Sabtu, 24 Maret 2018

Menghijaukan Sawit ”Kita”

Menghijaukan Sawit ”Kita”
Bahruddin  ;   Mahasiswa Program Doktoral The University of Melbourne;
Dosen Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
                                                        KOMPAS, 24 Maret 2018



                                                           
Komoditas sawit dan turunannya sedang dihambat masuk ke sejumlah negara: Norwegia, AS, India, dan kawasan Uni Eropa lainnya (Kompas, 19/3).  Hambatan bisnis ini bukan hanya masalah pelaku bisnis sawit saja. Ini adalah masalah kita bersama sebagai bangsa. Perspektif ini sangat kuat tersurat  dalam pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika merespons kebijakan yang menghambat sawit.

Menjadikan sawit sebagai masalah bangsa bukanlah tanpa dasar. Sawit, varietas yang diimpor dari Afrika, telah menjadi bagian dari identitas bangsa kita. Indonesia adalah negara utama pemasok kebutuhan sawit dunia.

Dari catatan United States Department of Agriculture (USDA) Foreign Agriculture Service, Indonesia memasok 54 persen sawit dunia. Nilai ekspor sawit dan produk turunannya mencapai 22,77 miliar dollar AS tahun 2017. Nilai ini setara dengan 14,9 persen terhadap total ekspor non- migas atau 13,5 persen terhadap total ekspor Indonesia tahun 2017 (Kompas, 19/3).

 Dari peluang kerja, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebutkan bahwa industri sawit telah menyerap 8,2 juta tenaga kerja pada 2016. Jumlah ini belum termasuk pekerja yang menggantungkan hidup pada ribuan kontraktor dalam rantai produksi sawit.

Namun, kinerja baik sawit dalam angka-angka ekonomi diciptakan dengan penuh kontroversi. Para pemerhati lingkungan menempatkan perusahaan sawit sebagai aktor yang bertanggung jawab terhadap deforestasi dan bencana kebakaran hutan di Indonesia. Industri sawit juga dianggap sebagai penyebab hancurnya keragaman hayati Indonesia. Dalam aspek sosial, narasi tentang eksploitasi tenaga kerja, termasuk anak, jamak terjadi di perkebunan sawit. Selain itu, konflik lahan antara perusahaan dan masyarakat juga masuk catatan.

Dua wajah inilah yang menjadikan industri sawit tumbuh dalam kontroversi. Para kompetitor dari komoditas kedelai, bunga matahari, dan kanola menggunakan sisi gelap industri sawit (lingkungan dan sosial) sebagai senjata untuk memenangkan persaingan pasar global. Strategi ini efektif seiring dengan komitmen untuk mendorong praktik-praktik bisnis ramah lingkungan dan sosial (environmental and societal friendly).

Pendekatan reflektif

Kebijakan sejumlah negara yang menghambat sawit dan produk turunannya merupakan tanda menguatnya isu green business dalam kompetisi perdagangan global. Oleh sebab itu, pemerintah dan para pelaku industri sawit harus meresponsnya secara reflektif untuk ”menghijaukan sawit kita” daripada bersikap reaktif atau emosional.

Ada tiga hal yang dapat menjadi bahan refleksi menghijaukan sawit Indonesia.

Pertama, apakah pelaku bisnis sawit di Indonesia berkomitmen mematuhi semua regulasi? Berbagai studi dalam kajian regulatory compliance menjelaskan mengapa ada perusahaan yang patuh dan tidak patuh. Para pelaku yang mendukung teori ini juga menekankan pentingnya komitmen top levelmanajemen untuk mengelola bisnis sesuai peraturan. Tanpa komitmen top level manajemen, perusahaan senantiasa mencari celah untuk tidak patuh.

Kedua, apakah regulator (pemerintah pusat dan daerah) sudah menjalankan kewajiban untuk memastikan tidak ada pelanggaran regulasi dalam pengelolaan industri sawit? Pertanyaan ini muncul karena asumsi bahwa tidak semua perusahaan memiliki komitmen internal mematuhi regulasi.

Ketiga, apakah ada regulasi yang mendorong kerja sama antarnegara dan perusahaan untuk ”menghijaukan industri sawit”? Pemerintah dan industri sawit Indonesia harus menyesuaikan diri dengan iklim kompetisi global yang menghendaki kontribusi lebih pelaku bisnis terhadap konservasi lingkungan, kelayakan kerja (decent work), dan pemberdayaan masyarakat.

Tuntutan global ini tidak sepenuhnya terakomodasi dalam mandatory regulation di Indonesia. Oleh sebab itu, menghijaukan sawit Indonesia melalui pendekatan kesukarelaan (voluntary approach) menjadi penting.

Ketiga, pertanyaan reflektif ini merupakan satu kesatuan untuk menghijaukan sawit Indonesia. Perusahaan harus memiliki komitmen internal untuk menjadi bagian dari pembangunan industri sawit yang ramah lingkungan dan sosial. Apabila perusahaan tidak berkomitmen, negara bisa menggunakan wewenangnya agar perusahaan taat.

Akhirnya, kepatuhan pelaku industri sawit terhadap regulasi nasional perlu ditingkatkan menuju beyond compliance yang berbasis prinsip-prinsip kesukarelaan (volunterisme) untuk menjawab tantangan global.

Pilihan strategi regulasi untuk menghijaukan sawit Indonesia menentukan bagaimana respons aktor global terhadap upaya ini. Tampaknya, pilihan pendekatan kewajiban (mandatory) tak mampu menjawab polemik sawit ini. Para aktor global cenderung melihat regulasi berbasis kesukarelaan (voluntary regulation)daripada pendekatan kewajiban. Mereka meyakini, indikator dalam pendekatan kewajiban hanya mencakup ketentuan pengelolaan bisnis secara minimalis.

Dengan kata lain, pendekatan kewajiban tak mampu mengakomodasi standar etika bisnis yang tinggi sesuai berbagai sertifikasi internasional.

Kaji ulang ISPO

Pemerintah perlu mengkaji ulang mekanisme Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai kewajiban. Berbagai referensi menguatkan temuan riset doktoral penulis bahwa dunia internasional memandang sebelah mata sertifikasi wajib (mandatory certification) oleh pemerintah negara berkembang. Bagi aktor global, sertifikasi wajib mengindikasikan adanya masalah dalam penegakan peraturan hukum.

Respons negatif publik terhadap pendekatan kewajiban semakin menguatkan pilihan regulasi kesukarelaan sebagai kerangka relasi antara negara dan pelaku industri sawit di Indonesia.

Namun, tak mudah mengembangkan regulasi kesukarelaan yang kredibel. Ada tiga prinsip dasar yang harus ada. Pertama, desain regulasi kesukarelaan harus memuat standar etis bisnis sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan berbagai sertifikasi internasional lain, seperti RSPO, The Equator Principle, GRI, dan ISO 26000. Pemerintah dapat berkolaborasi dengan perusahaan, praktisi sertifikasi, akademisi, dan LSM untuk pengembangan desain sertifikasi.

Kedua, prinsip keterbukaan publik (public disclosure)dalam tahap-tahap sertifikasi. Semua dokumen yang dipublikasi dalam bentuk bilingual (Indonesia- English) untuk pemantauan sistem sertifikasi.

Ketiga, penilaian melibatkan akademisi dan LSM untuk menjaga kredibilitas.

Penulis meyakini bahwa kolaborasi antar-aktor (negara, perusahaan, akademisi, LSM) melalui pengembangan regulasi kesukarelaan yang kredibel dapat menjawab tantangan global: menghijaukan sawit Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar