Islam
dalam Demokrasi
Dadang Kahmad ; Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
|
REPUBLIKA,
16 Maret
2018
Kita masih menjadikan
agama Islam sebagai second life style dalam berdemokrasi. Jangan heran bila
sakralitas simbol keagamaan pun kerap dijadikan media ampuh untuk memuluskan
jalan menuju kursi kekuasaan.
Dengan demikian, Islam
tidak dijadikan sebagai perangkat nilai dalam menjalankan demokrasi. Bersama
kekuasaan inilah nilai-nilai kesalehan diperjualbelikan karena Tuhan seolah
berjauhan dari segala aktivitas politiknya. Kesalehan berpolitik hanya simbol
belaka yang dipajang secara seremonial sehingga tak menyentuh penghayatan dan
pengamalan.
Islam sebagai agama yang
dianut mayoritas rakyat Indonesia, sejatinya berperan serta dalam memperkaya
demokrasi di Indonesia dengan keteladanan dan keadilan sehingga rakyat
terbebas dari belenggu kemiskinan dan ketidaksejahteraan.
Dalam konteks kebangsaan,
konsep al-mizan (keseimbangan) ialah elemen fundamental, yang mampu
mengejawantahkan prinsip-prinsip keadilan hingga dapat menciptakan
kesejahteraan dalam sebuah tatanan negara-bangsa.
Kesadaran pentingnya nilai
etika yang diambil dari semangat Islam dalam konteks kebangsaan ini, memegang
peran penting guna menciptakan kualitas imani, akhlaqi, dan aqli
warga-bangsa. Dengan demikian, kesadaran ini dapat menuntun seorang warga
negara, baik pejabat maupun birokrat mengejawantahkan prinsip keadilan dalam kehidupan praksis.
Nurcholis Madjid, dalam
buku berjudul “Islam Agama Kemanusiaan” (2010:183) mengatakan, salah satu
segi kelebihan Islam ialah terletak pada universalitas nilai yang
dikandungnya dalam kehidupan manusia di jagat raya. Sebab menegakkan keadilan
ialah bagian dari sunnatullah, hukum objektif, immutable (tidak pernah
berubah), bagian dari hukum kosmis, yakni hukum keseimbangan di alam raya.
Allah SWT berfirman, “Dan
Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keseimbangan)
supaya kamu tidak melampaui batas terhadap neraca itu. Dan tegakkanlah neraca
keadilan itu dengan saksama, dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS
Al-Rahman [55]: 7-9).
Pesan Ilahi di atas
mengindikasikan religiositas (Islam) harus menjawab semua pertanyaan tentang
bagaimana seharusnya yang dilakukan (dalam berbangsa dan menjalankan
demokrasi), sehingga menempatkan akal-pikiran pada koridor keadilan untuk
umat manusia.
Sebab, menjalankan
keadilan dapat menempatkan kerja sebagai manifestasi cinta terhadap sesama.
Karena itu, sejatinya kita mendukung lahirnya manusia-manusia yang
menempatkan keadilan sebagai misi hidup, dengan optimalisasi keyakinan
ukhrawi, hingga mengejawantahkan aktivitas bermanfaat untuk semesta alam.
Ketika tidak menjalankan
keadilan dalam berdemokrasi, bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, hal itu
menandakan seorang aktivis Islam tengah melawan hukum Tuhan. Bagi kita, yang
beragama Islam, mengejawantahkan misi kemanusiaan yang tecermin dalam ajaran
Islam untuk kepentingan rakyat ialah tugas suci sebagai khalifah (pemimpin)
dan abdi (hamba) sekaligus.
Karena itu, kerja politik
setiap parpol Islam sejatinya diarahkan untuk memberdayakan warga, sehingga
dapat dirasakan bukti konkretnya oleh warga di setiap daerah. Tak arif
rasanya apabila warga hanya dimanfaatkan ketika sedang melaksananakan pesta
demokrasi alias pemilihan umum. Sebab, hal itu merupakan pengingkaran
terhadap prinsip demokrasi, misi kemanusiaan, dan perintah Tuhan untuk
berlaku adil.
Meminjam suara rakyat saat
hendak berkuasa, tapi sesaat kekuasaan diraih dan dipegang suara nyaring
rakyat tidak lagi didengar rintihannya, merupakan pengkhianatan terhadap
ajaran agama dalam berdemokrasi.
Pemimpin Islam dan
demokratis ialah seorang pemimpin dengan bekal morale courage (keberanian
moral), clear concept (konsep yang jelas), konsistensi kebijakan, juga adanya
dukungan pada rakyat dan seorang visioner.
Selain itu, kalau saja
menempatkan demokrasi sebagai sistem politik, pemimpin yang demokratis adalah
seseorang yang berasal dari rakyat (bukan dari kalangan bangsawan), diawasi
rakyat (bukan mengawasi dirinya sendiri), dan bekerja untuk rakyat (bukan
untuk dirinya sendiri dan kelompok yang dekat dengan dirinya).
Artinya, segala kebijakan
yang ditawarkan pemerintah tidak boleh mencekik rakyat, karena pusat kekuasaan
terletak pada kehendak rakyat. Bukan pada pundak pejabat.
Dalam ajaran Islam, kita
dilarang memperdagangkan suara rakyat untuk menyukseskan pemimpin yang sadar
terhadap kenyataan konkret permasalahan rakyat hanya lima tahun sekali. Umat
Islam bukanlah objek sapi perah dalam perebutan kuantitas dalam sistem
demokrasi, melainkan subjek nilai yang mewarnai gerak demokrasi di Indonesia.
Kita tidak usah heran bila
saja kemiskinan dan kesengsaraan dijadikan objek pencitraan di berbagai media
untuk mendongkrak elektabilitas. Tak usah heran pula bila saling jegal
terjadi tatkala umat Islam berebut kekuasaan. Bahkan, ketika kekuasaan itu
dapat diraih maka tak ada lagi kemiskinan dan kesengsaraan dalam empati
mereka. Tepat kiranya, bila Pramoedya Ananta Toer mengatakan, bangsa
Indonesia tengah menjadi "bangsa budak dari bangsa sendiri".
Artinya, kita berada pada
aktivitas penjajahan terselubung, kepura-puraan politis, dan kepedulian
imagogi politik. Sekadar berpura-pura peduli dan mendengar aspirasi karena
hendak menjadi pembual sebagai penguasa yang adil, bijaksana, dan peduli
dengan derita rakyat.
Meminjam suara rakyat saat
hendak berkuasa, tetapi sesaat kekuasaan diraih dan dipegang suara nyaring
rakyat tidak lagi didengar. Kita (umat Islam) berdosa karena ajaran luhung
yang berasal dari langit, tidak lagi membumi.
Bahkan, tidak lagi
membebaskan umat manusia karena telunjuk kita banyak menyalahkan orang lain,
sementara nafsu keserakahan di ranah politik dalam diri tidak kita bentengi
dengan nilai, moralitas, dan etika. Wallahua'lam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar