Senin, 26 Maret 2018

Rasio dan Tafsir Beragama

Rasio dan Tafsir Beragama
Thobib Al-Asyhar  ;   Alumni Ponpes Futuhiyyah Mranggen Demak Jateng;
Dosen Psikologi Islam pada Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia
                                                     REPUBLIKA, 07 Maret 2018



                                                           
Saat masih mengikuti Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI DKI Jakarta tahun 1999 telah terjadi perdebatan sengit di kelas antara kawan saya dengan dosen senior kami yang alumni Al-Azhar, Mesir. Tema yang didiskusikan saat itu adalah soal konsepsi surga dan neraka. Pertanyaan yang diajukan di awal diskusi adalah, apakah surga dan neraka itu persis seperti yang dijelaskan oleh Alquran maupun Hadis secara tekstual?

Saat dibuka sesi tanggapan, kawan saya yang lulusan Perguruan Tinggi Ibnu Saud di Jakarta lalu menyampaikan pendapat bahwa apa yang ditegaskan oleh Alquran dan Hadis Shahih harus diyakini penuh. Apalagi ayat-ayat yang menjelaskan soal surga dan neraka tidak mengandung kalimat mutasyabbihat (penyerupaan makna). Sehingga, tidak ada alasan kecuali mengimaninya.

Menanggapi komentar tersebut, sang dosen menegaskan, bahwa surga dan neraka yang digambarkan oleh teks Alquran maupun Hadis hanyalah sebuah ilustrasi. Surga yang dijelaskan sebagai kehidupan penuh nikmat, seperti ada bidadari (huurun ain), tempat indah yang di bawahnya ada telaga dengan aliran air yang jernih, dan lain-lain, hanyalah ilustrasi Tuhan atas nikmat surga yang akan diperoleh kaum beriman agar pesan-pesan Tuhan mudah dicerna dengan baik.

Demikian juga neraka yang digambarkan sebagai tempat yang sangat panas, menakutkan, tempat penyiksaan mengerikan, dan lain-lain juga sebagai gambaran tentang bagaimana pedihnya balasan bagi manusia-manusia jahat, kafir, zalim, pendosa, dan lain-lain selama hidup di dunia.

Dengan cerdik sang dosen memberikan catatan mendasar dengan sebuah pertanyaan, bukankah surga dan neraka itu berada dalam alam spiritual yang tidak mungkin sama dengan alam dunia saat ini? Bukankah ada sebuah hadis Nabi yang menyebutkan bahwa surga itu tidak bisa dilihat oleh mata, tidak dapat didengar oleh telinga, dan tidak bisa diangan-angan oleh kehendak hati (HR. Bukhari). Artinya, surga dan neraka itu bersifat spiritual (spiritual concept) yang tidak bisa diketahui secara persis oleh indera fisikal manusia di dunia.

Karena bersifat spiritual, hakikat surga dan neraka hanya Allah lah yang tahu. Bagi sang dosen, kenikmatan hidup di surga disiapkan untuk orang-orang beriman dalam bentuk kebahagiaan sejati secara spiritual yang tidak bisa digambarkan oleh manusia. Sebaliknya, neraka merupakan bentuk kesengsaraan spiritual tiada tara. Kualitas kebahagiaan di surga dan kesengsraan di neraka pada setiap orang jelas berbeda-beda sesuai dengan amal-amalnya ketika hidup di dunia.

Lebih lanjut sang dosen menjelaskan, bahwa penggambaran surga dengan keindahan layaknya alam pegunungan oleh Tuhan disesuaikan dengan konteks alam nyata saat turunnya ayat, yaitu wilayah gurun pasir Arab yang gersang, panas, penuh bebatuan, dan medan yang berat. Sehingga, gambaran keindahan penduduk gurun adalah suasana yang sejuk nan indah seperti di wilayah pegunungan. Maka wajar kiranya Tuhan memberikan ilustrasi keindahan surga seperti alam pegunungan yang penuh dengan tetumbuhan hijau, pemandangan danau dengan aliran air sungai yang jernih nan elok dan indah sebagaimana dipaparkan dalam QS: Albaqarah: 25.

Bagi sang dosen, lain halnya jika ayat-ayat Alquran turun di tempat-tempat indah, misalnya di daerah Cianjur atau tempat wisata pegunungan yang lain. Tentu lah Tuhan tidak akan menggambarkan surga seperti alam yang biasa orang-orang rasakan dalam kehidupan sehari-hari karena surga akan dipersepsi sebagai sesuatu yang tidak menarik yang pada akhirnya tidak atau kurang menimbulkan efek minat manusia untuk berbuat baik. Artinya, Tuhan menggunakan "bahasa" dan "istilah" yang biasa dan mudah dipahami oleh akal manusia.

Cara pandang sang dosen tentu saja mudah diterima oleh orang-orang yang cenderung menggunakan pendekatan rasio dalam beragama. Sebaliknya, akan ditentang mentah-mentah oleh mereka yang menganut paham skripturalis atau tekstualis karena ukurannya adalah makna-makna zahir, dalil-dalil formal.

Riwayat yang mengatakan "Al-Dinu huwal ‘aqlu, la dina liman la ‘aqla lah", bahwa agama harus dipahami dengan akal, tidak ada agama bagi orang yang tidak menggunakan akal merupakan justifikasi bahwa akal sangat penting digunakan dalam memahami doktrin-doktrin agama. Di sini jelas bahwa posisi akal dalam beragama sangat strategis dan pokok, bahkan sangat mendasar bagi kita yang beragama agar substansi beragama bisa mencapai titik sasaran yang tepat.

Lalu muncul pertanyaan, bukankah agama tidak semuanya bisa dicerna oleh akal? Betul sekali, jika hal tersebut menyangkut aspek ibadah (ta'abbudi), seperti kenapa shalat harus berwudlu, bersucinya hadats besar adalah mandi besar, dan lain-lain. Untuk hal-hal yang berhubunngan dengan "iman" atau keyakinan tentu saja tidak perlu menggunakan akal, tetapi akal akan sangat membantu agar keyakinan menjadi semakin mendalam.

Iman adanya surga dan neraka adalah bagian dari "arkanul iman" (rukun iman) yang kelima, yaitu iman kepada yang gaib (hari akhir) yang tidak boleh disangkal. Namun bagaimana memahami bentuk surga dan neraka adalah hal yang harus didekati juga dengan rasio, agar kita tidak terjebak pada pemahaman formal yang dapat menganggu alur logis. Jika pemahaman surga dan neraka dilakukan secara tekstual, maka dalam beragama menjadi sangat formalistik. Dalam batas tertentu sangat membahayakan agama itu sendiri.

Apa yang salah terhadap formalisme agama? Banyak sekali efek negatifnya jika dihubungkan dengan substansi agama sebagai sebuah konsep nilai yang bersifat substantif. Satu contoh konkrit yang sering dipahami oleh kaum jihadis adalah "penyalahgunaan" konsep surga. Bagi mereka, surga mudah diperoleh dengan 70 bidadari cantik melalui jalan jihad. Salah satunya dengan bom bunuh diri yang mengatasnamakan "jihad". Mereka menyebut calon pelaku bom bunuh diri untuk "jihad" dengan calon "pengantin".

Bagi mereka, surga dipahami secara formil dan harfiyah, sehingga kelak bisa diperolehnya dengan cara-cara yang menurut mereka sebagai jalan utama menuju surga. Bagi mereka, mati syahid melalui cara "jihad" fisik dengan meledakkan diri demi menghancurkan "musuh" dan simbol-simbolnya adalah cara terbaik menjemput bidadari surga.

Jelas sekali, ini adalah cara-cara beragama yang naif. Nilai-nilai agama diletakkan di menara gading, tidak didialogkan dengan kehidupan nyata. Agama hanya dipasang pada wilayah konsep yang absurd, berada pada ilusi-ilusi yang bukan menjadi solusi kehidupan nyata.

Fenomena keberagamaan seperti ini lalu mendapat kritik keras dari Sigmund Freud, seorang penggagas psiko-analisis asal Jerman. Bagi Freud, orang yang beragama merupakan orang yang memiliki problem neurosis, karena mereka tidak mampu mengatasi masalah kehidupan nyata sehingga lari kepada ilusi-ilusi. Freud juga berkesimpulan bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusia-lah yang menciptakan tuhan-tuhan.

Tidak kurang dari Friedrich Wilhelm Nietzsche, filosof abad 19 asal Perancis yang juga mengkritik dengan tajam terhadap orang-orang yang beragama. Ungkapan terkenal Nietzsche bahwa "Tuhan telah mati" adalah tanparan keras bagi orang yang beragama namun tidak menjadikan Tuhan sebagai spirit.  Pemahaman atas teks agama dianggap agama itu sendiri. Keyakinan atas Tuhan mereka puja dan dijadikan "berhala-berhala" meski mematikan nalarnya sendiri.

Betapa banyak orang yang mengaku beragama tetapi atas alasan agama justru mereka merusak, bahkan membunuh dan membantai sesama. Tafsir-tafsir agama  mereka sembah dan dijadikan alat pembenar untuk menyalahkan orang lain, mengkafirkan, dan menyesatkan pihak lain. Tuhan yang memiliki ajaran kasih (cinta) mereka hiraukan dan lebih memiliki berhala pemahaman kakunya.

Bukankah agama seharusnya memandu para pemeluknya untuk berbuat sebijak mungkin. Dalam agama ada "sisi luar", tetapi juga ada "sisi dalam". Pada level "sisi dalam" inilah yang seharusnya bisa mempertemukan semua kita yang beragama, yang percaya pada Tuhan yang Maha Bijak dan Lembut.

Jika rasio kita tinggalkan dalam beragama, lalu kelembutan hati mulai kita lupakan, maka yang tersisa adalah pemahaman agama dengan keangkuhan. Keangkuhan adalah produk ego yang menjadi musuh besar agama itu sendiri. Pada titik itulah sejatinya kita telah melupakan Tuhan, Dzat Yang Maha Bijaksana. Wallahu a'lam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar