Asa
Ekonomi Bangkit dari Pandemi Bhima Yudhistira ; Direktur Celios (Center of Economic and Law
Studies) |
SINDONEWS, 16
Agustus 2021
"PANDEMI
akan menghasilkan perubahan permanen, baik secara sosial maupun ekonomi.
Kuncinya adalah menciptakan terobosan terbaik dari situasi terburuk.” Wayne
Gerard Trotman. Krisis pandemi
cukup menguras energi dan telah mengakibatkan katastropik yang belum pernah
terjadi, bahkan dibandingkan dengan krisis 1998. Meski sempat mengalami
pemulihan ekonomi pada kuartal II/2021 sebesar 7,07%, fakta bahwa daya beli
masyarakat kembali turun pada bulan-bulan berikutnya merupakan tantangan
nyata. Jika dibedah
lebih dalam, pertumbuhan ekonomi 7% secara statistik lebih disebabkan oleh
low-base effect atau berasal dari basis yang rendah. Saat kuartal II/2020
ekonomi kontraksi minus 5% lebih. Sedikit saja terdapat pemulihan, maka wajar
ekonomi tumbuh tinggi karena terjadi pelonggaran sebelum adanya pemberlakuan
pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat atau PPKM level 4 pada Juli. Sektor-sektor
yang tumbuh tinggi selama kuartal kedua lebih didominasi sektor yang sensitif
terhadap mobilitas masyarakat. Sebagai contoh jasa transportasi, perhotelan,
dan restoran tumbuh di atas 20%. Tapi ini hanya temporer karena lonjakan
kasus varian Delta kembali menurunkan sektor-sektor jasa. Pergerakan
masyarakat yang dibatasi, perkantoran dan tempat wisata yang ditutup
menurunkan konsumsi rumah tangga secara signifikan. Problem lain
adalah soal kualitas pertumbuhan ekonomi. Kontribusi sektor yang tumbuh
tinggi pada kuartal kedua terhadap serapan tenaga kerja relatif kecil
dibanding motor utama ekonomi, yakni Industri manufaktur dan pertanian.
Misalnya pertanian hanya mampu tumbuh 0,38% jauh di bawah pertumbuhan
ekonomi. Padahal sepanjang tekanan hebat pada 2020, pertanian masih mampu
tumbuh di atas 1,7%. Begitu juga dengan sektor industri pengolahan yang
relatif rebound hanya kisaran 6,5%. Kedua sektor ini penting karena jika digabung
mampu menyumbang 42,6% tenaga kerja dan 33,4% terhadap PDB. Perhatian
pemerintah soal sektor pertanian tidak bisa dianaktirikan karena beberapa
hal. Pertama , bahan makanan adalah kebutuhan dasar. Selama masyarakat
menjalani pembatasan sosial, memang cenderung menunda pembelian pakaian baru
dan kebutuhan lainnya. Namun, soal makan entah memasak di rumah atau membeli
lewat aplikasi pesan antar makanan, sama-sama butuh bahan makanan. Artinya,
permintaan bahan makanan dengan populasi Indonesia yang besar, harusnya tetap
stabil. Kedua,
pengangguran di sektor industri cenderung kembali ke desa-desa dan menjadi
tenaga tambahan di sektor pertanian meski sementara. Ini menunjukkan sektor
pertanian menjadi safety net (jaring pengaman) naiknya pengangguran akibat
pandemi. Jika ada istilah urbanisasi, maka saat ini justru sebaliknya terjadi
ruralisasi. Ketiga ,
sektor pertanian mampu berkontribusi positif terhadap penyaluran kredit
perbankan pada saat sektor lain tumbuh negatif. Data BI per Juni 2021
menunjukkan penyaluran pinjaman dalam bentuk kredit modal kerja ke pertanian
tumbuh 11,7%. Bandingkan dengan kredit modal kerja ke sektor pertambangan
yang minus 12% pada saat harga komoditas tambang booming. Resilience atau
ketahanan sektor pertanian dus harus diacungi jempol. Perubahan permanen yang
muncul lainnya adalah pola masyarakat menggunakan teknologi informasi dengan
kecepatan yang belum pernah terlihat sebelum pandemi. Terjadi kenaikan
transaksi e-commerce hingga Rp253 triliun pada 2020 dan diperkirakan menurut
BI menjadi Rp337 triliun tahun ini. Penyaluran pinjaman lewat fintech
mencapai Rp181 triliun per Maret 2021. Di bidang pendidikan dan kesehatan,
transformasi digital mampu menciptakan sarana belajar online hingga
konsultasi dokter tanpa tatap muka yang dibutuhkan selama pandemi. Ada dua pertanyaan
penting. Bagaimana menyikapi perubahan tersebut dan apakah perubahan tersebut
sifatnya permanen? Penyikapan terhadap perubahan tentu membutuhkan strategi
yang sinkron. Artinya, satu sektor tumbuh sangat tinggi, perlu dikorelasikan
dengan sektorsektor usaha lain yang menghasilkan dampak terhadap serapan
kerja dan output ekonomi. Masalah ini sudah lama didiskusikan oleh beragam
pakar ekonomi, interkonektivitas antarsektor adalah hal yang penting.
Misalnya sektor e-commerce naik pesat, tapi tidak dibarengi dengan naiknya
output industri, produk impornya melonjak. Atau fenomena kenaikan penyaluran
pinjaman online dimanfaatkan lebih banyak untuk aktivitas konsumsi. Keterkaitan antarsektor
pertanian dan digital pun relatif masih rendah. Masalah utama di sektor
pertanian adalah rantai pasok yang panjang. Beras yang dihasilkan petani
sampai ke tangan konsumen bisa melewati 5-7 distributor yang akibatnya petani
hanya merasakan sedikit nilai tambah (surplus value). Digitalisasi idealnya bisa
memangkas rantai pasok, tapi perhatian terhadap pengembangan digital di
pemasaran produk pertanian tampaknya kurang jadi perhatian. Beberapa pemain
startup di pertanian berguguran, kekurangan modal, sulit mendapat pinjaman
bank, atau secara bisnis tidak mampu bersaing. Refleksi Kemerdekaan
Indonesia harusnya menyadarkan arah tujuan pembangunan sejak perebutan
pabrik-pabrik peninggalan Belanda. Bukan sekadar nasionalisasi. Cita-cita
pendiri Republik, khususnya Mohammad Hatta telah memiliki imajinasi jangka
panjang untuk transformasi menuju ekonomi berbasis industri yang kuat. Dalam konteks kemerdekaan
Indonesia yang ke-76, maka perjuangan dan perubahan haruslah dimaknai sebagai
upaya memulihkan agenda industrialisasi. Bukan saling membenturkan antara
digitalisasi dan industrialisasi. Namun, industri yang memproduksi barang
harusnya didukung oleh perangkat digital agar produk industri lokal Indonesia
semakin dominan. Beberapa studi menunjukkan bahwa hanya 26% produk lokal yang
dijual secara online. Sisanya adalah barang-barang impor yang masuk lewat
skema cross border, maupun impor lewat pedagang atau seller. Kondisi ini
selain menguras devisa, juga membuat deindustrialisasi semakin berjalan. Porsi industri manufaktur
terus turun menjadi kisaran 19% dari saat reformasi mencapai 26%. Hilangnya
potensi industri dari perekonomian menciptakan bencana yang tak kalah serius
dari pandemi, yakni hilangnya kesempatan kerja di sektor formal. Memang ojek
online maupun e-commerce menciptakan peluang kerja, tapi sebagian besar
adalah pekerja informal tanpa perlindungan hak pekerja yang memadai. Bahkan
lebih buruk lagi, posisinya bukan pekerja melainkan kemitraan dalam kerangka
sharing economy. Problem lain terkait
perubahan selama pandemi adalah ketimpangan makin melebar. Bukan saja karena
kelas atas lebih baik dalam memitigasi risiko penurunan nilai aset, dan orang
miskin makin terjepit karena pandemi. Tapi sekali lagi, digitalisasi bak
pisau bermata dua. Data Bank Dunia menyebut, masyarakat Indonesia yang
memanfaatkan e-commerce lebih sebagai pembeli ketimbang penjual terutama di
desil terbawah. Sebanyak 24% kelas paling atas yang manfaatkan e-commerce
sebagai penjual. Sementara hanya 1% kelompok pendapatan paling bawah yang
menjadi penjual barang secara online. Gap antara kelas atas yang memiliki
akses digital tinggi sehingga bisa lakukan work from home, menjadi content
creator dan desainer dibanding kelas bawah yang masih terkendala jaringan
internet. Gap itu harus dipersempit. Asa untuk bangkit dari
pandemi membutuhkan dua hal mendasar, yakni mendorong pemulihan ke sektor
yang produktif seperti industri manufaktur dan pertanian serta meningkatkan
konektivitas antara pengembangan digital dengan industri lokal. Kebangkitan
bukan sekadar ekonomi bisa tumbuh tinggi, tapi juga berkualitas. Waktu-waktu
krusial ini sangat berharga untuk terus melakukan refleksi, agar mimpi
pendiri bangsa yang menginginkan Indonesia lepas dari ketertinggalan makin
cepat terwujud. Selamat HUT ke-76
Indonesia! ● Sumber : https://nasional.sindonews.com/read/512260/18/asa-ekonomi-bangkit-dari-pandemi-1629090535 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar