Kamis, 29 Maret 2018

Pelancong dan Lahan Konservasi

Pelancong dan Lahan Konservasi
Ihsannudin  ;   Dosen Pemberdayaan Masyarakat dalam Konservasi Universitas Trunojoyo, Madura;  Kader Konservasi Kementerian LHK
                                                        KOMPAS, 29 Maret 2018



                                                           
Badan Nasional Penanggulangan Bencana merilis, pada rentang Januari-Februari 2018 telah terjadi 513 kejadian bencana di Tanah Air. Kejadian bencana terdiri dari puting beliung (182 kejadian), banjir (157), longsor (137), kebakaran hutan dan lahan (15), kombinasi banjir dan tanah longsor (10), gelombang pasang dan abrasi (7), gempa bumi merusak (3), dan erupsi gunung berapi (2).

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kejadian-kejadian tersebut dikategorikan sebagai bencana alam. Dalam ketentuan umumnya dinyatakan, bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

Tuduhan semua bencana tersebut akibat perilaku alam makin menggebu ketika ditambah argumentasi bahwa negara kita terletak pada rangkaian cincin api sehingga wajar terjadi bencana gunung meletus dan gempa vulkanis. Negara kita juga menjadi pertemuan tiga lempeng dunia (Australia, Pasifik, dan Eurasia), makin memaklumkan bahwa gempa bumi dan tsunami adalah suatu kewajaran.

Padahal, kejadian-kejadian bencana itu menjadi terasa tidak adil jika semua murni dimusababkan pada alam. Sebab, sebenarnya, ada potensi keterkaitan manusia, terutama untuk bencana banjir, longsor, kombinasi banjir-longsor, serta kebakaran hutan dan lahan; yang pada data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyumbang 62 persen kejadian.

Ini beralasan, sebagaimana Marten (2011) memaknai alam menjadi lima kategori. Pertama, alam bersifat saling berkaitan; langsung atau tidak, yang terjadi pada alam merupakan konsekuensi tindakan manusia.

Kedua, alam bersifat jinak dan lestari. Alam akan tetap melayani manusia selama manusia tidak radikal mengubah kondisi alami.

Ketiga, alam tahan lama jika manusia mampu merekayasa alam sebagaimana yang diinginkan dengan bijak.

Keempat, alam itu rapuh. Keseimbangannya runtuh jika manusia mengubah kondisi alamiahnya.

Kelima, alam itu berubah-ubah; kadang mendukung upaya manusia, kadang justru merusakkannya.

Perebut lahan konservasi

Alam tidak memberikan bencana tatkala manusia tak mengubah kondisi alam secara radikal. Kalaupun alam dengan perilaku alamiahnya berefek destruktif, hal itu tidak sampai menimbulkan korban bencana manakala manusia tidak gegabah menempati kawasan rentan destruktif.

Manusia berpotensi ikut memunculkan jenis-jenis bencana itu karena manusia telah menjadi perebut lahan konservasi. Perebutan dilakukan baik karena alasan ekonomi maupun tempat tinggal.

Angka deforestasi pada Juli 2016-Juni 2017 masih pada bilangan 479.000 hektar (308.000 hektar di dalam kawasan hutan dan 171.000 hektar di areal penggunaan lain). Meski Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengklaim terjadi penurunan, angka tersebut indikasi yang mengkhawatirkan. Bahkan pertanian, sebagai sektor yang dinilai paling ramah konservasi pun, ternyata tertekan luasannya. Ditjen Sarana dan Prasarana Kementerian Pertanian menyebut, laju konversi lahan pertanian produktif ke non-produktif sekitar 100.000 hektar per tahun.

Perebutan lahan konservasi juga terlihat dengan makin merangseknya aktivitas manusia di sekitar kawasan. Kasus konflik harimau sumatera dengan manusia belum lama ini, baik yang berujung pada terbunuhnya manusia maupun terbunuhnya harimau, menjadi kode keras.

Ironi yang mempercepat proses perebutan lahan konservasi adalah menggelegarnya aktivitas pelancong. Pemerintah menargetkan 20 juta wisatawan mancanegara pada 2019, direspons dengan penetapan 10 destinasi, di antaranya berstatus taman nasional. Meski UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengizinkan dibangun sarana pariwisata pada zona pemanfaatan, tetapi dengan menjadi destinasi wisata masif dikhawatirkan akan mengganggu keutuhan zona inti.

Sangat disayangkan, Kementerian LHK yang selayaknya menjadi ”pembela” perlindungan konservasi ternyata turut mendorong wisata masif di wilayah konservasi. Salah satunya, dibangunnya sarana dan prasarana puncak Taman Wisata Alam Kawah Ijen serta persetujuan pembangunan kereta gantung oleh swasta menuju puncak. Aktivitas-aktivitas ini menimbulkan pro-kontra terkait kekhawatiran perubahan ekosistem yang berpengaruh pada potensi bencana.

Kekhawatiran itu sangat beralasan. Kawasan Cagar Alam Kali Pahit Ijen pun kecolongan; ditemukan ticketing wisata pada musim liburan Natal 2016 dan Tahun Baru 2017 oleh pihak lain. Padahal, kawasan ini seharusnya steril dari aktivitas wisata. Anehnya, statistik BKSDA Jatim justru pernah merilis, ada 1.033 orang berkunjung dengan tujuan rekreasi ke Cagar Alam P Sempu pada 2012 dan 2.524 orang pada 2015.

Kiranya perlu perhatian semua pihak untuk tetap menjaga dan memperhatikan marwah lahan peruntukan konservasi dan aktivitas pelancong masif. Sedapat mungkin dikendalikan pada kawasan-kawasan konservasi sebagai ikhtiar memperkecil potensi terjadinya bencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar