Organisasi
Riset untuk Kelola Sumber Daya Perairan Darat Ignasius DA Sutapa ; Direktur Eksekutif APCE–UNESCO C2C; Wakil
Ketua Komite Nasional IHP Indonesia; Profesor Bidang Teknik Lingkungan LIPI |
KOMPAS, 13 Agustus 2021
Tidak
dapat dimungkiri sebagai negara kepulauan yang berada di wilayah
khatulistiwa, Indonesia memiliki nilai dan posisi strategis secara geografis,
geopolitik, ekonomis, dan sumber daya alam. Dengan jumlah pulau lebih dari
17.000 tersebar dari Sabang sampai Merauke, Indonesia menjadi negara dengan
panjang garis pantai terpanjang kedua di dunia sekitar 95.181 kilometer (KKP,
2019). Posisi
alami yang unik ini memungkinkan wilayah Nusantara berkelimpahan dengan
sumber daya alam hayati dan nirhayati baik di darat dan perairannya maupun di
laut. Perairan darat di bumi pertiwi ini sangat luas, yaitu sekitar 13.85
juta hektar yang terdiri atas sungai, rawa, paparan banjir, danau, situ,
ranu, dan bendungan (Kartamiharja dkk., 2009). Ekosistem
perairan darat mempunyai fungsi yang sangat penting secara ekologis,
ekonomis, dan sosial. Habitat perairan darat merupakan tempat hidup dan
berkembang biak berbagai jenis biota akuatik mulai dari yang berukuran kecil
seperti bakteri, plankton, benthos hingga yang berukuran besar seperti ikan,
udang, kepiting. Fungsi
ekonomis mencakup dukungan terhadap sektor air minum dan sanitasi, perikanan,
pertanian, kehutanan, energi, industri, transportasi, dan pariwisata.
Sementara itu, sektor pendidikan, olahraga, rekreasi, budaya, dan keagamaan
merupakan beberapa contoh kontribusi dari fungsi sosial perairan darat. Potensi
nilai ekonomi dari sumber daya perairan darat diperkirakan dapat mencapai
ratusan hingga ribuan triliun rupiah per tahun. Beberapa contoh di antaranya
penyediaan 100 persen akses air minum aman memerlukan anggaran sebesar Rp 143
triliun per tahun (PUPR, 2021); pengelolaan sarana dan prasarana sumber daya
air senilai Rp 40,6 triliun per tahun (PUPR, 2020); produksi perikanan
tangkap di perairan umum senilai Rp 12,72 triliun per tahun (BPS, 2018);
produksi perikanan budidaya senilai Rp 66,55 triliun per tahun (Bappenas,
2011); pembangkit listrik tenaga air kapasitas 7.358.400 MWh per tahun setara
dengan 1,92 miliar dollar AS per tahun
(ESDM, 2014); estimasi belanja bidang irigasi pertanian sebesar 9.935 juta
dollar AS per tahun (PPSI, 2018). Besarnya
potensi yang dapat disumbangkan kepada perekonomian nasional dari sumber daya
perairan darat, menuntut perhatian yang semakin tinggi dari semua pemangku
kepentingan untuk mengelolanya dengan pendekatan komprehensif dan
berkelanjutan. Perlu diketahui bahwa posisi geografis di jalur khatulistiwa
menjadikan wilayah Nusantara sangat peka terhadap perubahan yang terjadi dan
cenderung menyebabkan penurunan kondisi atau degradasi lingkungan dari aspek
kualitas ataupun kuantitasnya. Selain
tekanan pemanfaatan melalui aktivitas antropogenik seperti pencemaran,
perubahan fungsi lahan serta eksploitasi sumber daya alam, fenomena perubahan
iklim global turut berkontribusi dalam perubahan ekosistem dan lingkungannya.
Kondisi tersebut sering diperparah oleh meningkatnya frekuensi bencana yang
melanda seperti banjir, longsor, gempa bumi, maupun cuaca yang sangat
ekstrem. Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 1.441 kejadian bencana sejak
Januari sampai dengan Juni 2021 yang terdiri atas: banjir (599 kejadian),
puting beliung (398 kejadian), tanah longsor (293 kejadian), dan kebakaran
hutan (108 kejadian). Kerugian yang ditimbulkan berupa korban jiwa meninggal
dunia, hilang, luka-luka, serta harus mengungsi. Sementara kerugian material
di antaranya kerusakan rumah, fasilitas umum, perkantoran dan sarana jalan
dan saluran irigasi. Dalam
upaya untuk mengelola dan mengatasi permasalahan terkait sumber daya perairan
darat, Indonesia dapat mengacu pada platform program bersama yang disebut
sebagai Intergovernmental Hydrological Program (IHP) yang ditetapkan oleh
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui UNESCO, dan terbagi dalam
beberapa fase. Periode 2014–2021 merupakan fase VIII dari IHP yang memuat
tema utama ”Water Security: Responses
to Local, Regional dan Global Challenges”. Ekohidrologi
merupakan ilmu transdisiplin yang mengintegrasikan aspek hidrologi, ekologi,
ekoteknologi, dan budaya menjadi salah satu tema penting dalam fase VIII.
Program ini menjadi salah satu pilar utama yang mendukung Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (SDGs 2030) melalui pencapaian beberapa target di antaranya:
(6) memastikan ketersediaan dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan
sanitasi untuk semua; (13) mengambil tindakan segera untuk memerangi
perubahan iklim dan dampaknya; (15) melindungi, memulihkan dan meningkatkan
pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem darat, hutan, memerangi desertifikasi,
dan menghentikan dan membalikkan degradasi lahan dan menghentikan hilangnya
keanekaragaman hayati. Beberapa target yang terkait adalah: (2) mengakhiri
kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik dan
mendukung pertanian berkelanjutan; (7) memastikan akses terhadap energi yang
terjangkau, dapat diandalkan, berkelanjutan, dan modern bagi semua. Kompleksitas
permasalahan sumber daya perairan darat yang multidimensional menyebabkan
berbagai pemangku kepentingan menaruh perhatian yang semakin besar. Beberapa
kementerian di antaranya Kementerian LHK, Kementerian PUPR, Kementan,
Kementerian ESDM, Kemenkes, Kemendikbudristek, Kementerian Desa PDT dan
Transmigrasi, Kemendagri, Kemenhub, dan Kemenparekraf; juga sejumlah lembaga
pemerintah non-kementerian, seperti LIPI, BPPT, BIG, BMKG, BATAN, BNPB, BRGM,
dan BSN terlibat secara langsung ataupun tidak langsung terkait pengelolaan
sumber daya tersebut. Demikian juga pemerintah daerah dari tingkat provinsi
hingga desa, perguruan tinggi, sekolah, pihak swasta, dan masyarakat turut
memberikan andil, baik dalam pengelolaan maupun pemanfaatannya. Terlepas
dari kontribusi yang telah diberikan oleh berbagai pihak tersebut, sumber
daya perairan darat yang menjadi penopang penting bagi katahanan air, pangan,
dan energi nasional terus mengalami degradasi yang semakin intensif.
Kebijakan yang diambil dalam bebagai level cenderung bersifat sektoral,
sinkroniasi, dan koordinasi yang lemah, serta orientasi pemenuhan kebutuhan
jangka pendek dapat semakin memperburuk kondisi sumber daya perairan darat di
Tanah Air. Kondisi ini perlu segera diantisipasi dengan berbagai langkah
kebijakan terintegrasi, tindakan operasional terukur dan komprehensif,
koordinasi antarpihak yang kohesif inklusif serta didukung oleh riset, pengembangan
dan inovasi di dalam koridor pembangunan berkelanjutan. Sebagai
tindak lanjut dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem
Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Presiden telah membentuk Badan Riset
dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021
tentang BRIN. Hal ini merupakan wujud komitmen dan kepedulian pemerintah
dalam mendukung perkembangan dunia riset dan inovasi untuk mencapai tujuan
pembangunan nasional. Sesuai Perpres Nomor 33/2021, Kepala BRIN membawahkan
sekretariat utama, beberapa kedeputian dan organisasi pelaksana penelitian,
pengembangan, pengkajian dan penerapan (OPL) atau yang disebut sebagai
organisasi riset. Kesempatan
yang sangat berharga perlu diikuti dengan melakukan konsolidasi, revitalisasi
program dan kegiatan riset serta inovasi terkait permasalahan, serta
pengelolaan sumber daya perairan darat di Indonesia. Organisasi riset terkait
pengelolaan sumber daya perairan darat (OR ekohidrologi) perlu dibentuk
tersendiri mengingat cakupan permasalahan dan dampaknya terhadap pembangunan
nasional. Organisasi
riset ini akan menjadi wadah aktivitas penelitian dan pengembangan yang
memayungi semua pemangku kepentingan yang selama ini tersebar di berbagai
kementerian dan lembaga. Platform program riset lintas disiplin ilmu,
terintegrasi secara komprehensif, mampu memecahkan permasalahan nasional dan
dapat menjadi rujukan global perlu dipersiapkan. Platform
internasional Program IHP UNESCO dapat menjadi dasar pertimbangan dalam
mengidentifikasi permasalahan, cara pendekatan serta menyusun program dan
kegiatan riset dan inovasi yang diperlukan. Cakupan kegiatan riset dan
inovasi di bawah OR Sumber Daya Parairan Darat (OR ekohidrologi) dapat
diwadahi dalam unit riset sesuai kebutuhan saat ini, yaitu (1) Pusat Riset
Sungai dan DAS; (2) Pusat Riset Danau dan Reservoir; (3) Pusat Riset
Sosio-Hidrologi; (4) Pusat Riset Perikanan Darat; (6) Pusat Riset Air Cerdas
Pertanian (6) Pusat Riset Pengolahan Air Minum dan Sanitasi (7) Pusat Riset
Pengolahan Limbah Cair (8) Pusat Riset Pengelolaan Dampak Lingkungan; (9)
Pusat Riset Rawa dan Gambut (10) Pusat Riset Geohidrologi dan Air Tanah; (11)
Pusat Riset Resiko Dampak Bencana Keairan dan Perubahan Iklim. Pemutakhiran
informasi dan isu-isu strategis terkait sumberdaya perairan darat perlu terus
dilakukan sesuai dengan perkembangan permasalahan dan kebutuhan yang ada di
lapangan dalam scope lokal, regional, dan global. Peran Indonesia di panggung
internasional akan sangat penting artinya dan perlu dikuatkan dalam
mengatasai permasalahan sumberdaya perairan darat nasional dan internasional
sebagai bagian dari science diplomacy. Selain
sharing ilmu, pengalaman, dan sumber daya, permasalahan utama sumber daya
perairan darat di Indoensia dapat diselesaikan melalui kerja sama dan
sekaligus menjadi perhatian negara-negara lain di dunia. Dengan konsolidasi
program dan kegiatan riset di bawah BRIN ini, pengelolaan sumber daya
perairan darat di Indonesia diharapkan dapat dilakukan secara lebih terukur,
komprehensif dan berkelanjutan, serta dapat menopang kebijakan pemerintah
dalam mencapai tujuan pembangunan nasional di sektor ekonomi, sosial dan
kebudayaan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar