Menjadi
Dewasa dalam Berbangsa
Haedar Nashir ; Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2015-2020
|
REPUBLIKA,
25 Maret
2018
Bani Israel mengalami
kekacauan peradaban di tangan diktator Firaun, konglomerat hitam Qarun, dan
birokrat korup Hammam. Adolf Hitler, Mussolini, dan para tokoh pongah
mengobarkan Perang Dunia II sebagai tragedi kelam dalam sejarah abad modern.
Pada lintasan sejarah
bangsa-bangsa di seantero buana selalu hadir sosok-sosok fasad fil-ardl yang
merusak tatanan kehidupan. Jenghis Khan mengobarkan ekspansi yang mengalirkan
darah jutaan insan. Prancis hancur di tangan rezim otoritarian Raja Luis XVI.
Vietnam menjadi “The Killing Field” atau ladang pembantaian oleh tangan besi
rezim Pol-Pot.
Dunia akhir-akhir ini juga
menjadi gaduh oleh kepongahan presiden negara adidaya yang menjadikan
Yerusalem sebagai ibu kota Israel secara sepihak. Sikap politik ultraradikal
tersebut kian menambah arogansi Israel yang terus mengobarkan agresi di Timur
Tengah. Sebuah kepongahan politik global yang sampai kapan pun akan menjadi
sumber petaka kehidupan antarbangsa.
Sederet petualang dan
pialang politik masih dapat didaftar dari A sampai Z di negeri mana pun.
Mungkin tidak selalu memiliki posisi puncak dalam kekuasaan, tetapi memiliki
sikap digdaya ala Hitler atau Firaun. Virus kuasa menjalar dalam dirinya
hingga merasa paling perkasa untuk menebar ancaman dan berbuat sekehendaknya.
Para elite dan anak bangsa
perlu belajar sejarah dari bangsa-bangsa lain dan di negeri sendiri dari
sejumlah peristiwa dramatis akibat ulah sosok-sosok angkuh yang merasa paling
berkuasa. Sikap pongah karena kuasa takhta, harta, ilmu, dan kedudukan apa
pun yang menjadikan dirinya perkasa sering menyeret kehidupan pada anarki,
yang serbagaduh dan kacau.
Virus
digdaya
Takhta, harta, ilmu, dan
segala kuasa dunia dapat menjadikan manusia pongah diri. Meski kuasa atas
segala perhiasan dunia itu sifatnya nisbi dan fana, tidak jarang manusia lupa
diri seraya menjadikannya mutlak dan abadi. Dari persepsi kuasa dunia yang
diabsolutkan itulah tumbuh benih pongah, angkuh, sombong, dan takabur diri.
Lalu lahirlah sikap-sikap sewenang-wenenang dan sekehendak diri yang
melampaui takaran. Si empunya di mana pun dia berada selalu merasa diri
paling digdaya.
Virus takabur diri mekar
karena manusia merasa digdaya atau serbakuasa. Firman Allah yang artinya: “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia
benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serbacukup.” (QS
al-‘Alaq: 6-7).
Dalam hadis Nabi, ciri
orang pongah atau takabur ialah batharu
al-haq (menolak kebenaran) dan ghamtu
al-nas (merendahkan orang lain). Dirinya merasa paling benar sehingga
tidak mau menerima pandangan orang lain. Pendapat apa pun salah jika datang
dari pihak lain meskipun isinya benar.
Sebaliknya, jika keluar
dari kalangan sendiri, selalu dianggap benar meskipun salah. Salah dan benar
bukan dari substansinya, melainkan dari mana datang muasalnya. Kebenaran
menjadi sangat situasional bergantung pada subjeknya. Akibatnya, tak ada
objektivitas dan keadilan, yang muncul subjektivitas dan sikap berat sebelah.
Sikap pongah juga
ditunjukkan dengan perangai suka merendahkan orang lain. Karena merasa hebat
dan kuasa, maka siapa pun direndahkan posisi dan martabatnya agar dirinya
tetap kokoh. Mereka yang bertakhta memperlakukan buruk kepada siapa pun yang
ada di bawahnya.
Mereka yang berharta
memperlakukan kaum papa sekehendaknya, bahkan mengeksploitasinya. Mereka yang
berilmu tinggi merendahkan orang awam dan siapa pun yang dianggap rendah
pengetahuannya. Kepongahan itulah yang menjadikan siapa pun berperangai
sewenang-wenang, rakus, dan ugal-ugalan seolah dirinya pemilik dan penentu
segala denyut nadi kehidupan di muka bumi.
Kepongahan sebenarnya
tidak menunjukkan kedigdayaan manusia, tetapi menggambarkan belum
akil-balignya sang subjek selaku insan dewasa. Nabi bersabda yang artinya, “Orang pandai ialah orang yang rendah hati
dan beramal untuk bekal sesudah mati. Dan orang bodoh ialah orang yang
memperturutkan hawa nafsunya dan mengharapkan kepada Allah dengan berbagai
harapan dan angan-angan hampa.” (HR Bukhari).
Sikap pongah itu meniru
perangai Fuehrer dan Firaun yang secara langsung maupun tak langsung
menunjukkan luruhnya jiwa hanif pada diri seseorang selaku makhluk Tuhan yang
mulia.
Sungguh tak ada guna
bersombong diri, baik dengan sesama Muslim maupun pihak lain. Sikap takabur
itu sesungguhnya menunjukkan kedunguan manusia. “Dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan berlagak sombong,
karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi, dan engkau tidak
akan dapat menyamai setinggi gunung-gunung.” (QS al-Isra: 37).
Demikian peringatan Tuhan
kepada siapa pun yang pongah dalam hidupnya. Nabi pun mengingatkan, ”Tidak akan masuk surga orang yang dalam
hatinya ada sifat sombong walaupun hanya seberat biji sawi.” (HR Muslim).
Namun, virus kepongahan
selalu bersembunyi dalam diri setiap insan yang merasa dirinya benar dan
digdaya. Apakah pejabat, ilmuwan, hartawan, tokoh agama, hingga rakyat biasa
jika terkena virus takabur diri sama perangainya berbuat sekehendaknya.
Dalam memperjuangkan
kebenaran sekalipun, mereka yang terjangkiti virus takabur merasa paling
benar sendiri sehingga menjadi true
believer atau pemilik keyakinan buta yang berlebihan terhadap pikirannya
sendiri. Dialah yang paling benar, pihak lain salah, sehingga selalu bersikap
absolut paling benar sendiri.
Kuasa harta berlimpah
dapat pula menjadikan siapa pun sebagai monster kehidupan ala Qarun. Segala
aset bumi, air, udara, dan kekayaan negeri dikuasainya secara rakus hingga
seluruh sudut negara menjadi miliknya. Mereka sedikit tetapi menurut World
Bank dapat menguasai 55,5 persen kekayaan Indonesia.
Kelompok kecil ini dapat
membeli apa pun, bahkan menjadi pemilik modal atau bohir dalam setiap
kontestasi politik. Kuasa ekonomi berlebih inilah yang menyebabkan
kesenjangan sosial tinggi dan mayoritas rakyat sengsara.
Kepongahan karena kuasa
takhta tak kalah garang. Dengan kuasa di tangan, siapa pun secara leluasa
dapat mengancam dan menentukan nasib orang lain secara semena-mena. Di masa
Orde Lama, para ilmuwan kritis seperti Buya Hamka dan HB Jassin dipenjara.
Rezim Orda Baru di ujung kekuasaannya juga mempraktikkan politik tangan besi.
Kedudukan tinggi sering
membuat orang ugal-ugalan. Salah dan benar tidak peduli, yang penting
perkasa. Negara dan bangsa seolah miliknya sendiri, lupa kalau negeri ini
milik bersama seluruh komponen dan warga bangsa.
Padahal, sejatinya
kekuasaan yang ada di tangan siapa pun itu sungguh fana, tiada yang mutlak
dan abadi. Kekuasaan itu titipan Tuhan yang bisa diberikan atau sebaliknya
dicabut kapan pun oleh-Nya, sebagaimana firman-Nya: “Katakanlah, ‘Wahai Tuhan
Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau
muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau
kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau
Mahakuasa atas segala sesuatu.’” (QS Ali ‘Imrân: 26).
Lalu, untuk apa sebenarnya
manusia takabur diri dan merasa paling digdaya?
Spirit
kebersamaan
Di negeri ini tak boleh
ada orang atau golongan pongah yang bersikap paling benar dan digdaya
sendiri. Indonesia itu milik semua, ia tegak di atas bangunan kebersamaan.
Mereka yang mendapatkan mandat kekuasaan penting memberikan ruang bagi pihak
yang di luar pemerintahan untuk menjalankan fungsi kritik dan berkontribusi
membangun negeri sehingga tidak monolitik dan bersikap otoritarian.
Sebaliknya, siapa pun yang
ada di luar pagar pemerintahan perlu belajar lapang hati dan tetap berkhidmat
membangun bangsa dengan jiwa kenegarawanan tinggi. Satu sama lain dalam
posisi yang berbeda dapat saling berkomunikasi, berdialog, saling kritik
secara argumentatif, berbagi, dan sama-sama berkhidmat untuk negeri secara
elegan layaknya para negarawan demi kejayaan bangsa dan negara.
Mereka yang besar
mengayomi yang kecil, yang kecil menghormati yang besar. Kebersamaan dibangun
di atas perbedaan tanpa perlu menyatukan keberbedaan menjadi satu warna.
Mereka yang memiliki akses dan aset besar secara ekonomi dan politik mesti
mau berbagi dan berkiprah menegakkan keadilan sosial bagi semua serta
menjauhi sikap rakus yang tak berkesudahan.
Golongan mana pun penting
untuk saling asah, asih, dan asuh secara autentik dan tidak mengembangkan
sikap dan tindakan manipulasi yang merusak keutuhan berbangsa bernegara.
Keberagaman itu anugerah Allah yang mesti dirawat dan diberi makna luhur
secara tulus dan jujur untuk kehidupan bersama.
Bung Karno memberi pesan
luhur untuk seluruh anak bangsa, “Kita hendak mendirikan suatu negara semua
buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan
bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua."
Maka ketika ada keresahan
di tubuh bangsa ini akan berbagai ketimpangan dan ketidakadilan, semuanya
perlu berintrospeksi diri. Jangan ada siapa pun di negeri ini yang bebas
dalam keserakahan dan kerakusan, yang menyebabkan mayoritas anak bangsa hidup
tak beruntung dan menjadi budak di negerinya sendiri. Indonesia tidak boleh
dibiarkan menjadi milik segelintir orang yang tidak bertanggungjawab.
Para tokoh bangsa juga
dituntut jiwa kenegarawanannya untuk mendahulukan kepentingan negara dan
rakyat di atas segalanya. Bukan menuruti ego sendiri yang berlebihan. Beri
keteladanan untuk satu sama lain saling mau bersilaturahmi, berdialog, bekerja
sama, dan saling berbagi layaknya para negarawan sejati. Luruhkan ego-ego
perkasa yang merasa diri paling benar dan digdaya seraya bangun kebersamaan
antartokoh yang dapat memimpin bangsa ini makin maju dan berkeunggulan. Bukan
saling menajamkan perbedaan dan silang sengketa yang menjadikan retak sesama
anak bangsa serta membawa pada runtuhnya bangunan berbangsa dan bernegara.
Pada keyakinan buta setiap
orang, di mana pun tidak akan pernah ada ruang dialog dan saling bertukar
pandangan, yang mencuat ialah sikap saling memaksakan dan menegasikan.
Pandangan ultranasionalis, ultraagamis, ultraideologis, serta berbagai
pikiran ekstrem atau radikal pun keluar dari kepongahan jenis ini.
Masing-masing merasa benar
sendiri sambil menutup diri dalam sangkar-besi apologia yang naif, kerdil,
dan pongah. Setiap pikiran dan ujaran pun disertai aura marah dan keangkuhan.
Ilmuwan pun dapat berubah menjadi kaum apologia yang angkuh dengan
kuasa-ilmunya karena tak menyertakan kearifan dan sikap budi luhur.
Belajarlah pada sudut
kelam dari sejarah bangsa ini agar tak diulangi hari ini. Para tokoh bangsa
yang bersuara kritis digiring ke penjara karena berbeda pandangan dengan
penguasa. Tak perlu ada palu godam keangkuhan kuasa dalam menyikapi suara
kritis dan perbedaan pandangan.
Sikap kritis para elite
pun tetap meniscayakan kearifan agar tampak elok dan berjiwa negarawan,
seraya lapang hati membuka ruang dialog yang mencerahkan tanpa merasa benar
sendiri. Semua pihak perlu saling menundukkan diri dalam keagungan sikap kenegarawanan
sejati demi menjaga keutuhan dan masa depan negeri yang sarat masalah dan
tantangan tak ringan.
Belajar pula pada jiwa
kenegarawan tokoh bangsa di masa pergerakan dan awal Indonesia merdeka.
Setajam apa pun perselisihan pandangan antara Soekarno dan Mohammad Natsir,
keduanya masih membuka dialog dan saling menghormati dalam kenegarawanan yang
tinggi. Natsir yang Islamis berkawan dekat dengan J Kasimo, tokoh Katholik
yang rendah hati.
Natsir bahkan secara
personal berhubungan baik dengan Aidit dan Hatta di kala terlibat dalam
perdebatan sengit secara politik dan ideologi. Jejak emas para tokoh bangsa
itu dapat menjadi pelajaran berharga bagi para elite bangsa saat ini untuk
makin dewasa sebagai garda negarawan dan begawan nan cerdas bijaksana menuju
Indonesia milik bersama yang berkemajuan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar