Membangun
Desa Berangkat dengan Data
Udin Suchaini ; Analis Data di Badan Pusat Statistik
|
KOMPAS,
28 Maret
2018
Empat tahun sejak
bergulirnya UU Desa, kini desa menjadi subjek pembangunan. Data yang
digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan desa pun sungguh luar biasa
kaya.
Sumber data monografi desa
yang dihasilkan dari catatan aparat desa pun jadi pegangan, yang dihimpun
oleh berbagai kementerian/lembaga (K/L) yang mengelolanya. Profil
desa/kelurahan (prodeskel) dikelola Kementerian Dalam Negeri, potensi desa
(podes) dikelola BPS, serta pembaruan data Indeks Desa Membangun (IDM)
dikelola Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
(PDTT). Selain isi data yang relatif tidak berbeda, sebagian narasumbernya
pun sama: perangkat desa.
Catatan desa dalam bentuk
monografi, menurut aturan, harus diperbarui enam bulan sekali. Namun,
kenyataannya pembaruan data yang tercatat cenderung lambat. Banyak faktor dan
kendala yang dihadapi. Selain kebijakan desa yang dirasa tak perlu melihat
data karena bisa langsung melihat lapangan, juga kurangnya pemahaman
perangkat desa terhadap berbagai data statistik dasar.
Dari sekian banyak data
yang tercatat di desa, kelemahan yang menonjol adalah tidak setaranya aparat
desa dalam memperoleh data. Baik terkait batasan yang digunakan pemerintah
desa dalam memperoleh data, bagaimana konsep, kaidah-kaidah, maupun standar
prosedur pengumpulan data. Dari 82.290 desa/kelurahan pada tahun 2014,
variasi datanya bisa jadi luar biasa banyaknya.
Metode klasifikasi,
kategorisasi, dan pengertian dari satu konsep yang digunakan beragam
antar-desa. Selain registrasi, cara yang ditempuh untuk mendapatkan data
adalah melalui RT/RW. Laporan data desa ke Bidang Pembangunan dan
Pemberdayaan Masyarakat Desa yang dilakukan setiap tiga bulanan dan enam
bulanan—sebagai syarat pencairan dana—sulit terealisasi. Tambah lagi, pada
tahun ini persyaratan pencairan juga dipermudah, di mana format laporan pertanggung
jawaban penggunaan dana desa yang harus diserahkan oleh pemerintah desa
dibuat lebih sederhana. Konsekuensinya, berkurangnya catatan data statistik
dari desa yang seharusnya bisa diperbarui secara berkala. Hal ini bisa jadi
penyebab kemunduran terhadap kondisi data yang tercatat di desa.
Pengampu
data desa
Pendataan yang benar
memiliki mekanisme yang khas. Setiap data yang dikumpulkan harus memiliki
batasan, definisi operasional, pendekatan yang dilaksanakan, dan beragam
mekanisme lain. Apakah perangkat desa mengetahui bahwa ketika kita menghitung
orang yang disebut miskin, ada teori yang digunakan untuk menjelaskan batasan
“miskin”. Ini harus disamakan pemahamannya untuk seluruh petugas di seluruh
Indonesia. Jika tidak, maka masing-masing wilayah memiliki persepsi
sendiri-sendiri, sehingga keterbandingan antar-wilayah tidak ada artinya.
BPS sebagai penyedia data
dasar statistik dapat melatih aparatur desa hingga RT/RW. Namun,
konsekuensinya memakan banyak biaya, ditambah lagi keinginan aparat untuk
menekuni statistik juga menjadi tantangan tersendiri.
Terdapat beberapa cara
penyediaan data di tingkat desa. Melalui sensus, catatan administrasi, serta
menjadikan perangkat desa dan tokoh masyarakat sebagai narasumber. Dengan
sensus, data hanya akan diperbarui 10 tahun sekali. Sementara catatan
administrasi bergantung pada keaktifan masyarakat meregistrasikan, atau
keaktifan lembaga-lembaga yang ada di desa melaporkan diri ke desa.
Satu-satunya strategi yang memungkinkan untuk menyediakan data desa adalah
menjadikan aparat desa dan tokoh masyarakat sebagai narasumber. Pembiayaan
negara pun lebih ringan.
Kegiatan pendataan dengan
mekanisme ini telah dilaksanakan BPS dalam kegiatan Pendataan Potensi Desa
sejak 1980, dilaksanakan rutin tiga kali dalam 10 tahun. Bersamaan dengan
Pendataan Podes 2018, ada kegiatan besar lain dalam pengumpulan data desa,
pembaruan data IDM pada bulan April, dan prodeskel yang dapat di entri secara
real time.
Semangat membangun desa
harus kita akui. Masing-masing pihak dengan kepentingannya berupaya keras
menjadikan desa semakin mandiri. Saat bersamaan, desa melalui aparat dan
Badan Permusyawaratan Desa juga telah diberi keleluasaan merancang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa, serta Rencana Kerja Pemerintahan Desa. Sumber
dananya berasal dari dana desa dan alokasi dana desa. Pendanaan ini, seperti
yang dilaksanakan sedikitnya 12 negara di Asia Pasifik, bahkan menjadi
program wajib PBB di negara-negara berkembang.
Melaksanakan pembangunan
desa secara mandiri butuh pengetahuan luas, dalam, dan cermat tentang
realitas sosial, ekonomi, dan budaya yang ada di setiap desa. Potensi wilayah
yang belum terdayagunakan perlu diketahui dan dicermati secara maksimal. Dari
logika ini, sebaiknya setiap desa memiliki suatu informasi kualitatif dan
kuantitatif yang kuat tentang desa dan masyarakatnya.
Solusinya, optimalkan
kembali peran mantri statistik/koordinator statistik kecamatan (KSK) dalam
melaksanakan pembinaan statistik desa, registrasi penduduk, dan statistik
dasar lainnya. Harapannya, proses pengumpulan data desa oleh pelbagai pihak
mengacu pada data yang setara. Namun, di sisi lain, pengumpulan data desa
melalui satu pintu juga dapat menjadi solusi alternatif merangkum kekayaan
informasi desa yang saat ini terserak di pelbagai K/L.
Desa adalah garda
terdepan. Implementasi program pengentasan kemiskinan, peningkatan produksi
pertanian, perbaikan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan akan mengalami
banyak rintangan tanpa merujuk ke desa sebagai fokus sasaran. Semangat K/L
dalam mengumpulkan data desa patut kita apresiasi. Namun inisiasi “one data
one policy” terasa semakin jauh panggang dari api. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar