Strategi
Meningkatkan Produktivitas
Utang
Pemerintah
Agus Herta Sumarto ; Peneliti Indef
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Maret 2018
PERDEBATAN
mengenai utang pemerintah sepertinya semakin hari semakin panas. Setelah
pemerintah, melalui menteri keuangan, mengumumkan jumlah utang pemerintah
saat ini mencapai kisaran angka Rp4.000 triliun. Namun, dengan jumlah sebesar
itu, menteri keuangan meyakini besaran utang pemerintah masih berada dalam batasan
aman.
Pernyataan
ini menimbulkan kegaduhan yang cukup menyita perhatian publik. Publik mulai
merasa ragu apakah benar besaran utang pemerintah masih berada dalam batasan
aman mengingat sumber pendapatan pemerintah saat ini sangat terbatas. Selama
ini pendapatan pemerintah berasal dari tiga sumber, yaitu pendapatan pajak,
penerimaan negara bukan pajak/PNBP (laba BUMN, pendapatan sektor sumber daya
alam/SDA migas dan nonmigas, dan pendapatan badan layanan umum/BLU), dan
utang baru semuanya.
Jika
melihat pada ketiga sumber pendapatan pemerintah tersebut, utang pemerintah
bisa dikatakan berisiko. Rasio pajak Indonesia sampai saat ini masih berkutat
di level 11-12% dan level ini menjadi level terendah di antara negara-negara
anggota G-20. Bahkan, rasio pajak Indonesia ini termasuk kelompok paling
rendah di dunia.
Hal
yang sama juga terjadi pada sisi penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Kementerian Keuangan mencatat PNBP sampai dengan akhir tahun 2017 mencapai
Rp308,4 triliun yang berasal dari laba BUMN sebesar Rp43,9 triliun.
Pendapatan sektor SDA migas dan nonmigas sebesar Rp111 triliun, pendapatan
BLU sebesar Rp44,7 triliun, dan PNBP lainnya sebesar Rp108,8 triliun. Dengan
jumlah total PNBP sebesar Rp308,4 triliun, rasio PNBP Indonesia terhadap PDB
hanya mencapai 2,3%.
Dengan
melihat kondisi rasio pajak dan PNBP, cukup dipahami jika publik merasa ragu
terhadap batas aman utang pemerintah. Produktivitas negara yang tecermin dari
pendapatan negara relatif lebih rendah dari besaran utang tersebut. Utang yang
dilakukan pemerintah belum bisa mendorong produktivitas negara secara
agregat.
Di
sisi lain, rendahnya produktivitas ini juga dapat dipahami mengingat
kebijakan utang besar pemerintah ini diarahkan untuk pembangunan
infrastruktur yang memiliki return on investment (ROI) yang kecil karena
payback period-nya sangat lama. Pembangunan infrastruktur yang dilakukan
pemerintah seperti pembangunan jalan di daerah terpencil dan daerah
perbatasan akan menghasilkan keuntungan ekonomi di atas satu tahun atau bahkan
bisa lebih dari lima tahun. Dengan payback period yang lama ini, cashflow
keuangan negara menjadi terganggu. Pemerintah memerlukan anggaran dalam
jangka pendek untuk membayar cicilan pokok utang beserta bunganya. Namun, di
sisi lain pendapatan pemerintah dari utang itu baru akan didapatkan dalam
jangka panjang.
Dengan
kata lain pemerintah mengalami mismatch antara utang dan value added yang
dihasilkan dari utang tersebut. Dalam kondisi inilah, kondisi utang
pemerintah bisa dikatakan mengkhawatirkan dan berada di luar zona aman.
Meningkatkan produktivitas
Lalu
apa yang harus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas/value
added dari utang tersebut supaya utang pemerintah berada dalam zona aman?
Proyek pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah selama ini
merupakan kebijakan yang tepat. Salah satu penyebab dari rendahnya daya saing
Indonesia saat ini ialah kondisi infrastruktur Indonesia yang sangat kurang.
Namun, di tengah kondisi keterbatasan anggaran yang cukup besar, pemerintah perlu
memilih infrastruktur mana yang memiliki multiplier effect terbesar dan
menjadi driven factor bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka
menengah dan pendek.
Pemerintah
harus mencari proyek pembangunan infrastruktur yang payback period-nya
relatif rendah/cepat sehingga nilai ROI-nya menjadi tinggi. Setidaknya ada
dua proyek pembangunan infrastruktur di era pemerintahan Jokowi–JK yang bisa
menghasilkan ROI yang tinggi dengan payback period yang cepat, yaitu
pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK) dan pembangunan pembangkit listrik
35.000 megawatt (Mw).
Pemerintah
telah menetapkan 11 KEK yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Namun,
hampir semua wilayah KEK itu sampai saat ini belum berjalan secara optimal.
Hal ini terjadi karena pada awal pembangunannya infrastruktur KEK tidak
dibangun secara terintegratif. Beberapa KEK sampai saat ini belum memiliki
pasokan energi listrik yang cukup sehingga tidak banyak pelaku industri yang
berinvestasi di wilayah tersebut.
Selain
masalah energi, masalah lainnya ialah sarana transportasi menuju dan keluar
dari KEK tersebut juga masih terbatas atau bahkan tidak ada/tidak layak
seperti akses jalan dan pelabuhan yang baik. Padahal, jika pemerintah dapat
membangun infrastruktur yang layak di 11 KEK itu, dalam jangka menengah
pendek itu akan menghasilkan investasi yang sangat besar. Dengan pasokan
energi yang cukup dan akses transportasi yang baik, akan banyak investor yang
berinvestasi di wilayah KEK tersebut.
Proyek
pembangunan infrastruktur yang kedua ialah pembangunan pembangkit listrik
35.000 Mw. Pemerintah telah menyatakan reschedule terhadap pembangunan
pembangkit listrik 35.000 Mw ini karena berbagai kendala di lapangan. Namun,
jika pemerintah berhasil menyelesaikan kendala tersebut dan berhasil
membangun pembangkit listrik 35.000 Mw, akan banyak investor baik dalam dan
luar negeri yang berinvestasi di Indonesia.
Beberapa
investor di wilayah luar Jawa seperti Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi yang
menunda investasinya karena tidak adanya pasokan energi listrik untuk proses
produksinya. Jika pemerintah dapat membangun proyek pembangunan pembangkit
listrik 35.000 Mw, para investor itu akan segera merealisasikan rencana
investasinya.
Dari
penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa pembangunan KEK dan pembangkit
listrik 35.000 Mw merupakan strategi paling realistis yang bisa dilakukan
pemerintah guna meningkatkan produktivitas dari utang pemerintah yang sudah
besar ini. Jika pemerintah berhasil
melakukan pembangunan terhadap dua proyek infrastruktur tersebut, likuiditas
keuangan negara akan terjaga dan pada akhirnya cashflow keuangan negara juga
akan berada pada zona aman. Jika kondisi ini tercapai, utang pemerintah yang
sudah besar ini masih masuk ke kategori aman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar