Independensi
Lembaga Negara
Saan Mustopa ; Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat;
Mahasiswa
S-3 Ilmu Politik Universitas Indonesia
|
SINDO,
22 Desember 2012
Semangat perubahan ke arah yang lebih baik adalah salah satu
prinsip yang ada dalam semangat reformasi. Mengubah sebuah tatanan, baik
tatanan yang bersifat struktural maupun kultural, acap kali dihadapkan dengan
sebuah kenyataan betapa kerasnya dinding tembok itu menahan semangat
perubahan.
Dinding tembok yang terlalu keras mencerminkan betapa kerasnya suatu kondisi yang sudah nyaman (confort zone) dan cenderung status quo berusaha mempertahankan formasi dan budaya lama yang sudah usang untuk dipertahankan. Tapi perubahan tidak mungkin ditahan-tahan.Pengaruh globalisasi di level global yang memudahkan lancarnya lalu lintas informasi dan komunikasi telah membuat bola dunia bagaikan sebuah desa global (global village). Penetrasi informasi dan komunikasi serta kehendak perubahan menuju kehidupan yang lebih baik adalah menjadi harapan masyarakat kita saat ini.Lebihlebih dunia internet telah memperpendek jarak. Internet telah memengaruhi dan menjadi jembatan penghubung berbagai budaya dan peradaban. Hal demikian membuat standar hidup berubah dan budaya masyarakat pun ikut berubah. Jika saja publik atau masyarakat ingin berubah menjadi lebih baik kehidupannya dan hal itu adalah niscaya,rasanya tidak ada yang salah jika masyarakat pun menginginkan para pemimpinnya mempunyai semangat perubahan. Tentu saja semangat perubahan yang konseptual dan sistematis yang tidak hanya terjebak pada wilayah isu kontroversial dan berhenti di wilayah pencitraan, apalagi hanya sebatas mengakibatkan kegaduhan-kegaduhan tak tentu arah. Kegaduhan saling “menyerang” seperti kegaduhan di lingkup internal pimpinan MA, kegaduhan isu intervensi ke BPK, atau pro-kontra atas keputusan MK telah menguras habis energi positif bangsa ini. Alih-alih kita mengharapkan perubahan lembaga negara yang makin solid, independen, profesional,dan berwibawa,hal itu malah bisa menjadi kontraproduktif dan luntur wibawanya manakala keputusan dilanda konflik kepentingan. Menurut hemat penulis, semua kegaduhan yang terjadi pada institusi-institusi negara ini tidak lepas dari karakter personal dan ambigunya pengertian independensi dan kemandirian lembaga tinggi negara. Di satu sisi lembaga tinggi harus independen di dalam mengeluarkan berbagai keputusan dan penilaian.Akan tetapi di sisi lain lembaga ini acap kali “berwajah” politis dan subjektif manakala keputusan- keputusan pimpinan lembaga tinggi acap kali ada beberapa yang memang harus “bersinggungan” dengan kepentingan partai politik. Misal,soal bagaimana audit keuangan pemerintah daerah/ pusat yang dilakukan BPK di mana pimpinan BPK berasal dari partai politik. Bagaimana bisa dijelaskan ke publik secara rasional dan transparan bahwa dijamin tidak akan ada “pemihakan”yang subjektif di saat ada vested interest? Lalu soal lain tentang perselisihan dan konflik pilkada di mana penyelesaiannya akhirnya dibawa ke ranah hukum di Mahkamah Konstitusi (MK). Bagaimana menjelaskan ke publik secara rasional bahwa keputusan-keputusan dan pendapat yang muncul tidak lepas dari konflik kepentingan. Atau bahkan bagaimana bisa dihindari budaya ewuh pakewuh di antara para pihak, yaitu pimpinan lembaga tinggi negara MK dan para pihak yang bersengketa,ketika para pihak yang bersengketa justru berasal dari latar belakang partai yang sama dengan para pimpinan MK. Pemikiran ini,menurut hemat penulis, didasari kegelisahan apa mungkin kondisi demikian telah menciptakan peluang terjadinya intervensi keputusan.Apa mungkin agar kita mendapatkan soal kemandirian dan independensi keputusan- keputusan lembaga tinggi negara itu bisa terawat wibawanya kita rekrut pimpinan tinggi negara bukan dari unsur latar belakang partai politik? Kita merekrut para pimpinan tinggi negara berasal dari profesional murni saja. Seperti halnya khusus tentang penyelenggara pemilu KPU, yang mensyaratkan calon anggota KPU bukan berasal dari anggota partai politik. Hal demikian penulis ungkapkan lagi di tengah sikap masyarakat saat ini yang tampak apatis dan skeptis terhadap partai politik.Padahal kita berharap lembaga-lembaga tinggi negara dan pemerintahan bisa tetap solid, independen, dan berwibawa. Demikian pula kita harus terus mengawal dan menjaga independensi secara kelembagaan negara dengan cara mengkritisi setiap keputusan dan temuan-temuannya.Misalnya BPK sebagai lembaga tinggi negara sepantasnya dan seharusnya tidak mudah untuk “diatur-atur”atau diintervensi karena lembaga tersebut mempunyai kebebasan dan kemandirian yang bekerja secara profesional. Begitu juga dengan soal independensi lembaga MK. Saat ini pimpinan MK berasal atau ditentukan oleh tiga lembaga, yaitu 3 orang dipilih oleh DPR, 3 orang ditunjuk oleh Mahkamah Agung,dan 3 orang lainnya ditentukan oleh Presiden. Syarat menjadi pimpinan MK pada dasarnya normatif, yaitu sarjana hukum, mempunyai kualifikasi negarawan, menguasai konstitusi ditambah dengan syarat-syarat kualitatif lainnya. Barangkali ke depan seorang calon hakim di MK harus ditekankan seorang profesional yang tidak mempunyai ikatan batin dan ikatan organisasi partai politik. Dia benar-benar profesional dan independen dalam karier pekerjaannya. Syarat ini diperlukan karena mengingat setiap kasus atau permasalahan yang disidangkan di MK rata-rata di antaranya tidak lepas dari persoalan politik yang menyangkut telaah undang-undang, pemilu legislatif, dan tentang sengketa pilkada. Hal itu perlu kita pertimbangkan semata-mata agar sejauhmungkinkitamenghindari adanya kemungkinan intervensi yang bisa meruntuhkan wibawa hakim dan kemuliaan lembaga MK sebagai pengawal konstitusi yang benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat. Sejauh mungkin para hakim konstitusi “menjauhkan” intervensi godaan kekuasaan di luar MK agar tetap bisa menjaga harga diri, martabat, dan integritasnya sebagai seorang hakim konstitusi. Dalam suatu tulisan, Refly Harun pernah menyarankan ke DPR agar ke depan pemilihan hakim-hakim MK adalah dari orang yang sudah tidak lagi mau bermain dalam tataran politis-praktis atau berambisi untuk jadi presiden. Bahan baku seorang hakim konstitusi haruslah dari jenis manusia yang sudah beyond politik atau tidak lagi mau bermain pada tataran politik praktis. Barangkali inilah esensi pentingnya kita mengawal dan menjaga independensi dan kemandirian lembaga-lembaga tinggi negara dan institusi-institusi pemerintah dengan harapan masyarakat tidak skeptis dan memberikan dukungan terus terhadap upaya penegakan hukum yang adil. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar