Kamis, 29 Maret 2018

Keamanan Siber dan Ketahanan Nasional

Keamanan Siber dan Ketahanan Nasional
Muhammad Farid  ;   Fellow pada Lembaga Ketahanan Nasional
Republik Indonesia
                                              MEDIA INDONESIA, 29 Maret 2018



                                                           
KABAR menggemparkan datang dari jagat dunia maya dalam beberapa hari terakhir ini. Betapa tidak, pada 19 Maret 2018 lalu, pendiri dan pemilik media sosial terkenal Facebook, Mark Zuckerberg, kehilangan kekayaannya sebesar Rp67,5 triliun atau US$4,9 miliar hanya dalam waktu satu hari. Ini terjadi menyusul terungkapnya penggunaan data 50 juta pengguna Facebook tanpa izin oleh perusahaan konsultan berbasis di Inggris Cambridge Analytica yang bekerja sebagai bagian dari tim suksesi Presiden AS Donald Trump.

Di luar kejadian di AS, media berbasis di Singapura, Straits Times (online) pada 20 Maret 2018 melaporkan bahwa oposisi di Malaysia mempertanyakan keterlibatan Cambridge Analytica dalam kemenangan Barisan Nasional (BN) pada pemilihan umum di negara itu tahun 2013. Kantor PM Malaysia pun telah membantah BN atau pemerintah Malaysia pernah menggunakan jasa Cambridge Analytica seperti dituduhkan.

Kasus-kasus yang terjadi belakangan ini tidak ayal merupakan pelajaran akan pentingnya keamanan siber (cyber security). Secara umum, Profesor Hukum di SJ Quinney College, University of Utah, AS, Amos N Guoira, mengatakan keamanan siber dapat dipahami sebagai usaha melindungi informasi, komunikasi, dan teknologi dari bahaya yang terjadi, baik sengaja maupun tidak.

Lebih jauh, keamanan siber dapat dipahami sebagai usaha untuk menjamin kerahasiaan, integritas, ketersediaan berbagai data, sumber, serta proses melalui kontrol administratif, fisik, dan teknis.

Keamanan siber dan asta gatra

Bagi Indonesia, keamanan siber menjadi sangat vital karena sangat erat terkait informasi, data, dan sumber tentang delapan gatra atau asta gatra yang menyusun ketahanan nasional, yaitu geografi, sumber kekayaan alam (SKA), demografi, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan (hankam).

Sebagai ilustrasi, menurut Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2017, pengguna internet di Indonesia mencapai 143,26 juta jiwa atau 54,68% dari total populasi Indonesia yang mencapai 262 juta jiwa (Kompas, 19 Februari 2018).
Jumlah ini meningkat dari pengguna internet di Indonesia yang mencapai 132,7 juta atau 51,5% dari total populasi Indonesia sebesar 256,2 juta jiwa (Media Indonesia, 5 Mei 2017).

Angka-angka itu tentu tidak berhenti sampai di situ saja karena dapat dijabarkan lebih jauh ke komposisi umur pengguna internet, sebaran pengguna internet, hingga preferensi pengguna internet. Dengan demikian, angka-angka pengguna internet sebenarnya sudah dengan mudah menggambarkan data-data terkait gatra demografi, geografi, hingga politik, ekonomi, dan sosial budaya yang tergambar dari preferensi pengguna internet.

Pada konteks itu, jika keamanan siber tidak dikelola dengan baik, data-data pengguna internet tentu berpotensi disalahgunakan pihak-pihak tertentu sehingga dapat mengganggu atau bahkan mengancam gatra pertahanan dan keamanan nasional.

Kita menyadari bahwa proses politik di dalam negeri, baik pada tataran lokal (pemilihan kepala daerah atau pilkada) maupun tingkat nasional sudah sulit dipisahkan dengan aktivitas dunia siber, terutama dalam penggunaan media sosial (medsos). Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ada pihak tertentu menggunakan medsos sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan politiknya dengan menyebarkan hoaks, kampanye hitam, maupun ujaran kebencian–biasanya melalui akun palsu.   

Kasus seperti itu sudah demikian serius sehingga sentimen yang menjurus perpecahan muncul ke permukaan, misalnya pada saat berlangsungnya pilkada di Jakarta tahun 2017 lalu. Di Indonesia, kasus penyalahgunaan aktivitas siber atau media sosial bisa dikatakan sudah sangat memprihatinkan. Ini bukan tanpa alasan, karena menurut Facebook, Indonesia bersama India dan Filipina menjadi salah satu negara penyumbang akun palsu terbanyak di dunia.     

Hingga Desember 2017, jumlah akun palsu Facebook di seluruh dunia mencapai 200 juta dari total 2,13 miliar akun aktif media soial itu.
Lebih luas, dalam konteks global, tanpa adanya keamanan siber yang memadai, data-data yang terkait dengan asta gatra ketahanan nasional tentu dapat dengan mudah dimanipulasi kekuatan asing ataupun aktor nonnegara untuk kepentingan yang dapat mengganggu atau mengancam ketahanan nasional.

Penguatan

Berbicara keamanan siber dalam ketahanan nasional tentu tidak dapat dilepaskan dengan geopolitik. Secara umum, geopolitik dapat dijabarkan sebagai letak geografis suatu negara dalam kaitan dengan posisinya dalam konstelasi politik dan hubungan internasional, dengan memahami konsepsi ruang, konsepsi frontier (batas imajiner dari dua negara), konsepsi kekuatan politik, dan konsepsi keamanan negara.  Selain aktor negara, geopolitik sangat dipengaruhi peran dan legitimasi aktor nonnegara, seperti korporasi atau LSM yang semakin menguat.

Dengan demikian, dapat dikatakan, penguatan keamanan siber tidak terlepas dari tiga unsur, yaitu negara, aktor nonnegara, dan individu. Dalam skala nasional, pemerintah sudah mempunyai lembaga-lembaga dan perangkat hukum dalam negeri yang berkaitan keamanan siber. Bahkan beberapa waktu lalu telah dilakukan tindakan hukum terhadap pihak-pihak yang diduga menyebarkan hoaks melalui medsos.

Akan tetapi, kita tidak dapat memungkiri keberadaan penyediaan jasa layanan siber di Indonesia yang dilakukan oleh aktor nonnegara, dalam hal ini korporasi, yang tidak berbadan hukum Indonesia. Pada konteks ini terlihat bahwa pemerintah perlu mengkaji lebih dalam aspek-aspek hukum internasional yang berkaitan dengan akitivitas siber global dalam konteks mempertahankan kepentingan nasional. Ini dibutuhkan sebagai kerangka hukum bagi pemerintah dalam menggawangi aktivitas siber yang dilakukan aktor global agar tidak mengganggu kepentingan nasional.

Yang tidak kalah penting ialah edukasi keamanan siber bagi perorangan atau individu. Upaya ini dapat dimulai dari hal yang paling sederhana, seperti sosialisasi atau kampanye pentingnya menjaga kerahasiaan kata sandi (password) surat elektronik (e-mail), medsos, hingga aktivitas e-banking, termasuk perlunya mengubah kata sandi itu secara berkala. Dalam konteks penggunaan medos, diperlukan edukasi lebih jauh tentang perlunya menjaga privasi, mengenali akun palsu, hingga menyaring informasi yang tersebar. Bagaimanapun, individu merupakan aktor paling mikro dalam aktivitas siber global dan sangat menentukan bagi ketahanan nasional.

1 komentar: