Rabu, 28 Maret 2018

Sekolah Demokrasi bagi Anak-anak

Sekolah Demokrasi bagi Anak-anak
Seto Mulyadi  ;   Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI);
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
                                              MEDIA INDONESIA, 28 Maret 2018



                                                           
HAMPIR semua pemikiran Bung Karno tentang bagaimana memerdekakan Indonesia, menegarakan Indonesia, dan mendemokratisasi Indonesia ada di dalam karya-karya beliau. Namun, ada satu lingkup yang luput dari buku-buku tersebut, yaitu Bung Karno belum membuat ulasan tersendiri tentang bagaimana keluarga sebagai lingkungan terkecil dan terdekat bagi setiap anak yang sesungguhnya juga memiliki peran sangat signifikan dalam mendemokratisasi Indonesia.

Memang, bila kita buka bacaan-bacaan lainnya tentang Bung Karno dan keluarganya, di dalam ruang imajinasi kita akan terbayang suasana hangat interaksi antara Bung Karno dan putra-putri beliau. Bagaimana ‘Sang Putra Fajar’ itu mengajak Guntur ngobrol tentang profil para menteri, sambil meminta pandangan dari putra kesayangannya itu, ialah salah satu contoh.

Yang lain ialah saat sekali-sekali Bung Karno mengajak putra-putrinya ikut serta ketika beliau melakukan kunjungan kenegaraan serta memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyimak apa-apa yang Bung Karno perbincangkan dengan counterpart-nya. Sekembali ke hotel, anak-anak Bung Karno juga bisa memberikan komentar tentang pertemuan kenegaraan yang mereka saksikan itu.

Tahun politik

Bicara 2018 dan 2019 sebagai tahun politik, hiruk-pikuknya sudah membahana sejak sekarang. Satu hal yang menjadi catatan saya, tahun politik seolah terbingkai hanya sebagai tahunnya orang-orang dewasa semata, apalagi dengan kejutan berupa penangkapan sejumlah kandidat kepala daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semakin tampak jelas keluarga dan khususnya anak-anak seolah menjadi kelompok yang kurang mendapat ruang dan harus diam selama tahun ini dan tahun depan.

Tak mudah kiranya menerjemahkan riuh-rendahnya tahun politik ini kepada anak-anak. Mereka dengan kesederhanaan pola pikir boleh jadi hanya sebatas mampu menangkap sensasi euforianya, sedangkan substansi di dalam euforia itu kiranya masih jauh di luar ufuk nalar mereka.

Kontestasi demokrasi 2018 dan 2019 dapat dimanfaatkan sebagai momen penting bagi upaya menyemikan pelajaran tentang demokrasi di dalam ruang keluarga. Inti pelajaran itu, menurut hemat saya, ialah salah satu butir dalam Konvensi Hak Anak, yaitu: partisipasi. Bahwa setiap anak berhak didengar pendapatnya, sesuai dengan tingkat kecerdasan dan kematangannya. Menuangkan partisipasi dalam ranah keluarga memiliki makna bahwa seproporsional mungkin keputusan-keputusan keluarga dihasilkan setelah pendapat anak disimak baik-baik.

Banyak kalangan yang berpendapat, mengimplementasikan partisipasi anak di dalam keluarga Indonesia tidak sepenuhnya bijak. Pendapat demikian kiranya bertitik tolak dari posisi anak dalam realitas sosiologis masyarakat Indonesia, yaitu bahwa anak adalah individu yang harus mendengar, bukan didengar. Anak terkodratkan pasif, seolah tunakeberdayaan untuk eksis sebagai individu yang memiliki kepentingan.

Berbeda dengan masyarakat Barat yang lewat pembentukan bertahun-tahun tidak lagi kaget begitu anak-anak sekonyong-konyong angkat bicara.  Anggapan sedemikian rupa tak keliru walau juga tak sepenuhnya benar. Punakawan dalam cerita wayang sesungguhnya antitesis atas anggapan itu. Gareng, Petruk, dan Bagong, dengan keunikan mereka masing-masing, bukanlah sosok-sosok pasif di hadapan Romo Semar.

Punakawan, sebagai sekelompok manusia yang 'dihidupkan' pada masa Sunan Kalijaga, memang merepresentasikan kaum alit. Istimewanya, betapa pun alit, pola relasi antarmereka justru setara. Suasana batiniah yang egaliter tampil saat ayah dan ketiga anaknya itu berdialog satu sama lain tentang berbagai tema. Sederhana, tapi--di mata saya--itulah basis psikologis yang sangat dibutuhkan dalam menghidupkan nilai demokrasi di dalam ruang keluarga.

Partisipasi anak juga terlihat pada kisah Ibrahim dan Ismail. Betapa pun Ibrahim tunduk taat pada perintah Tuhan, bisa dibaca di Alquran bahwa menjelang prosesi penyembelihan dilakukan, Ibrahim tetap bertanya kepada buah hatinya, "Bagaimana pendapatmu?."
Tampak jelas betapa Ibrahim menyertakan anak dalam pembuatan keputusan-keputusan penting terkait kehidupan mereka. Sangat dalam terasa, bagaimana Ibrahim menghidupkan partisipasi anak di dalam keluarganya.

Kisah Punakawan dalam cerita wayang serta hikayat Ibrahim dan Ismail menjadi bukti betapa 'buku teks' tentang demokrasi dalam pengasuhan keluarga ternyata tidak baru-baru ini saja diterbitkan. Mulai renungan-renungan di ruang sepi tentang isi kitab suci sampai pergelaran wayang sejak malam hingga dini hari. Semuanya sesungguhnya telah menghadapkan kita selama berabad-abad pada kurikulum tentang mendemokratisasi keluarga.

Mendidik anak tentang demokrasi bersinonim dengan membimbing anak menjadi warga negara yang baik. Ini tidak sebatas mengajari anak untuk patuh pada hukum. Lebih jauh lagi, tugas orangtua ialah meyakinkan anak bahwa mereka memiliki hak dan bagaimana hak itu dapat digunakan secara konstruktif untuk kebaikan bersama. ‘Konstruktif’ dan ‘bersama’ bersimpul pada ‘partisipasi’.

Partisipasi itulah intisari kontestasi demokrasi yang sangat relevan dan patut diajarkan kepada anak-anak sesuai dengan bahasa anak. Bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menentukan masa depan bangsa mereka. Demikian pula, pada tataran mikro, setiap anggota keluarga--tak terkecuali anak-anak--memiliki ruang untuk beraspirasi membawa biduk yang mereka kayuh secara bersama-sama pula.

Untuk mempraktikkan prinsip partisipasi di dalam keluarga, tidak perlu kita mengernyitkan kening. Membiarkan anak-anak boleh memilih menu sarapan, memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk memimpin doa secara bergantian, mengajak si abang dan si kakak berbagi gagasan tentang nama untuk adik yang baru lahir, itulah beberapa langkah sederhana yang dapat dilakukan di dalam keluarga.

Demikian pula halnya di sekolah. Pemilihan ketua kelas dan pembentukan kelompok diskusi, dengan semaksimal mungkin menyerahkannya kepada para siswa sendiri, ialah 'modul-modul' ringan tentang bagaimana mengajarkan demokrasi sejak belia.

Saya optimistis keberhasilan menjadikan rumah (keluarga) sebagai sekolah demokrasi bagi anak merupakan kunci utama keberhasilan bagi demokrasi yang menyejahterakan Indonesia di masa depan. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar