Neuroeconomics
Mukhaer Pakkanna ; Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta;
Wakil Ketua MEK PP Muhammadiyah
|
KORAN
SINDO, 26 Maret 2018
SELAMA Maret 2018 ini, ada
dua titik kritis yang mengganggu perekonomian nasional akibat dinamika ekonomi
global. Pertama, kurs rupiah mengalami tekanan hingga Rp13.794/USD
(Senin,12/3) yang dipicu sentimen negatif pasar global. Kedua, pidato
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump (Kamis, 8/3) resmi menetapkan kenaikan
tarif bea masuk impor baja sebesar 25% dan alumunium sebesar 10%.
Soal kurs, berawal pada pidato Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) yang baru, Jerome Powell di depan Kongres AS, bahwa perekonomian AS makin membaik dan harus diikuti kenaikan suku bunga acuan (FFR) secara gradual. Pernyataan itu memantik konversi instrumen portofolio di banyak negara, termasuk Indonesia, ke instrumen berdenominasi dolar AS. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan Surat Berharga Negara (SBN) pun ikut tergerus. Demikian pula di beberapa negara lain, kursnya ikut terseret, misalnya, Swedia tertekan 5%, Australia 4,5%, India 2,4%, Malaysia 2,3%, dan lainnya. Sementara soal kenaikan tarif bea masuk, keputusan itu jelas berpotensi memicu perang dagang, menyusul negara-negara mitra dagang AS, seperti Kanada, Uni Eropa, dan China, siap melancarkan pembalasan (retaliasi). Mengonfirmasi data Kementerian Perdagangan AS (2017), pengimpor alumunium terbesar ke negara Paman Sam adalah Kanada dan Uni Eropa, disusul Korea Selatan, Meksiko, dan Brasil. Adapun China dan Rusia merupakan pengimpor alumunium ke-8 dan 9 ke AS. Jika dua titik kritis di atas itu berlanjut, Direktur Pelaksana IMF, Christine Lagarde menyebut, tidak akan menguntungkan pihak manapun, baik perang mata uang maupun perang dagang justru berpotensi mengganggu pertumbuhan ekonomi global. Pertanyaan menarik di balik kekhawatiran perang itu, tentu memiliki implikasi lebih jauh. Kepentingan dan nasionalisme ekonomi masing-masing negara, terutama AS, menjadi pertimbangan utama. Dengan rasionalitas kepentingan ekonomi, merujuk studi Coleman (2005), pendekatan kebijakan AS bergerak dari dasar metodologi individualisme dan menggunakan teori pilihan rasional (rational choice) sebagai landasan tingkat mikro untuk mendedahkan fenomena ekonomi global. Dalam konteks itulah ruang kajian tentang neuroeconomics mendapat justifikasi dalam mendeskripsikan solusi fenomena kegaduhan kedua jenis perang tersebut. Neuroeconomics Kegaduhan perang mata uang (dagang), merujuk studi James Ricards dalam Currency Wars (2011), dapat dijelaskan secara sederhana. Dalam situasi di mana konsumsi (C) dan investasi (I) melemah, belanja pemerintah (G) tersandera defisit, sementara pajak yang tinggi dan utang membumbung berisiko untuk digenjot, maka satu-satunya jalan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi adalah dengan mendorong net ekspor (X-M). Menurut Ricards, kebijakan tarif bea masuk dan dumping bisa saja dilakukan kendati berpotensi mendapatkan reaksi dan sanksi WTO. Selain itu, langkah yang dianggap simplistis, cepat, dan legal adalah mendevaluasi nilai mata uang sehingga harga ekspor menjadi lebih murah di pasar internasional. Namun, bagi perekonomian AS yang dianggap sebagai pasar raksasa dunia, langkah yang cepat, yakni menaikkan suku bunga dan kebijakan proteksi atas beberapa produk dianggap melemah daya saingnya. Dalam neuroeconomics (Camerer et al. 2006), kebijakan mendevaluasi kurs mata uang, menaikkan suku bunga, dan proteksi tarif bea masuk mendapat justifikasi teoritik. Dalam neuroeconomics dikaji bagaimana memahami perilaku pengambilan keputusan tatkala seseorang atau institusi menghadapi ancaman eksternal (threat), semisal, mengganggu pasar dalam negeri. Dalam pengambilan keputusan, studi neuroeconomics melibatkan aktivitas peta bagian-bagian otak dan tugasnya masing-masing. Namun, ruang neuroeconomics juga memberikan petunjuk dari sudut pandang berbeda sehingga mengubah secara radikal pemahaman tentang bagaimana pelaku ekonomi bekerja. Dalam praktik neuroeconomics, memotret manusia sebagai makhluk yang lebih kompleks dalam mengambil keputusan. Tidak sekadar menggunakan potensi rasional melainkan juga irasional (afektif). Dengan begitu, perilaku manusia menurut Camerer et al (2005), sejatinya memerlukan cairan neuron yang diproduksi oleh interaksi antara sistem kognitif dan afektif. Hasil studi Camerer mengonfirmasikan, bagaimana mekanisme biologis menjadi dasar dalam proses emosi individu, interaksi interpersonal, memahami pikiran, dan membangun strategi dalam mengambil keputusan. Dengan demikian, perang mata uang dan perang dagang (perang ekonomi) yang dilancarkan Donald Trump tidak semata menggunakan tendensi rasionalitas. Perang ekonomi memiliki agenda bagaimana ancaman perang itu dijadikan peluang (opportunity) menguatkan afeksi kepentingan politik dan nasionalisme ekonomi AS.
Ada kepentingan
penguasaan ekonomi di atas penderitaan negara-negara lain. Dengan demikian,
karena posisi masing-masing negara dalam pergumulan perang ekonomi
bersifat asimetris, maka negara-negara yang rentan dan kurang kokoh
fundamental ekonominya, terutama dari sisi cadangan devisa, struktur ekspor,
struktur industri manufaktur, dan struktur produksi lokalnya, tentu akan
terkena dampak luar biasa.
Menyiasati Perang Pusat gravitasi kedua model perang itu sejatinya tertuju pada kiblat ekonomi dunia, Amerika. Sejak perjanjian Bretton Woods, dolar AS menjadi kiblat mata uang dunia. Proses “pengkiblatan” itu melalui sejarah panjang, karena peran AS terlihat masif dan dominan. Dalam studi neuroeconomics, keputusan menjadikan dolar AS dan pasar dagang raksasa AS sebagai kiblat bukan saja didasarkan pertimbangan rasionalitas, tapi juga pertimbangan afektif, yakni bagaimana menjadikan kepentingan ekonomi politik Amerika dan sekutunya digdaya dalam fora internasional. Di tengah makin perkasanya kurs dolar AS dan kian mendeterminasi keputusan-keputusan politik serta ekonomi global, terutama semenjak Trump berkuasa, negara-negara nonsekutu belakangan makin gerah. China misalnya, yang memiliki resource ekonomi dan sosial cukup kuat, tampil terdepan melawan. Di sisi moneter, pada Juli 2015, China lihai memainkan kebijakan pelemahan kurs yuan dalam meningkatkan daya saing ekspornya. Sementara di sisi fiskal, China melakukan kebijakan fiskal yang proaktif, penerapan kebijakan finansial secara penuh, peningkatan belanja pemerintah, dan membuat pengurangan pajak secara struktural. Langkah Indonesia Dalam konteks kewaspadaan perang ekonomi itu, bagaimana dengan Indonesia? Ikut dalam pusaran arus perang ekonomi, tentu conditio sine qua non. Artinya, setiap akibat dapat ditentukan sebab-sebabnya dan masing-masing sebab memiliki pengaruh terhadap terjadinya suatu akibat. Jika mengikuti studi neuroeconomics, di tengah fakta saat ini karena cadangan devisa Indonesia yang mulai tergerus di bawah USD130 miliar akibat konversi instrumen portofolio, struktur ekspor masih mengandalkan produk primer, dan keroposnya struktur industri manufaktur, Indonesia tentu bisa digilas oleh berkat hal itu. Karena itu, tidak ada jalan lain, keputusan afektif menggelorakan nasionalisme ekonomi Indonesia menjadi niscaya. Membangun spirit nasionalisme ekonomi berarti membangun rasa cinta atas kedaulatan dan kemandirian ekonomi nasional. Berarti membangun pula rasa cinta terhadap rupiah, rasa bangga terhadap produk yang dibuat oleh hasil karya rakyat Indonesia, dan bangga atas kemampuan bangsa sendiri. Merujuk Hans Kohn dalam The Idea of Nationalism: A Study In Its Origins and Background (1961), spirit nasionalisme secara fundamental timbul dari adanya national counciousness. Dengan kata lain, nasionalisme adalah formalisasi dan rasionalisasi dari kesadaran nasional berbangsa dan bernegara itu sendiri. Melalui studi neuroeconomics, meniscayakan adanya daya afeksi untuk membangkitkan kesadaran bahwa model peperangan apa pun akan bisa digerakkan jika rakyat memiliki national counciousness. Bangkitnya kekuatan ekonomi China, India, Jepang, Korea Selatan, Turki, dan beberapa negara maju lainnya, karena mereka memiliki sentimen afektif, kebanggaan terhadap bangsanya. Wallahualam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar