Jumat, 21 Desember 2012

Jangan Basa-Basi Kelola Energi


Jangan Basa-Basi Kelola Energi
Dewi Aryani ;   Anggota Komisi VII DPR RI FPDIP,
Ketua PP ISNU Bidang Pertambangan dan Lingkungan Hidup 
SINDO, 21 Desember 2012



“Negeri kita kaya, kaya, kaya-raya, Saudara-saudara. Berjiwa besarlah, ber-imagination. Gali! Bekerja! Gali! Bekerja! Kita adalah satu tanah air yang paling cantik di dunia.” (Kutipan Pidato Bung Karno di Semarang, 29 Juli 1956) Pertumbuhan ekonomi dan perkembangan zaman melahirkan sebuah konsekuensi logis: semakin meningkatnya permintaan terhadap energi. 
Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) mencatat bahwa kebutuhan energi final per sektor di Indonesia pada tahun 2012 dapat dilihat dari sektor industri yang membutuhkan sebesar 333,7 juta setara barel minyak (SBM), transportasi 324,1 juta SBM,rumah tangga 82,9 juta SBM, komersial 43,0 juta SBM, pertanian, konstruksi, dan pertambangan 35,9 juta SBM, dengan subtotal sejumlah 819,7 juta SBM. 

Lantas, bagaimanakah tata kelola energi Indonesia selama ini? Sudahkah mencapai titik realisasi,atau masih sekadar wacana basa-basi? Hingga kini tata kelola energi di Indonesia masih belum dapat dikatakan baik,apalagi disebut sempurna. Sungguh masih sangat jauh. Lihat saja kebijakan energi Indonesia yang tidak komprehensif. Berbagai undang-undang sektor energi sedang menjadi sorotan publik, dan beberapa di antaranya bahkan sedang dalam proses gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Belum lagi jika bicara kelembagaan, Dewan Energi Nasional (DEN) yang belum menghasilkan apa-apa setelah berdiri selama tiga tahun—sehingga berdampak pada belum kokohnya payung berbagai kebijakan energi—merupakan contoh nyata bahwa aktor-aktor pengelola energi Indonesia masih belum bekerja baik. Begitu banyak aspek kehidupan yang memiliki ketergantungan terhadap sistem energi.

Begitu banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam mengelola energi. Karenanya, menciptakan sebuah tata kelola energi yang baik bukanlah suatu hal yang mudah untuk dicapai. Namun, tata kelola hanya akan menjadi wacana basa basi jika tak ada langkah nyata untuk memulainya. Memasuki lembaran tahun 2013 setidaknya terdapat empat hal yang harus dimulai secara serius untuk menciptakan sebuah tata kelola energi yang nyata. 

Pertama, penelitian dan pengembangan secara menyeluruh terkait sumber energi terbarukan, termasuk pengembangan ”green vehicle”. Kedua, penelitian dilakukan dengan bekerja sama dengan universitas internasional dan lembaga energi dan lingkungan yang ada di Indonesia dan beberapa negara berpengalaman. Ketiga, melakukan proyek percontohan secara serius dan menghitung secara cermat berbagai dampaknya. Keempat,meninjau dan melakukan evaluasi kebijakan yang parsial dan asosiasikan segala kebijakan energi dengan beberapa unsur penting lain sebagai pengguna energi final. 

Di antaranya transportasi, industri, dan studi lain yang dapat menunjukkan kenyataan bahwa kita membutuhkan kebijakan yang terintegrasi untuk mengelola energi. Keempat langkah di atas adalah langkah umum yang dapat dilakukan.Namun, satu hal yang tak boleh dilupakan adalah kenyataan bahwa tata kelola energi menjadi “porsi besar” dalam tanggung jawab pemerintah. Sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi, energi termasuk ke dalam hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan dikuasai oleh negara. Pemerintah selaku penyelenggara negara jelas menjadi pihak yang sangat bertanggung jawab dalam tata kelola energi Indonesia. 

The Leading Sector 

Political will serta komitmen yang kuat dari pemerintah menjadi awal yang sangat menentukan bagaimana tata kelola energi Indonesia ke depan. Agar political will serta komitmen pemerintah yang menjadi hal “sakral” dalam pengelolaan energi Indonesia tidak terbatas hanya menjadi wacana belaka, Pemerintah Indonesia perlu melakukan enam hal nyata. 

Pertama, melakukan analisa terhadap isu-isu (global dan domestik) terkait energi yang sedang terjadi saat ini.Hal ini begitu penting dilakukan agar pemerintah dapat mempertimbangkan banyak aspek yang memiliki hubungan dengan energi dalam mengelola energi di masa depan.Pemerintah perlu membuat kebijakan yang kontekstual, sehingga kebijakan tersebut sesuai dengan kondisi energi Indonesia. 

Kedua,melakukan penelitian dan pengembangan. Minimnya data dan informasi yang akurat dalam pengelolaan berbagai sektor di Indonesia merupakan hal yang kerap terjadi, tidak terkecuali pada sektor energi.Bagaimana Indonesia dapat melaksanakan tata kelola energi jika tidak memiliki berbagai informasi yang mencerminkan keadaan energi yang sesungguhnya? Dengan demikian, pelaksanaan penelitian dan pengembangan, terutama di tengah maraknya kelahiran daerah otonom menjadi hal yang penting bagi tata kelola energi Indonesia, agar informasi yang diperoleh dapat lebih lengkap dan akurat. 

Ketiga, menetapkan anggaran profesional. Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pengelola energi, pemerintah harus membuat alokasi anggaran untuk energi yang tepat sasaran, bukan alokasi semrawut yang berujung pada masalah baru di pertengahan tahun anggaran. Anggaran profesional juga sangat terkait dengan cara pemerintah dalam mengembangkan strategi untuk memenuhi kebutuhan energi dari semua warga negara. Pemerintah harus cerdas dalam mengelola kebijakan subsidi energi. Subsidi energi tidak lagi menjadi alat pencitraan politik,melainkan instrumen untuk memenuhi hak warga negara untuk memperoleh energi. 

Keempat, mengembangkan roadmap yang dapat dilakukan serta kemudian dicapai. Kebijakan energi dibuat tidak boleh hanya menjadi sekadar formalitas. Kebijakan energi yang diturunkan dalam bentuk roadmap haruslah aplikatif di tataran praktis,bukan terbatas hanya informatif di level strategis. Roadmap energi Indonesia harus disertai indikator keberhasilan, program, dan rencana aksi yang dapat mengukur tingkat keberhasilan nyata tidak hanya pada tingkat kebijakan produksi, tetapi juga pada tingkat dampak kebijakan. 

Kelima, menjadikan energi sebagai ”the leading sector”. Penempatan energi sebagai main sector adalah langkah awal yang ideal bagi penyelamatan energi bangsa ini ke depan. Model energy driven policy adalah teori yang secara spesifik menggambarkan energi sebagai leading sector, yang menjadikan energi sebagai landasan utama dan strategis yang memberikan pengaruh mendasar bagi proses pembuatan kebijakan-kebijakan lain .Teori ini didasarkan pada esensi energi yang merupakan masa depan dunia sehingga harus ditempatkan sebagai sektor yang paling strategis (Aryani, 2012). 

Keenam, goodwill untuk melaksanakan kepentingan nasional. Sebaik apa pun rencana yang disusun berkaitan dengan tata kelola energi,semua hal tersebut tidak akan bekerja jika aktor—dalam hal ini pihak pemerintah—tidak memiliki goodwill dan political will dalam praktik tata kelola energi Indonesia. Goodwill harus didasarkan pada semangat untuk mengelola energi dan tidak terbatas pada kepentingan sesaat. Komitmen yang kuat untuk melaksanakan agenda kebijakan yang telah menjadi kesepakatan awal harus disadari dan dilaksanakan secara konsisten. 

Keenam langkah nyata di atas seharusnya tak sekadar menjadi rangkaian paragraf yang tertuang dalam tulisan pemikiran singkat ini.Tata kelola energi memang bukan perkara praktis, namun juga bukan suatu hal yang utopis jika pemerintah mau memulai dengan melakukan enam hal di atas.Kecantikan Indonesia akan kekayaan energi yang dimiliki adalah harta masa depan yang harus dijaga dan dikelola dengan sebaik- baiknya. 

Indonesia bukan hanya bicara tentang rakyatnya saat ini, melainkan juga generasi mendatang yang mampu bersaing dengan sengatnya globalisasi, dan energi adalah “bahan bakar” masa depan ibu pertiwi. Oleh karenanya, tata kelola energi harus segera menjadi realisasi, bukan sekadar mimpi, apalagi hanya wacana basa-basi. 










Tidak ada komentar:

Posting Komentar