Pilpres
dan Badai dalam Secangkir Kopi
Burhanuddin Muhtadi ; Pengajar FISIP UIN Jakarta;
Direktur Eksekutif Indikator
Politik Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Maret 2018
SALAH satu kriteria penting dalam
mengukur demokratisasi internal partai ialah sejauh mana proses kandidasi
pejabat publik seperti calon presiden, gubernur, bupati atau wali kota,
berjalan demokratis. Pada umumnya proses nominasi calon di Indonesia terjadi
di ruang-ruang tertutup, dengan elite partai berperan sangat dominan dalam
menetapkan calon.
Namun, khusus pada penentuan calon
presiden dan wakil presiden, partai politik tak bisa gegabah memutuskan tanpa
mendengar aspirasi kader atau konstituen secara luas. Pilpres adalah
pertaruhan besar bagi setiap partai, dan oleh karenanya mereka akan
berhati-hati dalam memutuskan siapa yang akan diusung.
Empat
pertimbangan
Setidaknya ada empat pertimbangan
penting dalam menentukan capres yang akan diusung. Pertama, sejak rezim
pemilihan presiden secara langsung dimulai, elektabilitas calon adalah
konsideran utama dalam penentuan capres. Menurut Donald Stokes (1963),
elektabilitas merujuk pada kekuatan atomik calon (valence) dalam menggaet
simpati pemilih, baik itu karisma, popularitas, maupun reputasi bersih dari
korupsi.
Setiap partai pasti ingin menang.
Salah satu ukuran meraih kemenangan ialah memilih capres yang memiliki
elektabilitas yang tinggi berdasarkan survei yang dilakukan lembaga
independen.
Kedua, di samping elektabilitas,
pasangan capres-cawapres harus memenuhi syarat teknis pencalonan menurut UU
Nomor 7 Tahun 2017. Dengan ditolaknya uji materi terkait dengan syarat
minimal 20% kursi di DPR atau 25% suara menurut hasil Pemilu 2014, praktis
paling banyak hanya tiga pasangan yang akan berlaga di 2019.
Sejauh ini hanya Joko Widodo
(Jokowi) yang relatif aman karena sudah dideklarasikan sebagai capres oleh
PDI Perjuangan, Golkar, PPP, NasDem, dan Hanura. Di luar itu, jika Prabowo
maju sebagai capres, Gerindra cukup menggandeng PKS. Sementara itu, poros
ketiga yang coba digagas Demokrat akan layu sebelum berkembang jika,
misalnya, PKB bergabung dengan poros Jokowi atau PAN malah merapat ke poros
Prabowo.
Ketiga, relasi antaraktor utama di
balik partai juga menentukan capres dan koalisi mana yang akan dipilih.
Contoh paling gamblang ialah sinyal tegas dan terang benderang yang
disampaikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam rapimnas Partai Demokrat
yang menyatakan kesiapan untuk berkoalisi mendukung Jokowi di 2019 jika Tuhan
menakdirkan.
Meski belum definitif, statement
ini tak pernah disampaikan secara terbuka kepada Prabowo, misalnya. Bahkan,
dalam banyak kasus, terutama dalam pilkada-pilkada, Partai Demokrat dan
Gerindra sering berbeda jalan dalam mengusung calon gubernur. Intinya, publik
menangkap bahwa relasi antara SBY dan Jokowi lebih 'intim' ketimbang relasi
antara SBY dan Prabowo. Jika SBY gagal mengusung poros baru di 2019, mungkin
Demokrat lebih mudah merapat ke Jokowi ketimbang Prabowo, kecuali ada deal-deal
khusus.
Terakhir, penentuan capres juga
ditentukan kesiapan logistik dan sumber daya. Bagaimanapun pilpres adalah
perhelatan raksasa yang membutuhkan ongkos politik yang tak sedikit. Jika
seorang yang berniat maju di pilpres tak memiliki dana cukup, ia bisa
bergantung pada elektabilitas. Ada gula ada semut. Elektabilitas yang tinggi
memungkinkan seseorang menarik donatur untuk menyumbang kampanye dan
sosialisasi. Jika seseorang yang berambisi maju di pilpres tak memiliki dana
yang cukup, juga tidak ditunjang elektabilitas yang memadai, sebaiknya ia
segera mengubur mimpinya dalam-dalam sebelum berubah jadi penyakit.
Gerbong
koalisi lebih panjang
Lantas, apakah Jokowi benar-benar
telah memenuhi empat kriteria di atas sehingga baru Jokowi yang muncul ke
permukaan?
Kekuatan utama Jokowi ialah,
sebagai petahana, ia memiliki elektabilitas paling tinggi jika dibandingkan
dengan 41 nama capres yang diuji dalam survei. Elektabilitas inilah yang
membuat Jokowi, meski bukan elite partai mana pun, diusung sebagai capres
oleh PDI Perjuangan, Golkar, PPP, NasDem, dan Hanura. Jika elektabilitas
Jokowi bertahan di papan atas klasemen, atau malah naik, bukan tidak mungkin
ia akan menarik gerbong koalisi yang lebih panjang lagi.
Pertanyaan kemudian ialah masih
mungkinkah Jokowi dikalahkan? Ibarat gelas setengah penuh atau setengah
kosong, jawaban atas pertanyaan sejuta umat ini sangat tergantung cara
pandang kita. Pertama, jika dibaca secara optimistis, tren data survei
nasional yang dilakukan Indikator Politik Indonesia menunjukkan kepuasan
publik terhadap kinerja Jokowi sebagai presiden yang mencapai 72% di kuartal
pertama 2018 memang meningkat jika dibandingkan dengan pada September 2017
yang 'hanya' di kisaran 68%.
Akibatnya, seperti dipotret Saiful
Mujani Research and Consulting (SMRC), elektabilitas Jokowi meningkat dalam
berbagai simulasi, mulai top of mind (spontan), semiterbuka maupun tertutup,
hingga head to head. Memang jika memakai simulasi top of mind, elektabilitas
Jokowi masih di bawah 50%. Akan tetapi, jika menggunakan semiterbuka,
kedipilihan Jokowi sudah mencapai 53,8%, bahkan 61,4% jika menggunakan
simulasi tiga pasangan.
Di simulasi top of mind,
elektabilitas Jokowi kurang dari 50% karena masih banyak pemilih yang belum
menentukan pilihan (undecided voters). Namun, ketika dikerucutkan ke simulasi
semiterbuka atau head to head, proporsi undecided voters berkurang karena
sebaran pilihan terbagi secara proporsional. Ini pola yang ditemukan di semua
lembaga survei yang kredibel. Suara undecided voters bukan bias anti-Jokowi
atau hanya mengerucut ke calon-calon di luar Jokowi.
Di atas segalanya, jika
dibandingkan dengan approval rating dan elektabilitas SBY di tiga atau empat
tahun pemerintahannya di jilid pertama, rating kepuasan terhadap Jokowi dan tingkat
kedipilihannya masih lebih baik. Elektabilitas SBY baru benar-benar meroket
di akhir 2008 atau awal 2009 beberapa bulan jelang Pemilu Legislatif 2009
ketika bantuan langsung tunai dan efek penurunan harga BBM bersubsidi
menaikkan elektabilitas SBY dan Demokrat.
Meski demikian, elektabilitas
Jokowi sekarang bisa juga dibaca dengan gelas setengah kosong. Masih ada
sebagian pemilih yang puas terhadap kinerja Jokowi tetapi enggan memilihnya.
Inilah gejala terbelahnya 'kepala' dan 'hati' sebagian pemilih yang disebut
George Orwell sebagai doublethink, yakni 'kemampuan seseorang untuk
memercayai dua hal yang bertolak belakang secara bersamaan tanpa merasa
bersalah atau tidak nyaman (disonansi kognitif)'. Mereka mengakui kinerja
petahana baik, tetapi hati mereka sulit menerima Jokowi. Ini terjadi karena
perilaku pemilih bukan semata-mata ditentukan variabel rasionalitas,
melainkan juga faktor emosi dan ideologi.
Sejauh ini memang Jokowi relatif
berhasil mengantisipasi menguatnya politik identitas pasca-pilkada Jakarta
dan gejala disonansi kognitif tersebut dengan cara rajin bersilaturahim ke
para kiai. Kontranarasi yang dibuat Jokowi juga termasuk membantah tudingan
soal PKI, framing anti-Islam dan kriminalisasi ulama yang selalu dialamatkan
kepadanya.
Nilai
tambah
Namun, tantangan terbesar Jokowi
sebenarnya bukan politik identitas, melainkan ancaman kenaikan tingkat
inflasi. Data longitudinal Lembaga Survei Indonesia dan Indikator menunjukkan
bahwa approval rating presiden siapa pun di Indonesia dan elektabilitasnya
sangat ditentukan seberapa sukses ia menjaga rezim inflasi rendah. Jika
inflasi tinggi, pada umumnya kinerja ekonomi akan dipersepsi buruk dan
akibatnya berpengaruh ke approval rating dan elektabilitas petahana. Jika
inflasi bisa ditekan di bawah 4%, kondisi ekonomi nasional akan dipersepsi
membaik dan akibatnya menaikkan approval rating petahana.
Setidaknya ada dua tantangan
terkait dengan inflasi sebelum nominasi capres pada Agustus 2018. Pertama,
gejolak harga minyak dunia yang terjadi sejak 2017 hingga awal 2018. Jika
pemerintah menaikkan harga BBM, hampir pasti berpengaruh ke approval rating
dan elektabilitas Jokowi.
Kedua, siklus inflasi tahunan
terkait dengan Ramadan dan Lebaran tahun ini. Jika inflasi terjadi secara
tidak terkendali, bukan tidak mungkin sebagian dari lima partai yang
sebelumnya mencapreskan Jokowi akan berbalik arah. Terkait hal itu, respons
pemerintah, seperti telah diduga, memilih dengan menambah alokasi subsidi BBM
ketimbang menaikkan harga BBM bersubsidi. Akibatnya, efek gejolak harga
minyak dunia sejauh ini belum berimbas secara elektoral ke petahana.
Intinya, pekerjaan rumah Jokowi
sekarang ialah menentukan siapa cawapres paling tepat yang punya nilai tambah
secara elektoral dan memiliki akseptabilitas di mata partai-partai pendukung
Jokowi. Sementara itu, 'PR' bagi para penantang Jokowi jauh lebih kompleks.
Mereka tak hanya dipaksa menghadirkan capres yang kompetitif yang potensial
mengalahkan Jokowi, tapi juga harus memenuhi syarat teknis pencalonan yang
tinggi.
Hari-hari ke depan publik akan
disuguhi manuver-manuver elite kelas tinggi; dari pertarungan memperebutkan
tiket cawapres, mendorong koalisi alternatif, hingga tarik-menarik
memperebutkan rekomendasi partai untuk mendukung capres-cawapres tertentu.
Manuver politik ini sudah pasti menimbulkan kegaduhan, tapi tampaknya
terbatas di tingkat elite. Meminjam istilah sastrawan Pramoedya Ananta Toer,
intrik dan manuver elite politik yang kerap kita saksikan itu tak lebih dari
sekadar 'badai dalam secangkir kopi'. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar