Kerentanan
Akibat Larangan Bakar Lahan
Iwan Meulia Pirous ; Peneliti di GAIA Consultant, Bogor
|
KOMPAS,
29 Maret
2018
Bagi petani ladang, tahun ini
seharusnya padi sudah tumbuh untuk dipanen pada bulan Maret. Tetapi dengan
adanya larangan pembakaran lahan, petani ladang tidak lagi dapat
melakukannya.
Berdasarkan Inpres No 11/2015
tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, setiap kegiatan
pengolahan ladang dan hutan tidak diperbolehkan untuk menggunakan api dengan
alasan apa pun.
Sejak 2016, perladangan di banyak
tempat berhenti. Penegakan aturan pun berlangsung dengan tegas. Pemerintah
menyerahkan tanggung jawab kepada perusahaan-perusahaan perkebunan sawit
untuk selalu waspada akan bahaya api. Jika ada yang membakar ladang, maka
perusahaan dianggap bersalah. Para peladang pun sudah tahu bahwa di langit
ada satelit penangkap panas yang senantiasa mengawasi. Cerita bahwa petugas
akan segera datang meringkus peladang bertiup dari mulut ke mulut. Di satu
sisi, Indonesia mematuhi tekanan internasional untuk turut menjaga kebersihan
udara. Di sisi lain, kebijakan ini membuat petani perladangan berpindah putus
asa.
“Berladang di warung”
Masyarakat peladang berpindah
(swidden agriculture peasant) di Kalimantan secara umum merasakan
dampak yang sangat besar akibat berhentinya aktivitas ladang. Dengan tidak
berjalannya kegiatan perladangan, maka bukan hanya beras yang harus dibeli,
tetapi juga seluruh jenis tanaman pangan lain yang ditanam dalam area ladang
mereka.
Seperti pengakuan peladang di
Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, ketika membakar
lahan masih diperbolehkan, maka tiap keluarga minimal dapat makan beras
selama enam bulan atau lebih sedikit. Termasuk makan sayur sepanjang tahun
tanpa membeli. Dalam keadaan cuaca bagus bahkan mereka dapat makan satu tahun
dan masih ada sisa untuk dijual untuk belanja.
Luas lahan sebesar dua hektar
sudah cukup untuk menjamin hidup satu keluarga. Bahkan ketika pembakaran
selesai, biasanya jumlah ikan haruan atau gabus meningkat di sungai sehingga
warga mudah memperoleh protein. Kini, berutang di warung menjadi kebiasaan
baru. Warga sambil setengah berseloroh mengatakan: “Kini kami berladang di
warung.”
Namun, untuk berladang tanpa api,
masalahnya tidak sederhana. Tahap pertama adalah membersihkan semak belukar
dan rumput-rumput tinggi. Tanpa menggunakan api maka rumput ilalang harus
diracun supaya mati. Lalu ditebas dengan jumlah tenaga kerja yang besar untuk
mencapai luasan maksimal hektar. Tanpa api, efektivitas pengolahan ladang
menurun sampai 75 persen. Lalu tanah harus diberi pupuk dan dikurangi kadar
asamnya secara kimiawi. Proses ini mengharuskan peladang membeli.
Jadi, kalaupun membuka ladang,
artinya sangat memaksakan diri. Ingin dibuat besar tidak ada modal, tetapi
jika dibuat kecil risikonya terlalu besar. Dalam keadaan ideal, pada luas
tanah satu hektar maka hasil padi mencapai 1000 gantang (1,5
ton). Namun membuka lahan seluas satu hektar untuk ditanami padi hanya
mungkin dapat tercapai dengan teknik pembakaran ladang.
Dalam tiap musim tanam seharusnya
setiap orang di lahan masing-masing harus menanam padi, tak boleh ada yang
tidak ikut. Semakin luas areal yang ditanam maka konsentrasi serangan hama menjadi
terbagi dan tidak terlalu fokus merusak pada satu lokasi. Sebetulnya,
dalam keadaan normal, serangan hama itu selalu ada tetapi tak mengganggu.
Petani menganggap biarkan jatah mereka sebagai sama-sama ciptaan Tuhan
sebagai hak hidup yang perlu dijaga. Hama baru dirasakan berbahaya ketika
jumlah luas lahan yang ditanami mengecil sementara hama sangat banyak.
Mengecilnya luasan lahan
disebabkan karena banyak petani yang tidak lagi mampu membuka lahan karena
tidak boleh membakar. Jadi, menurut petani, ada korelasi antara larangan
bakar dan meningkatnya jumlah serangan hama dalam luasan garapan yang
kemudian sangat mengecil. Keputusan rasional adalah berhenti. Seorang nenek
yang masih ngotot berladang mengemukakan alasan: “Kalau saya berhenti tanam,
maka apa lagi yang dapat saya sedekahkan kepada orang yang lapar?”
Korban politik pertanian
Dari etnografi tentang sistem
pertanian ladang berpindah di Kalimantan, pembakaran lahan dilakukan hanya
sebentar dan tidak luas. Mereka hanya membakar seperlunya dalam waktu cepat
di atas kawasan tanah mineral dan bukan di kawasan gambut yang tak subur itu.
Namun, Inpres yang digunakan
sebagai landasan larangan membakar tak membedakan antara api yang berada di
kawasan gambut dan api yang berada di kawasan tanah mineral, yaitu tanah
warga untuk berladang.
Petani jadi korban dari dua hal.
Pertama, korban stigma dari modernisasi pertanian 1960-an. Sawah dianggap
solusi final yang produktif hanya karena produktivitasnya tinggi,
bergandengan dengan kapitalisme tani (pabrik pupuk, pabrik racun hama), dan
nyaman nyaman dipandang karena cocok dengan visualisasi eksotis tentang
kemakmuran pangan. Sementara ladang terlihat berantakan, hasilnya lebih
sedikit, dan sulit diukur karena bergandengan dengan komoditas tanaman lain.
Kedua, korban dari politik
kapitalisme pertanian. Korporasi sawit yang mendatangkan keuntungan besar
bagi negara dianggap prioritas. Alih-alih menjaga kualitas udara, larangan
bakar lebih ditujukan untuk menyelamatkan perkebunan sawit dari tuduhan
merusak lingkungan. Petani ladang pun dikorbankan. Tidak pernah dipikirkan
bahwa kontribusi emisi karbon ke udara dari pembakaran lahan skala dua hektar
yang berlangsung selama dua jam dalam setahun terlalu kecil dibandingkan
besarnya jasa peladang dalam menjaga hutan-hutan di sekitar ladangnya.
Hingga saat ini pemerintah belum
memberikan solusi bagi penyelamatan hak-hak hidup petani ladang di atas
tanahnya sendiri. Keadaan ini dapat sangat berbahaya karena ketika tidak ada
sumber penghidupan dari ladang, tekanan petani yang lapar untuk merambah
hutan menjadi lebih besar.
Sementara Presiden bermaksud
menolong rakyat dengan membagi-bagikan sertifikat tanah demi keadilan
agraria, di belahan lain terdapat kaum petani pemilik tanah yang tercabut
dari tradisi bertani. Jika solusi memang tidak ada, maka sebaik-baiknya
negara adalah memberi fasilitasi terkoordinasi dengan perusahaan perkebunan
untuk menciptakan sistem pembakaran lahan yang aman dari bahaya kebakaran
hutan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar