Mengantisipasi
Perang Dagang
A Prasetyantoko ; Ekonom di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
|
KOMPAS,
27 Maret
2018
Minggu lalu, fluktuasi
pasar keuangan domestik cenderung intensif. Pertama, merespons pengumuman
Jerome Powell, gubernur baru Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, yang
untuk pertama kalinya memimpin rapat dan langsung menaikkan suku bunga
referensi 25 poin menjadi 1,75 persen.
Kenaikan suku bunga ini
diikuti beberapa bank sentral utama dunia, seperti European Central Bank
(ECB) dan People’s Bank of China (PBC). Bank Indonesia memilih tak mengubah
suku bunga acuan setelah mempertimbangkan dampak yang dinilai netral.
Kedua, akibat keputusan
Presiden AS Donald Trump menerapkan tarif atas produk China. Pada akhir
minggu lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah sekitar 0,70
persen ke level 6.210. Padahal, pada awal tahun sempat menyentuh level
tertinggi pada kisaran 6.600. Nilai tukar juga melemah mendekati Rp 13.800
per dollar AS.
Mengapa, meski
perekonomian domestik kuat, sektor keuangan cenderung rentan terhadap
dinamika eksternal? Perekonomian kita yang kecil dan terbuka menjadikan kita
sensitif terhadap dinamika global. Apalagi, belakangan ini fenomena
ketidakseimbangan global kembali mengemuka. Ketidakseimbangan global ini juga
diyakini menjadi penyebab utama krisis keuangan global pada 2008. Setelah
satu dekade, persoalan ketidakseimbangan global masih tetap relevan.
Keputusan Presiden Trump menaikkan
tarif barang asal China, khususnya produk baja dan aluminium, tidak bisa
dipisahkan dari fakta melebarnya defisit perdagangan AS. Pada 2008, total
defisit barang dan jasa AS mencapai hampir 700 miliar dollar AS, terutama
dengan China. Di sisi lain, cadangan devisa China melonjak dari sekitar 450
miliar dollar AS pada awal 2000-an menjadi sekitar 2,5 triliun dollar AS pada
2009. Peningkatan terjadi akibat surplus perdagangan yang begitu masif,
khususnya terhadap AS.
Dalam upaya menyelesaikan
krisis finansial, Pemerintah AS menerbitkan surat utang secara masif dan
China menjadi salah satu pemegang surat utang terbesar. Dari kacamata awam,
China dianggap telah ”mencuri” kekayaan orang AS melalui perdagangan.
Kemudian, mengendalikan Pemerintah AS dengan cara menguasai kepemilikan surat
utang.
Itulah kampanye jitu yang
diyakini menjadi salah satu penentu kemenangan Trump. Kini Trump mulai
merealisasikan janjinya untuk membatasi produk China agar praktik ”pencurian”
tersebut bisa dihentikan.
Keputusan ini mengundang
polemik. Pertama, dampak pembatasan produk China justru menghantam industri
domestik AS sendiri, khususnya sektor penerbangan, otomotif, dan industri
lain yang menggunakan bahan baku baja dan aluminium. Kedua, tindakan AS akan
mengundang reaksi pembalasan sehingga perang dagang tidak terelakkan.
Pemerintah China sudah
menyiapkan 128 jenis produk AS senilai sekitar 3 triliun dollar AS untuk
dikenakan tarif sebagai tindakan balasan. Oleh karena itu, pasar keuangan
global bereaksi negatif, yakni hampir semua pasar keuangan di seluruh dunia
merosot.
Mungkin gejolak sektor
keuangan ini bersifat sementara. Namun, ketidakseimbangan global bukanlah
fenomena jangka pendek. Ketidakseimbangan global ini merupakan isu fundamen
yang tak sekadar berdimensi ekonomi, tetapi juga politik.
Mengapa Trump membuat
pengecualian kebijakan kenaikan tarif untuk kelompok negara mitra, seperti
Korea Selatan, Jepang, Australia, dan kelompok negara NATO lainnya? Jelas
sekali AS ingin fokus pada China, yang mungkin targetnya menarik China ke
meja perundingan.
Martin Feldstein, profesor
ekonomi Universitas Harvard, termasuk segelintir yang ”memahami” keputusan
Trump. Menurut Feldstein, China memang telah merencanakan ”pencurian”
sistematis di segala bidang secara matang dan terukur, termasuk mencuri
kekayaan intelektual. Intinya, hubungan China dan AS diwarnai dinamika yang
rumit, berdimensi ekonomi, politik, dan bahkan militer.
Dinamika
Lalu, bagaimana kita
mengantisipasi dinamika tersebut? Tidak bisa dimungkiri, secara umum dunia
cenderung bergerak ke arah protektif. Oleh karena itu, aliran perdagangan
global akan melemah di masa depan. Akibatnya, ekspor kita tak bisa diharapkan
meningkat dalam jangka menengah. Dalam jangka pendek, mungkin kita
diuntungkan dengan kenaikan harga komoditas sehingga nilai ekspor kita
terdorong ke atas. Namun, dalam jangka menengah, ekspor berbasis komoditas
yang hanya terkonsentrasi ke pasar tradisional sama sekali tidak bisa
diharapkan. Agendanya jelas, melakukan diversifikasi produk ekspor dan
menemukan pasar baru. Selain itu, ketergantungan kita pada sektor jasa asing
juga harus dikurangi secara signifikan.
Mengapa penting, karena
neraca perdagangan, khususnya jasa, akan menentukan aliran modal asing yang
masuk ke pasar domestik. Semakin kecil ekspor kita, sementara ketergantungan
pada jasa asing tetap tinggi, menyebabkan defisit neraca transaksi berjalan
semakin lebar. Defisit transaksi berjalan harus ditutup dengan mengundang
lebih banyak modal asing melalui berbagai instrumen, khususnya investasi
portofolio. Semakin besar dominasi modal asing di pasar keuangan kita, maka
sektor keuangan kita juga makin rentan gejolak.
Agenda besar lain yang
harus dikerjakan adalah menggali pendanaan dari perekonomian domestik agar
ketergantungan pada modal asing bisa secara bertahap bisa dikurangi.
Masalahnya, kalaupun dilakukan secara benar, hasilnya baru akan dinikmati
beberapa tahun ke depan. Memperdalam pasar keuangan merupakan isu jangka
panjang yang akan memecahkan dua soal besar sekaligus, yaitu stabilitas dan
intermediasi.
Dalam jangka pendek,
fokusnya menjaga stabilitas. Pertama, otoritas moneter harus siap
mengorbankan cadangan devisa untuk menjaga rupiah tidak terdepresiasi tajam.
Kedua, otoritas keuangan harus mengantisipasi gejolak di pasar saham dan
obligasi agar tidak tergerus tajam.
Sementara agenda jangka
panjangnya ada dua. Pertama, meningkatkan daya saing produk ekspor sambil
mengurangi ketergantungan sektor jasa. Kedua, memperdalam sektor keuangan
agar komposisi investor domestik terus meningkat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar