Mentalitas
Mencari Celah
Mudji Sutrisno ; Guru Besar STF Driyarkara & UI, Budayawan
|
SINDO,
01 Desember 2012
Anda melihat jalan padat depan
Pasar Senen, di mana sudah dibuat jalan layang untuk menyeberang, tetapi
pejalan kakinya tetap saja tidak memakainya sehingga jalan semrawut? Anda
melihat betapa jalan layang penyeberangan sebenarnya merupakan cerminan
konsensus kita rela memakainya agar lalu lintas tidak macet.
Namun entah karena mentalitas kita adalah mentalitas menerobos tidak peduli aturan, entah karena kita tidak mau diatur lantaran mau seenaknya sendiri/sesudah dikekang semacam rezim Orde Baru, lalu anarki, sehingga kita kreatif secara kita sendiri dengan kebiasaan model mencari celahcelah di situasi kesempitan dan mencari celah-celah di antara pagar-pagar besi yang kita gergaji pipanya lalu kita menerobos celahnya untuk bisa menyeberangi jalan yang sudah disediakan. Mentalitas mencari celahcelah sebagai kreativitas dalam ruang sempit dan terpepet rupanya menyiratkan dua fenomena. Fenomena pertama, secara kebudayaan, kreativitas manusia yang keluar pada saat terjadi penghimpitan, penindasan, itu memiliki ciri sebagai outlet atau pelepasan gelegak yang terbendung butuh penyaluran keluar.Sayang bahwa itu berwatak negatif karena tidak ada ruang merdeka untuk membuatnya matang menjadi karya kreasi manusia. Ciri kedua, mengikuti ciri pertama, yaitu baru menggelegak keluar ketika disituasikan oleh kondisi penjara, kondisi penindasan sehingga dalam situasi normal merdeka tanpa kekangan reaksi mental dan budi tetap bersikap kreatif mencari celah-celah dan bukan kemerdekaan berkreasi untuk inovasi dan transformasi. Konsekuensi sikap mental seperti itu tecermin pada keheranan kita pada kreativitas pembuatan proyek-proyek dan anggaran fiktif untuk mencari celah-celah buat korupsi serta kreativitas mereka-reka laporan yang di atas kertas, format amat sempurna tetapi di baliknya terlipat-lipat celah-celah kebocoran-kebocoran yang masuk ke kantong sendiri atas nama dana perjalanan dinas, biaya transportasi telepon dan akomodasi dan lain-lain. Dari mana asal akar sikap mental demikian? Ilustrasi fakta-fakta di bawah ini akan menjelaskan alurnya. Ilustrasi pertama,aturan mengemudi di Jalan Sudirman Jakarta mulai pagi sampai pukul 10.00 pagi dengan sistem aturan lalu lintas 3 dalam 1 (three in one). Seharusnya sebuah aturan itu membuat hidup bersama/sosial menjadi lebih baik, lebih enak dalam berlalu lintas. Namun justru aturan three in one membuat pelaku yang patuh lalu membiasakan diri konflik nurani dan budi lalu menipu diri dengan melanggarnya karena realitas bermobil harus menyewa joki untuk dibayar agar selamat. Karena irasionalitas aturan ini (dalam hal: bagaimana akal sehat bisa mengiyakan bila fakta lapangan amat sulit mengumpulkan tiga orang di mobil yang sama), maka yang bernurani baik dan berbudi jernih demi moralitas patuh memutuskan untuk tidak lewat di Jalan Sudirman pada jamjam three in one, lalu memilih jalan lain memutar bila anggota semobil kurang dari tiga. Atau pilihan berikutnya demi mematuhi aturan, ambil saja joki yang dibayar meskipun nurani tiap kali bilang sebagai “nggak benar ini”. Inilah sisi irasional aturan ini. Untuk generasi muda, karena membiasakan diri dan dibiasakan diri mematuhi aturanaturan yang keliru tetapi benar kali ini (yang konfliktual di nurani ini) secara terus-menerus, maka melanggarnya terus menjadi hal biasa yang nurani pun dibiasakan padam dan redam sedangkan akal sehat dibiasakan menerima yang tak masuk akal sebagai masuk akal. Akibatnya campurlah kesadaran antara salah dan benar. Lalu cairlah kepekaan timbangan benar dan salah hingga yang benar dianggap salah dan yang salah dianggap benar; yang irasional dihayati masuk akal karena harus menjalani. Ketumpulan ini tercuat dan terungkap pada seenaknya saja yang salah dibuat dan yang bisa dikorupsi dicari-cari celahnya untuk diambil sama seperti mencari celah-celah aturan three in one untuk dikreatifkan secara negatif dan membawa konsekuensi bayaran mahal pada sikap mental menipu diri dengan celahcelah mencari joki. Gambaran kedua, bisa kita tunjuk langsung pada fenomena nyontek kita sejak kecil, sejak sekolah dasar (SD). Fenomena mencontek ini merupakan sikap mentalitas mau cepat hasilnya tanpa keringat kerja keras dengan memanfaatkan kreativitas mencari celah-celah kelengahan guru pengawas ujian atau ulangan di sekolah. Tidak hanya itu, kreativitas mencari celah-celah dalam mencontek menampilkan decak keheranan kita ketika kertas sontekan bisa dilipat kecil dan diselipkan di antara rok,celana atau selipan-selipan pakaian perempuan atau laki-laki. Bisa lebih membuat gelenggeleng kepala lagi manakala celah-celah sepatu, saat kencing keluar kelas, bahkan celah- celah anggota badan dikreatifkan untuk sebuah kerja yang mau korupsi sejak kecil lewat mencontek,yaitu mau hasil secepatnya tanpa keringat proses menjalani tekun hari ke hari belajar dan kerja keras hingga terbentuk etos kerja disiplin diri menghayati hidup sebagai proses dan bukan main jalan pintas dengan kreativitas mencari celah-celah yang negatif. Bila energi kreatif mencari celah-celah itu dipakai untuk proses menekuni dan berkreasi bagi peradaban bangsa lewat edukasi kognitif,efektif, religius, estetik, dan normatif, maka di sana sikap mental yang tumbuh akan lain sama sekali dari sikap mentalitas mencuri seperti tikus yang mengerat mencari celah-celah untuk dilobangi dan dimakan sendiri. Berdasar akal fenomena kultural ini, kambing hitam penjajahan kolonial yang membuat watak-watak dijadikan sumbernya. Apakah dengan menyadari dan membedah kambing hitam mental kuli ini solusi akan tertemukan? Paling tidak para pendiri bangsa seperti Hatta dan Sjahrir serta Tan Malaka sudah amat sadar bahwa peradaban merdekanya bangsa ini harus lewat pendidikan pemerdekaan dari mentalitas budak dengan jalan transformasi dari pikir irasional, takhayul ke arah berpikir realis dan nyata dengan aksi. Dari keterbelakangan siklus percaya nasib jelek terus menuju dinamika pikiran dan watak yang dialektis, yaitu mempertanyakan,menggugat, memperlawankan dengan analisis untuk mencari sintesis. Dan agar sintesis tidak berhenti, lalu memakainya lagi sebagai tesis. Begitu pula siklus tanpa pikir yang menggelegakkan emosi harus didisiplinkan dalam logika dan lewat pelatihan disiplin pikir dalam logika. Di situlah akal sehat dipadu dengan asahan nurani tajam sebuah gerombolan bangsa tanpa individu dan tanpa nama oleh Bung Karno, Agus Salim, Cokroaminoto ditunjukkan kemandirian beridentitas individu percaya diri lewat mandiri ekonomi dan mandiri sosial kultural dengan basis pendidikan kenegarawanan. Bagaimana religi yang majemuk di Tanah Air ini dengan religiositas, bagaimana kebijakan-kebijakan adat hidup yang ada di tradisi-tradisi secara oasis-oasis nilai benar, indah, dan baik mampu memberikan secercah dan sepercik sumbangannya hingga makin mengurangnya mentalitas celah-celah tikus ini? Semua itu menjadi tantangan peradaban yang bila tidak digarap serius dari sekarang pasti kehancuran watak bangsa di inti peradabannya akan menganga di tebing jurang kematian. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar