Sabtu, 24 Maret 2018

Luhut, Amien, dan Sertifikat Tanah Itu

Luhut, Amien, dan Sertifikat Tanah Itu
Nyoto Santoso  ;   Dosen Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
                                                  KORAN SINDO, 23 Maret 2018



                                                           
SUHU politik nasional memanas. Dua politisi senior-Amien Rais  (AR) dan Luhut Binsar Pan­jaitan (LBP)- saling adu opini pe­ri­hal kebijakan sertifikasi tanah untuk orang miskin. Me­nurut AR, kebijakan sertifikasi tanah adalah sebuah peng­ibulan pu­blik. Sementara bagi LBP, ke­bi­jakan tersebut merupakan ke­be­rpihakan negara ke­pada rak­yat kecil untuk menyejahterakan petani gurem. Sama sekali bukan pengibulan.

Publik di dunia nyata dan di dunia maya pun terpecah. Se­ba­gian berpihak kepada AR. Sebagian lagi berpihak kepada LBP. Mana yang benar? Mung­kin­kah kedua opini itu disin­kron­kan sehingga menim­bul­kan resultante kebijakan yang hebat dan bermanfaat untuk rakyat?

Sejak era pemerintahan Pre­­siden Joko Widodo (Jo­ko­wi), AR memang menjadi to­koh opo­sisi. Ketua Dewan Pertim­bangan PAN itu kerap mengkritik pemerintahan Jo­ko­wi de­­ngan bahasa yang keras dan vul­gar. Soal tuduhan pem­bo­hongan publik itu, mi­sal­nya, di­lontarkan AR ketika ia ber­bi­cara di forum Bandung In­for­mal Meeting  di Hotel Sa­voy Hom­man (18/3) lalu. AR  me­nya­ta­kan program bagi-bagi ser­ti­fi­kat tanah itu merupakan pem­bohongan.  Ke­na­pa? Kata Amien, Jokowi me­lu­pakan subs­­tan­sinya: bahwa 74% ta­nah di Indonesia di­kua­sai ke­lom­pok tertentu dan pe­me­rintahan Jokowi mem­biar­kannya.

Pernyataan AR yang keras itu mengagetkan. LBP, Menko Kemaritiman yang dianggap dekat dengan Presiden Jo­ko­wi, langsung bereaksi. “Pernya­taan AR menyesatkan,” ka­tanya. “AR pun bukan orang yang bersih-bersih amat,” lan­jutnya. LBP siap membuka ke-dok AR jika ia tetap me­nyu­dut­kan pemerintah.
Menanggapi perang opini yang memecah publik ini Pe­muda Muhammadiyah hen­dak membuat panggung ter­bu­ka untuk AR dan LBP. Tu­ju­annya menjernihkan per­ma­salahan “tanah” tersebut. Be­tulkah kebijakan Presiden Jo­kowi yang memberikan ser­ti­fikat tanah kepada petani mi­s­kin itu se­buah pembohongan? Lalu se­jauh mana pembagian ser­ti­fi­kat tanah itu berhasil meng­ang­kat perekonomian rakyat kecil?

Seorang warganet yang tergabung dalam FB Kampung UGM, Priyo Sudarmo, menulis status: yang marah atas per­nya­­taan Pak Amien (AR) bu­kan hanya Pak Luhut (LBP). Ta­pi ba­nyak orang, terutama para pe­tugas Pendaftaran Ta­nah Sis­tem Lengkap ( PTSL)  yang di­la­kukan Badan Perta­nah­an Na­sional (BPN). PTSL itu mem­bantu masyarakat un­tuk memu­dahkan proses ser­tifikasi tanah. Hasilnya: tanah yang di­sertifikasi akan mampu meng­gerakkan dan me­ma­jukan per­ekonomian ma­sya­ra­kat bawah.

Kenapa? Sertifikat yang di­miliki oleh masyarakat bisa menjadi barang berharga yang bisa mereka agunkan kepada bank atau lembaga keuangan.

Tak bisa dimungkiri, pro­gram sertifikasi tanah ter­se­but sangat bermanfaat. Ta­nah-tanah negara seperti milik Per­hutani atau BUMN lain yang idle  dan telantar, yang se­lama ini diberdayakan petani, se­te­lah disertifikasi menjadi se­sua­tu yang punya nilai fi­nansial. Petani pun tidak takut digusur petugas BUMN yang tanah “nganggurnya” diber­da­yakan. Mereka tenang ber­co­cok tanam atau berkebun. Bah­kan lebih jauh lagi, sertifikat  tersebut bisa jadi agunan di bank dan lembaga keuangan lain.

Tak hanya itu. Sertifikasi tanah juga bisa meminimalkan konflik pertanahan di ma­sya­rakat. Ini karena semua tanah yang terdaftar terpetakan de­ngan rapi.

Sebagai gambaran, ser­ti­fi­kasi tanah di Kabupaten Bo­gor, pada tahun 2017, men­capai 80.000 bidang tanah. Yang me­narik, kata Bupati Bogor Nur­hayanti, masya­ra­kat di kam­pung-kampung yang tanahnya mendapat ser­ti­fikat, eko­no­minya tumbuh. Ka­rena para petani bisa men­dapat pinjaman bank dengan me­ng­agun­kan sertifikat tanah ter­sebut. Di Bogor, kata Nur­­­hayanti, dari 2.000.000 bidang tanah, yang diser­ti­fikasi baru 700.000-an bi­dang. Jika pro­gram ser­tifikasi tersebut se­le­sai, niscaya ekonomi ma­sya­­ra­kat akan tum­buh. Rak­yat ke­­­­cil tidak bo­doh. Jika ada modal dan pe­luang bis­­nis, mereka bi­sa ber­­gerak sen­diri. Dari gam­­baran ser­ti­fi­ka­si tanah di Bogor, terli­hat betapa be­sar ma­n­­faat yang di­per­oleh ma­sya­­ra­kat, khususnya rakyat kecil.

Jadi, tidak benar sertifikasi tanah tersebut tidak ber­man­faat dan hanya pengibulan. Jika sertifikasi tanah untuk rak­yat itu sudah mencapai se­luruh In­do­nesia, niscaya ada pe­ning­katan ekonomi yang luar biasa. Khususnya di te­ngah rakyat kecil yang selama ini tak pu­nya akses keuangan di perbankan dan lembaga ke­uangan lain.
UU Land Re­form

Sebaliknya kritik AR juga tidak sesat-sesat amat. Ke­na­pa? Faktanya memang se­ge­lin­tir orang memiliki tanah yang luas sekali, bisa mencapai ju­taan hektare (ha). UU Land Re­form yang memihak rakyat, misalnya, sampai hari ini tidak jelas keberadaannya. Tidak adanya UU Land Reform yang memihak rakyat inilah yang menyebabkan banyak kasus rakyat tergusur dari tempat kelahiran dan mata pen­ca­ha­riannya. Pemerintah lebih me­mihak pemilik modal besar un­tuk perkebunan, tanaman in­dustri, pertambangan, dan lain-lain.

Sebagai gambaran, konflik pemegang HGU (hak guna usaha) perkebunan melawan petani setempat, konflik an­tara pemegang IUP (izin usaha pertambangan) dan pe­mang­ku hutan adat (masyarakat), an­tara pengembang dan rak­yat miskin, dan antara kon­trak­tor pembangunan infra­struktur dan petani pemilik lahan masih terus terjadi sam­pai sekarang. Berdasarkan data, saat ini per­untukan ta­nah untuk per­ke­bunan sawit su­dah mencapai 8,9 juta ha. Dari penguasaan ta­nah sangat luas itu, 59% be­r­konflik de­ngan rakyat.  Kon­fliknya me­liputi 591 kasus di 22 provinsi dan 143 kabupaten.

Di sektor kehutanan, mi­salnya, peruntukan hutan ba­gi industri mencakup 9,39 juta ha (262 perusahaan), se­men­tara Hutan Tanaman Rak­yat hanya berkisar 631.628 ha. Di pihak lain, petani In­do­nesia rata-rata hanya me­ngua­sai 0,25 ha tanah, se­dangkan 85% rumah tangga petani adalah petani gurem dan tak bertanah. Dari data Kon­sor­sium Pembaruan Ag­raria (KPA) tahun 2015, misalnya, terj­a­di 252 konflik agraria dengan luas tanah 400.430 ha. Dan kon­flik tersebut se­di­kit­nya menyeret 108.714 keluarga. Akibatnya korban tewas seba­nyak 5 orang, ter­tem­bak 39 orang, dianiaya 124 orang, dan di­ta­han 278 orang.

Gambaran di atas me­nunjukkan bahwa per­soalan tanah dan kepemilikannya belum terse­le­sai­kan, dari zaman ke zaman. Pa­dahal masa­lahnya simpel saja jika semua pihak yang berke­pen­tingan mengacu pada Pasal 33 UUD 45. Pasal 33 tersebut ber­bu­nyi: “Bumi dan air dan keka­yaan yang terkan­dung di da­lamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan un­tuk se­besar-besar ke­makmuran rak­yat.“

Jika kita telaah, isi pasal di atas bermakna bahwa segala sesuatu mengenai sumber daya alam termasuk di dalamnya bumi, air beserta kekayaan alam lain yang ada di atasnya (perkebunan dan hutan) mau­pun di dalamnya (tambang) adalah milik negara. Milik ne­gara itu harus dipergunakan un­tuk kemakmuran dan ke­se­jahteraan rakyat Indonesia seluruhnya.

Dari konflik opini antara AR dan LBP, tersirat di sana, sertifikasi tanah—meski ter­buk­ti manfaatnya sangat besar untuk rakyat-belum menye­n­tuh “keadilan penguasaan ta­nah” seperti diamanatkan Pa­sal 33 UUD 1945. Dengan be­gitu pernyataan AR tidak sesat-sesat amat.

Meski demikian AR juga ti­dak bisa menyalahkan pe­me­rintahan Jokowi. Sejak zaman Bung Karno, Soeharto, Ha­bibie, Gus Dur, SBY sampai Jokowi, faktanya UU Land Re­form yang diharapkan dapat menciptakan keadilan dalam penguasaan tanah belum ha­dir. Pembuatan UU Land Reform itu terus terbentur ber­bagai konflik kepentingan se­h­ingga terbengkalai di tengah jalan.

Dari gambaran itu, sebe­tulnya konflik opini antara AR dan LBP tak seharusnya me­run­cing dan menimbulkan ke­gerahan politik. Keduanya, AR dan LBP, seharusnya bisa duduk bersama, lalu mencari ide-ide solutif untuk me­nye­lesaikan berbagai kasus per­tanahan di Indonesia. Ter­ma­suk di antaranya, bagaimana memperluas program ser­ti­fikasi tanah yang kini di­ja­lankan pemerintahan Jokowi dan menggolkan terbentuknya UU Land Reform prorakyat dengan dukungan solid partai-partai politik di DPR seperti diinginkan AR. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar