Kamis, 29 Maret 2018

Tujuh Tahun Setelah “Arab Spring” 2011: Perubahan Politik dan Implikasi Geopolitik (1)

Tujuh Tahun Setelah “Arab Spring” 2011:
Perubahan Politik dan Implikasi Geopolitik (1)
Trias Kuncahyono  ;   Wartawan Senior Kompas
                                                        KOMPAS, 28 Maret 2018



                                                           
Pergolakan politik di dunia Arab, yang kemudian disebut Arab Spring, yang bermula pada tanggal 18 Desember 2010 di Tunisia, kemudian meluas ke sejumlah negara Arab dan menghasilkan perubahan rezim di Tunisia, Mesir, Libya, serta Yaman, represi  seperti di Bahrain dan Sudan, bahkan perang seperti yang terjadi di Suriah, telah mengubah wajah Timur Tengah. Ada yang membandingkan Arab Spring 2011 (Musim Semi 2011) di Timur Tengah dengan revolusi di Eropa Timur yang mengakhiri komunisme pada tahun 1989.

Meskipun, hingga kini tetap menjadi bahan perdebatan, apakah yang terjadi di Timur Tengah adalah tepat disebut revolusi atau tidak. Adeed Dawisha, profesor politik dari Universitas Miami, di Ohio lebih memilih menggunakan istilah “Arab Awakening”; Tariq Ramadan dari Universitas Oxford, juga lebih memilih menggunakan istilah “Arab Awakening” ketimbang revolusi. Akan tetapi, setahun setelah buku Ramadan, Islam and the Arab Awakening diterbitkan, tentara Mesir menyingkirkan Presiden Mohammad Morsi dalam sebuah kudeta berdarah dan tidak demokratik.

Apa pun istilahnya, menurut Dr. Katz,  profesor politik dari Universitas George Mason di Timur Tengah sudah terjadi tujuh revolusi nasionalis-Arab dalam kategori berhasil antara tahun 1950-an dan 1960-an: di Mesir (1952), Suriah dan Irak (1958), Aljazair dan Yaman Utara (1962), dan Sudan serta Libya (1969). Tetapi, hal yang membedakan dengan apa yang terjadi pada tahun 2011 adalah revolusi nasionalis-Arab tersebut tidak sepenuhnya terjadi karena faktor internal melainkan ada faktor  eksternal-nya.

Negara-negara yang “disapu” revolusi pada waktu itu adalah negara-negara yang bersekutu dengan atau koloni dari Barat. Dan setelah revolusi, rezim baru yang muncul semua (lebih kurang) dekat dengan Uni Soviet, meskipun Mesir dan Sudan kemudian tidak bersahabat dengan Uni Soviet (Middle East Policy Council, Volume XXI, Summer, No.2).

Revolusi Iran (1979) menghasilkan jatuhnya rezim anti-Soviet dan pro-Barat (Shah Reza Pahlevi) serta naiknya rezim baru anti-Soviet dan anti-Barat di bawah kepemimpinan Ayatollah Rohullah Khomeini. Seperti Revolusi Perancis dan Rusia, Menurut Stephen M Walt, Revolusi Iran berdampak buruk terhadap kawasan (paling kurang oleh negara-negara kawasan dianggap dan dirasakan sebagai mengancam eksistensi mereka).

Walt meneorikan bahwa revolusi di sebuah negara tidak hanya mengacaukan hubungan internasional, tetapi dapat menjadi penyebab pecahnya perang antar-negara. Revolusi Perancis (1789–1799) segera diikuti perang yang meliputi daratan Eropa. Revolusi Rusia (1917) juga segera disusul oleh keterlibatan sejumlah negara dalam perang saudara Rusia juga perang antara Rusia dan Polandia pada tahun 1920. Demikian pula, Revolusi China (1949) diikuti oleh Perang Korea (1950-1953). Dan, Revolusi Iran segera pula diikuti oleh Perang Irak-Iran 1980-1988 (Revolution and War,  Cornell University Press, 1996).

Tidak semua revolusi, memang, menjadi dadakan pecahnya perang. Karena itu, Walt menambahkan, “Revolusi mengintensifkan kompetisi keamanan dan meningkatkan risiko perang.” Ini yang terjadi di kawasan Timur Tengah setelah Arab Spring, yakni misalnya, meningkatnya kompetisi kekuatan, politik, dan pengaruh antara Arab Saudi dan Iran.

Hal lain yang layak dicatat adalah  apa yang terjadi di Timur Tengah berbeda dengan yang terjadi di negara-negara Eropa Timur Komunis pada tahun 1989, yakni tidak ada konsensus mengenai model politik dan ekonomi yang akan menggantikan sistem politik dan ekonomi yang sudah ada. Para pemrotes monarki, misalnya, di Yordania serta Maroko ingin mereformasi sistem yang berlaku saat itu di kedua negara monarki tersebut. Beberapa demonstran menyerukan segera dilakukan transisi ke monarki konstitusional, yang lain menginginkan reformasi secara bertahap.

Yang terjadi di Suriah, Libya, dan Yaman juga tidak seperti yang diharapkan. Bahwa perubahan diharapkan akan melahirkan negara demokratik dan bebas, yang terjadi tidaklah demikian, negara-negara tersebut hingga kini justru masih dibelit peperangan serta menjadi ajang pertarungan negara-negara sekitar dan adikuasa. Negara-negara yang sudah mencoba melalui jalan demokrasi, terjerumus lagi ke lembah pemerintahan yang lebih represif, misalnya, di Mesir yang pekan ini menyelenggarakan pemilihan presiden malahan kembali ke pemerintahan otoritarian.

Dari Maroko di belahan barat hingga Yordania, Arab Saudi, dan keemiran Teluk di belahan timur, memberikan bukti bahwa monarki-monarki ternyata lebih stabil dibandingkan negara-negara yang mencoba menerapkan pemerintahan rakyat. Negara-negara non-monarki, misalnya Suriah dan Yaman, yang di masa lalu sebelum Arab Spring memiliki pemerintahan pusat meski represif, sekarang malah terjerumus dalam perang sektarian, dan menjadi mendan proxy war.

Sementara, negara-negara yang mencoba melaksanakan pemilu bebas, seperti Irak dan Libya, juga tidak lantas bisa merasakan hasil pemilu bebas itu. Mereka justru masih terus kesulitan keluar dari jeratan pemilu sektarian dan kesukuan (Amy Chua, Political Tribes, Penguin Press, 2018). Dan, menghasilkan perang saudara berkelanjutan.

Pertanyaanya adalah apakah warisan (legacy) dari Arab Spring? Yang paling nyata adalah tiga perang saudara hingga kini—di Suriah, Libya, dan Yaman—yang menelan begitu banyak korban jiwa, mengakibatkan banjir pengungsi ke banyak negara terutama Eropa, dan mengacaukan stabilitas kawasan serta menjadi training ground kelompok-kelompok radikal, berhaluan keras. Konflik tersebut telah pula menjadi sarana meluasnya perdagangan gelap senjata ke seluruh kawasan dan meluasnya pula gerakan radikal, ekstremisme yang mendestabilisasi pemerintah-pemerintahan di kawasan Timur Tengah.

Akibat kedua dari Arab Spring yang sekarang dirasakan adalah stagnasi ekonomi di negara-negara seluruh Timur Tengah. Keadaan itu sebagian sebagai akibat dari kerusuhan politik. Meluasnya kelompok-kelompok radikal berhaluan ekstremisme juga berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi.

Negara-negara yang sebelum Arab Spring mendapatkan devisa dari industri pariwisata seperti Mesir, Tunisia, dan Yordania merasakan akibat dari meluasnya radikalisme itu. Instabilitas politik telah pula memberi ruang lebar bagi kelompok-kelompok radikal untuk berkembang, dan bertumbuh.

Perubahan Konfigurasi

Selama beberapa dekade, banyak yang berpendapat bahwa konfigurasi penting Timur Tengah selalu menyebut konflik Israel-Palestina. Namun, setelah Arab Spring terjadi berbagai berbagai perubahan konfigurasi selain kekuatan juga persekutuan dan permusuhan.

Beberapa musuh Israel selama ini, sudah bertumbangan, misalnya, Suriah, Irak, dan Libya. Ketiga negara tersebut masih jauh dari perdamaian dan kedamaian. Hingga kini, meskipun kelompok ISIS sudah berhasil diatasi, namun Suriah tetap dikuasai perang saudara dan menjadi mandala pertarungan kekuatan-kekuatan besar dan negara-negara lain dengan mendukung kelompok-kelompok oposisi dan juga mendukung rezim yang berkuasa. Sementara itu, Irak masih harus berjuang keras—walaupun juga sudah berhasil mengatasi ISIS—untuk membangun persatuan nasional; mengakhiri konflik sektarian yang menjadi persoalan utama negeri itu.

Setelah disapu Arab Spring, Libya menjadi negara gagal. Pertarungan kelompok milisi yang berebut kekuasaan menjadi penyebab utama hancurnya negara itu. Ada tiga pemerintah yang berebut kuasa di Libya: dua pemerintahan di Tripoli; yang salah satunya didukung PBB yakni Pemerintah Persetujuan Nasional (GNA).

Sebagian besar rezim Sunni (Arab Saudi, Mesir, dan Yordania) yang selama dari sapuan badai Arab Spring kini mulai bangkit; yang  secara de facto bersekutu dengan Israel. Meskipun banyak orang Mesir tetap memandang Israel sebagai ancaman dan simpati pada Palestina, namun di bawah pemerintahan  Presiden Abdel Fattah el-Sisi, hubungan kedua negara membaik lagi.

Pada tahun 2015, Israel membuka kembali kedutaannya di Kairo, setelah empat tahun ditutup; setahun kemudian Mesir membuka kembali kedutaannya di Tel Aviv. Mesir juga memberikan suara dukungan pada Israel untuk menjadi anggota komite PBB (2015). Ini yang pertama kali Mesir memberikan suara kepada Israel di PBB sejak negara Yahudi itu berdiri 1948.

Tahun 2017, Sisi bertemu dengan PM Israel Benjamin Netanyahu, di New York menjelang Sidang Umum PBB ( Zena Tahhan, Al Jazeera,  20 Sept 2017). Ini pertemuan pertama pemimpin Israel dan Mesir sejak hampir empat dasa warsa silam setelah penandatangan Perjanjian Camp David.

Kedua negara juga bekerja sama dalam memerangi pemberontakan di Sinai, yang dilakukan oleh kelompok bersenjata yang bersekutu dengan ISIS. Israel mengizinkan Mesir untuk menempatkan pasukannya lebih banyak dibanding yang disepakati dalam perjanjian perdamaian kedua negara (A Harel, Haaretz, 12 Juli 2016). Israel juga mengesampingkan utang Mesir yang jumlahnya hampir satu milliar dollar AS (D Wainer, Bloomberg, 18 Mei 2016). Secara teori, semakin eratnya hubungan antara Israel dan Mesir, adalah potensial untuk mendorong proses perdamaian Israel-Palestina.

Israel memainkan perpecahan regional di dunia Arab: antara negara-negara Teluk dan Iran. Apa yang secara tidak resmi disebut “poros moderat” negara-negara Arab—Mesir, Turki, Arab Saudi, dan beberapa negara Teluk, juga termasuk Yordania dan Maroko—dukungan Barat, telah menjalin hubungan dengan Israel, meski “di belakang panggung.” Poros moderat ini “memiliki musuh yang sama” yakni Suriah, Iran, ISIS, Hamas, dan Persaudaraan Muslim.

Menurut berita yang tersiar, Israel menyerahkan kepada Yordania satu skuadron helikopter serang (Reuters, 23 Juli 2015), yang bisa digunakan Yordania untuk menghadapi kelompok militan, selain itu Israel dan Yordania berkolaborasi berkenaan dengan hadirnya Rusia di Suriah (L Todd Wodd, Washington Times, 26 Maret 2016). Hubungan Arab Saudi dan Israel juga membaik, ditandai dengan kunjungan delegasi Arab Saudi ke Israel (Jerusalem Post, 7 Mei 2016).

Hubungan ini didasari oleh aliansi untuk melawan “ancaman sama” yakni Iran. Ini merupakan bagian dari paradigm regional baru (Linah Alsaafin, Al Jazeera, 21 Nov 2017).

Kedua  negara menyepakati sebuah dokumen yang menjamin komitmen Arab Saudi yang tidak memiliki kesepakatan formal dengan Israel, seperti kesepakatan yang dicapai antara Israel dan Mesir pada perjanjian perdamaian tahun 1979. Menurut dokumen itu, kedua negara  menyepakati untuk menjadikan Selat Tiran dan Teluk Aqaba sebagai perairan internasional yang terbuka dilayari dan dilewati penerbangan (Gili Cohen, Haaretz, 12 April 2016).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar