas (angsa, itik, ayam). Inovasi ini juga bisa melalui homoseksualitas, lesbian, atau setidaknya masturbasi. Memang, mengutip Ross dan Carleen Thompson, penjara bukanlah lingkungan yang normal (not normal environment).
Tetapi, memang ada negara yang menerapkan conjugal visit. Menurut Harkristuti Harkrisnowo, negara-negara itu adalah Austria, Brasil, Kanada, Denmark, Prancis, Thailand, Amerika Serikat (enam negara bagian), dan Arab Saudi. Kalau Arab Saudi mengadopsi kebijakan ini, dasarnya pendapat syariah Islam yang menggolongkan pemenuhan kebutuhan seksual termasuk kebutuhan primer (dharuriyyat), dalam konteks penghormatan kepada sakralisasi hukum perkawinan, penjaminan keturunan, dan pengharaman zina.
Yang pro, kata Alex Nefi, menyatakan conjugal visit membantu melestarikan hubungan suami istri, meringankan ketegangan seksual, mengurangi persetubuhan sesama jenis, merupakan insentif untuk berkelakuan baik, mengurangi pelarian, dan menormalkan keadaan. Tetapi, yang kontra justru menganggap conjugal visit merupakan diskriminasi terhadap napi yang belum kawin, mengubah hubungan heteroseksual jadi alat administratif, merupakan stimulasi untuk meningkatkan nafsu seksual yang jadi problem seksual baru, dan dibutuhkannya fasilitas khusus yang membebani lembaga.
Ada rujukan internasional untuk Standar Aturan Minimum Perlakuan Tahanan 1957. Sebagian besar substansinya sudah dimasukkan dalam UU Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan, namun tidak memasukkan conjugal visit sebagai salah satu hak narapidana. Yang ada selama ini aturan umum, yakni beberapa instrumen hukum internasional mengatur setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Lalu, apakah tidak adanya hak conjugal visit merupakan pelanggaran HAM? Terhadap soal ini, Kemenkumham perlu, pertama. membuat kajian akademik yang komprehensif yang melibatkan para akademisi, praktisi, politisi, dan pemangku kepentingan terkait dengan kelayakan pelaksanaannya dengan mengedepankan HAM dan rasa keadilan masyarakat. Sebab, lapas itu adalah pelembagaan reaksi masyarakat terhadap pelaku kejahatan.
Kedua, bila conjugal visit diperbolehkan, detail soal tata cara pemberiannya dan mekanisme pengawasan serta substansi pokok lainnya harus dimuat dalam produk legislasi (revisi UU pemasyarakatan ) dan jangan dalam produk regulasi yang lebih rendah daripada UU. Ketiga, upayakan menekan kelebihan daya tampung (over crowding). Sebab, sulit mengimplementasikan conjugal visit di tengah over crowding.
Sangatlah bijaksana jika ditempuh upaya crash program yang menghemat uang negara seperti optimalisasi pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, cuti bersyarat, dan remisi. Menekan over crowdingdengan membangun lapas baru sangat membebankan keuangan negara. Bila untuk satu orang napi diperkirakan Rp 90 juta, maka untuk mengurangi kelebihan daya tampung 60.000 napi diperlukan Rp 5,4 triliun!
Keempat, menekan over crowding dengan mengharmoniskan RUU Pemasyarakatan dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tujuannya, tindak pidana yang tidak serius diupayakan diversi dengan pendekatan keadilan restoratif sehingga dijauhkan dari sistem peradilan pidana dan pemenjaraan. Tentu dengan tetap mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar