Selasa, 27 Maret 2018

Neuroeconomics

Neuroeconomics
Mukhaer Pakkanna  ;   Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta;
Wakil Ketua MEK PP Muhammadiyah
                                                  KORAN SINDO, 26 Maret 2018



                                                           
SELAMA Maret 2018 ini, ada dua titik kritis yang meng­ganggu perekonomian nasional akibat dinamika eko­nomi global. Pertama, kurs rupiah mengalami tekanan hingga Rp13.794/USD (Senin,12/3) yang dipicu sentimen negatif pasar global. Kedua, pidato Presiden Amerika Seri­kat (AS) Donald Trump (Kamis, 8/3) resmi menetapkan ke­naikan tarif bea masuk impor baja sebesar 25% dan alu­mu­nium sebesar 10%.

Soal kurs, berawal pada pidato Gu­bernur Bank Sentral AS (The Fed) yang baru, Jerome Powell di depan Kongres AS, bahwa per­ekonomian AS makin mem­baik dan harus diikuti ke­naikan suku bunga acuan (FFR) secara gradual. Per­nya­ta­an itu me­mantik konversi ins­trumen por­tofolio di ba­nyak negara, ter­masuk Indo­ne­sia, ke instru­men berde­no­mi­nasi dolar AS.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan Surat Berharga Ne­gara (SBN) pun ikut tergerus. De­mikian pula di beberapa negara lain, kursnya ikut terse­ret, misal­nya, Swedia tertekan 5%, Aus­tra­lia 4,5%, India 2,4%, Malay­sia 2,3%, dan lainnya.

Sementara soal kenaikan tarif bea masuk, keputusan itu jelas berpotensi memicu pe­rang dagang, menyusul ne­ga­ra-negara mitra dagang AS, seperti Kanada, Uni Eropa, dan China, siap melancarkan pem­ba­lasan (retaliasi). Mengon­fir­masi data Kementerian Per­da­gangan ­AS (2017), pengimpor alumunium terbesar ke negara Paman Sam adalah Kanada dan Uni Eropa, disusul Korea Se­lat­an, Meksiko, dan Brasil. Ada­pun China dan Rusia meru­pakan ­pengimpor alumunium ke-8 dan 9 ke AS.

Jika dua titik kritis di atas itu berlanjut, Direktur Pelak­sa­na IMF, Christine Lagarde me­nyebut, tidak akan mengun­tung­kan pihak manapun, baik perang mata uang maupun perang dagang justru ber­po­tensi mengganggu pertum­buh­an ekonomi global. Perta­nya­an menarik di balik kekha­wa­tiran perang itu, tentu me­mi­liki implikasi lebih jauh. Ke­pen­tingan dan nasionalisme eko­nomi masing-masing ne­ga­ra, terutama AS, menjadi pertim­bangan utama.

Dengan rasionalitas ke­pen­tingan ekonomi, merujuk studi Coleman (2005), pendekatan kebijakan AS bergerak dari dasar metodologi indivi­dua­lis­me dan menggunakan teori pi­lihan rasional (rational choice) sebagai landasan tingkat mikro untuk mendedahkan fe­nomena ekonomi global. Da­lam konteks itulah ruang ka­jian tentang neuroeconomics men­dapat justifikasi dalam men­deskripsikan solusi feno­mena kegaduhan kedua jenis perang tersebut.

Neuroeconomics
  
Kegaduhan perang mata uang (dagang), merujuk studi James Ricards dalam Currency Wars  (2011), dapat dijelaskan se­cara sederhana. Dalam si­tua­si di mana konsumsi (C) dan investasi (I) melemah, belanja pemerintah (G) tersandera de­f­i­sit, sementara pajak yang ting­gi dan utang membum­bung berisiko untuk digenjot, maka satu-satunya jalan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi adalah dengan men­do­rong net ekspor (X-M).

Menurut Ricards, kebi­jak­an tarif bea masuk dan dum­ping bisa saja dilakukan ken­dati berpotensi mendapatkan reak­si dan sanksi WTO. Selain itu, langkah yang dianggap sim­plistis, cepat, dan legal ada­lah mendevaluasi nilai mata uang sehingga harga ekspor menjadi lebih murah di pasar inter­na­sional. Namun, bagi per­­eko­nomian AS yang dianggap se­bagai pasar raksasa du­nia, lang­kah yang cepat, yakni menaik­kan suku bunga dan kebijakan proteksi atas be­berapa produk dianggap me­le­mah daya saingnya.

Dalam neuroeconomics (Ca­me­rer et al. 2006),  kebijakan mendevaluasi kurs mata uang, menaikkan suku bunga, dan pro­teksi tarif bea masuk men­da­pat justifikasi teoritik. Da­lam neuroeconomics dikaji ba­gai­mana memahami perilaku pengambilan keputusan tat­ka­la seseorang atau institusi meng­hadapi ancaman eks­ter­nal (threat), semisal, meng­gang­gu pasar dalam negeri. Da­lam pengambilan keputusan, studi neuroeconomics melibat­kan aktivitas peta bagian-ba­gian otak dan tugasnya ma­sing-masing.

Namun, ruang neu­roeconomics  juga mem­be­ri­kan petunjuk dari sudut pan­dang berbeda sehingga meng­ubah secara radikal pema­ham­an tentang bagaimana pelaku ekonomi bekerja. Dalam praktik neuroeconomics, memotret manusia seba­gai makhluk yang lebih kompleks dalam mengambil ke­pu­tusan.

Tidak sekadar meng­gu­na­kan potensi rasional melain­kan juga irasional (afektif). Dengan begitu, perilaku ma­nu­sia menurut Camerer et al (2005), sejatinya me­mer­lukan cairan neuron  yang diproduksi oleh inte­raksi antara sistem kognitif dan afektif. Hasil studi Camerer mengonfir­ma­si­kan, bagaimana me­ka­nisme bio­lo­gis menjadi dasar dalam proses emo­si individu, in­te­raksi inter­per­sonal, memahami pikiran, dan membangun strategi da­lam mengambil keputusan.

Dengan demikian, perang mata uang dan perang dagang (pe­rang ekonomi) yang di­lan­carkan Donald Trump tidak se­mata menggunakan ten­densi rasionalitas. Perang eko­no­mi me­miliki agenda bagai­ma­na ancaman perang itu dijadikan pe­luang (oppor­tunity) me­nguat­kan afeksi ke­pentingan politik dan na­sio­nalisme eko­nomi AS.

Ada ke­pentingan penguasaan eko­nomi di atas pen­deritaan ne­gara-negara lain. Dengan de­mi­kian, karena po­sisi masing-masing negara dalam per­gu­mulan perang eko­nomi bersifat asimetris, maka negara-negara yang rentan dan kurang kokoh fundamental eko­nominya, ter­utama dari sisi cadangan devisa, struktur eks­por, struktur in­dus­tri ma­nufaktur, dan struk­tur pro­duksi lokalnya, tentu akan ter­kena dampak luar biasa.

Menyiasati Perang  

Pusat gravitasi kedua mo­del perang itu sejatinya tertuju pada kiblat ekonomi dunia, Amerika. Sejak perjanjian Bretton Woods, dolar AS menja­di kiblat mata uang dunia. Pro­ses “pengkiblatan” itu me­lalui sejarah panjang, karena peran AS terlihat masif dan dominan. Dalam studi neuroe­co­nomics, keputusan men­ja­di­kan dolar AS dan pasar dagang raksasa AS sebagai kiblat bu­kan saja dida­sarkan pertim­bang­an rasionalitas, tapi juga per­timbangan afek­tif, yakni ba­gaimana men­ja­dikan kepen­ting­an ekonomi politik Ame­ri­ka dan sekutunya digdaya da­lam fora inter­nasional.

Di tengah makin per­ka­sa­nya kurs dolar AS dan kian men­determinasi keputusan-ke­pu­tusan politik serta eko­nomi glo­bal, terutama se­men­jak Trump berkuasa, negara-ne­gara non­se­kutu belakangan ma­kin ge­rah. China misalnya, yang me­miliki resource  eko­nomi dan sosial cukup kuat, tampil ter­de­pan melawan.

Di sisi mo­ne­ter, pada Juli 2015, China lihai me­mainkan kebi­jak­an pelemahan kurs yuan dalam me­ning­katkan daya saing ekspor­nya. Semen­tara di sisi fiskal, China me­la­ku­kan kebijakan fis­kal yang pro­aktif, penerapan ke­bi­jakan fi­nansial secara penuh, pe­ning­kat­an belanja pemerin­tah, dan mem­buat pengu­rang­an pajak secara struktural.

Langkah Indonesia

Dalam konteks kewas­pa­da­an perang ekonomi itu, bagai­ma­na dengan Indonesia? Ikut da­lam pusaran arus perang eko­nomi, tentu conditio sine qua non. Artinya, setiap akibat dapat ditentukan sebab-se­bab­nya dan masing-masing sebab memiliki pengaruh ter­ha­dap terjadinya suatu akibat.

Jika mengikuti studi neu­roe­co­no­mics, di tengah fakta saat ini ka­rena cadangan devisa Indo­ne­sia yang mulai tergerus di bawah USD130 mi­liar akibat konversi instru­men porto­fo­lio, struktur ekspor ma­sih meng­andalkan produk pri­mer, dan keroposnya struktur indus­tri manufaktur, Indo­ne­sia tentu bisa digilas oleh be­r­kat hal itu. Karena itu, tidak ada jalan lain, keputusan afek­tif meng­ge­lorakan nasionalisme ekonomi Indonesia menjadi niscaya.

Membangun spirit nasio­na­lisme ekonomi berarti mem­ba­ngun rasa cinta atas ke­dau­lat­an dan kemandirian ekonomi nasional. Berarti membangun pula rasa cinta terhadap rupiah, rasa bangga terhadap produk yang dibuat oleh hasil karya rak­yat Indonesia, dan bangga atas ke­mampuan bangsa sendiri.

Me­rujuk Hans Kohn dalam The Idea of Nationalism: A Study In Its Origins and Background  (1961), spirit nasionalisme secara fun­da­mental timbul dari adanya na­tio­nal counciousness. Dengan kata lain, nasionalisme adalah forma­li­sasi dan rasionalisasi dari ke­sa­daran nasional ber­bangsa dan ber­negara itu sendiri.

Melalui studi neuroec­o­no­mics,  meniscayakan adanya daya afeksi untuk membang­kit­kan kesa­dar­an bahwa model pe­perangan apa pun akan bisa digerakkan jika rakyat memiliki national coun­ci­ous­ness. Bang­kitnya kekuatan ekonomi China, India, Jepang, Korea Se­latan, Turki, dan beberapa ne­gara maju lainnya, ka­rena me­reka memiliki sentimen afektif, kebanggaan terhadap bang­sa­nya. Wallahualam.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar