Rasio
dan Tafsir Beragama
Thobib Al-Asyhar ; Alumni Ponpes Futuhiyyah Mranggen Demak Jateng;
Dosen Psikologi Islam pada Sekolah
Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia
|
REPUBLIKA,
07 Maret
2018
Saat masih mengikuti
Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI DKI Jakarta tahun 1999 telah terjadi
perdebatan sengit di kelas antara kawan saya dengan dosen senior kami yang
alumni Al-Azhar, Mesir. Tema yang didiskusikan saat itu adalah soal konsepsi
surga dan neraka. Pertanyaan yang diajukan di awal diskusi adalah, apakah
surga dan neraka itu persis seperti yang dijelaskan oleh Alquran maupun Hadis
secara tekstual?
Saat dibuka sesi
tanggapan, kawan saya yang lulusan Perguruan Tinggi Ibnu Saud di Jakarta lalu
menyampaikan pendapat bahwa apa yang ditegaskan oleh Alquran dan Hadis Shahih
harus diyakini penuh. Apalagi ayat-ayat yang menjelaskan soal surga dan
neraka tidak mengandung kalimat mutasyabbihat (penyerupaan makna). Sehingga,
tidak ada alasan kecuali mengimaninya.
Menanggapi komentar
tersebut, sang dosen menegaskan, bahwa surga dan neraka yang digambarkan oleh
teks Alquran maupun Hadis hanyalah sebuah ilustrasi. Surga yang dijelaskan
sebagai kehidupan penuh nikmat, seperti ada bidadari (huurun ain), tempat
indah yang di bawahnya ada telaga dengan aliran air yang jernih, dan
lain-lain, hanyalah ilustrasi Tuhan atas nikmat surga yang akan diperoleh
kaum beriman agar pesan-pesan Tuhan mudah dicerna dengan baik.
Demikian juga neraka yang
digambarkan sebagai tempat yang sangat panas, menakutkan, tempat penyiksaan
mengerikan, dan lain-lain juga sebagai gambaran tentang bagaimana pedihnya
balasan bagi manusia-manusia jahat, kafir, zalim, pendosa, dan lain-lain
selama hidup di dunia.
Dengan cerdik sang dosen
memberikan catatan mendasar dengan sebuah pertanyaan, bukankah surga dan
neraka itu berada dalam alam spiritual yang tidak mungkin sama dengan alam
dunia saat ini? Bukankah ada sebuah hadis Nabi yang menyebutkan bahwa surga
itu tidak bisa dilihat oleh mata, tidak dapat didengar oleh telinga, dan
tidak bisa diangan-angan oleh kehendak hati (HR. Bukhari). Artinya, surga dan
neraka itu bersifat spiritual (spiritual concept) yang tidak bisa diketahui
secara persis oleh indera fisikal manusia di dunia.
Karena bersifat spiritual,
hakikat surga dan neraka hanya Allah lah yang tahu. Bagi sang dosen,
kenikmatan hidup di surga disiapkan untuk orang-orang beriman dalam bentuk
kebahagiaan sejati secara spiritual yang tidak bisa digambarkan oleh manusia.
Sebaliknya, neraka merupakan bentuk kesengsaraan spiritual tiada tara.
Kualitas kebahagiaan di surga dan kesengsraan di neraka pada setiap orang
jelas berbeda-beda sesuai dengan amal-amalnya ketika hidup di dunia.
Lebih lanjut sang dosen
menjelaskan, bahwa penggambaran surga dengan keindahan layaknya alam
pegunungan oleh Tuhan disesuaikan dengan konteks alam nyata saat turunnya
ayat, yaitu wilayah gurun pasir Arab yang gersang, panas, penuh bebatuan, dan
medan yang berat. Sehingga, gambaran keindahan penduduk gurun adalah suasana
yang sejuk nan indah seperti di wilayah pegunungan. Maka wajar kiranya Tuhan
memberikan ilustrasi keindahan surga seperti alam pegunungan yang penuh
dengan tetumbuhan hijau, pemandangan danau dengan aliran air sungai yang
jernih nan elok dan indah sebagaimana dipaparkan dalam QS: Albaqarah: 25.
Bagi sang dosen, lain
halnya jika ayat-ayat Alquran turun di tempat-tempat indah, misalnya di
daerah Cianjur atau tempat wisata pegunungan yang lain. Tentu lah Tuhan tidak
akan menggambarkan surga seperti alam yang biasa orang-orang rasakan dalam
kehidupan sehari-hari karena surga akan dipersepsi sebagai sesuatu yang tidak
menarik yang pada akhirnya tidak atau kurang menimbulkan efek minat manusia
untuk berbuat baik. Artinya, Tuhan menggunakan "bahasa" dan
"istilah" yang biasa dan mudah dipahami oleh akal manusia.
Cara pandang sang dosen
tentu saja mudah diterima oleh orang-orang yang cenderung menggunakan
pendekatan rasio dalam beragama. Sebaliknya, akan ditentang mentah-mentah oleh
mereka yang menganut paham skripturalis atau tekstualis karena ukurannya
adalah makna-makna zahir, dalil-dalil formal.
Riwayat yang mengatakan
"Al-Dinu huwal ‘aqlu, la dina liman la ‘aqla lah", bahwa agama
harus dipahami dengan akal, tidak ada agama bagi orang yang tidak menggunakan
akal merupakan justifikasi bahwa akal sangat penting digunakan dalam memahami
doktrin-doktrin agama. Di sini jelas bahwa posisi akal dalam beragama sangat
strategis dan pokok, bahkan sangat mendasar bagi kita yang beragama agar
substansi beragama bisa mencapai titik sasaran yang tepat.
Lalu muncul pertanyaan,
bukankah agama tidak semuanya bisa dicerna oleh akal? Betul sekali, jika hal
tersebut menyangkut aspek ibadah (ta'abbudi), seperti kenapa shalat harus
berwudlu, bersucinya hadats besar adalah mandi besar, dan lain-lain. Untuk
hal-hal yang berhubunngan dengan "iman" atau keyakinan tentu saja
tidak perlu menggunakan akal, tetapi akal akan sangat membantu agar keyakinan
menjadi semakin mendalam.
Iman adanya surga dan neraka
adalah bagian dari "arkanul iman" (rukun iman) yang kelima, yaitu
iman kepada yang gaib (hari akhir) yang tidak boleh disangkal. Namun
bagaimana memahami bentuk surga dan neraka adalah hal yang harus didekati
juga dengan rasio, agar kita tidak terjebak pada pemahaman formal yang dapat
menganggu alur logis. Jika pemahaman surga dan neraka dilakukan secara
tekstual, maka dalam beragama menjadi sangat formalistik. Dalam batas
tertentu sangat membahayakan agama itu sendiri.
Apa yang salah terhadap
formalisme agama? Banyak sekali efek negatifnya jika dihubungkan dengan
substansi agama sebagai sebuah konsep nilai yang bersifat substantif. Satu
contoh konkrit yang sering dipahami oleh kaum jihadis adalah
"penyalahgunaan" konsep surga. Bagi mereka, surga mudah diperoleh
dengan 70 bidadari cantik melalui jalan jihad. Salah satunya dengan bom bunuh
diri yang mengatasnamakan "jihad". Mereka menyebut calon pelaku bom
bunuh diri untuk "jihad" dengan calon "pengantin".
Bagi mereka, surga
dipahami secara formil dan harfiyah, sehingga kelak bisa diperolehnya dengan
cara-cara yang menurut mereka sebagai jalan utama menuju surga. Bagi mereka,
mati syahid melalui cara "jihad" fisik dengan meledakkan diri demi
menghancurkan "musuh" dan simbol-simbolnya adalah cara terbaik menjemput
bidadari surga.
Jelas sekali, ini adalah
cara-cara beragama yang naif. Nilai-nilai agama diletakkan di menara gading,
tidak didialogkan dengan kehidupan nyata. Agama hanya dipasang pada wilayah
konsep yang absurd, berada pada ilusi-ilusi yang bukan menjadi solusi
kehidupan nyata.
Fenomena keberagamaan
seperti ini lalu mendapat kritik keras dari Sigmund Freud, seorang penggagas
psiko-analisis asal Jerman. Bagi Freud, orang yang beragama merupakan orang
yang memiliki problem neurosis, karena mereka tidak mampu mengatasi masalah
kehidupan nyata sehingga lari kepada ilusi-ilusi. Freud juga berkesimpulan
bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusia-lah yang
menciptakan tuhan-tuhan.
Tidak kurang dari
Friedrich Wilhelm Nietzsche, filosof abad 19 asal Perancis yang juga
mengkritik dengan tajam terhadap orang-orang yang beragama. Ungkapan terkenal
Nietzsche bahwa "Tuhan telah mati" adalah tanparan keras bagi orang
yang beragama namun tidak menjadikan Tuhan sebagai spirit. Pemahaman atas teks agama dianggap agama
itu sendiri. Keyakinan atas Tuhan mereka puja dan dijadikan
"berhala-berhala" meski mematikan nalarnya sendiri.
Betapa banyak orang yang
mengaku beragama tetapi atas alasan agama justru mereka merusak, bahkan
membunuh dan membantai sesama. Tafsir-tafsir agama mereka sembah dan dijadikan alat pembenar
untuk menyalahkan orang lain, mengkafirkan, dan menyesatkan pihak lain. Tuhan
yang memiliki ajaran kasih (cinta) mereka hiraukan dan lebih memiliki berhala
pemahaman kakunya.
Bukankah agama seharusnya
memandu para pemeluknya untuk berbuat sebijak mungkin. Dalam agama ada
"sisi luar", tetapi juga ada "sisi dalam". Pada level
"sisi dalam" inilah yang seharusnya bisa mempertemukan semua kita
yang beragama, yang percaya pada Tuhan yang Maha Bijak dan Lembut.
Jika rasio kita tinggalkan
dalam beragama, lalu kelembutan hati mulai kita lupakan, maka yang tersisa
adalah pemahaman agama dengan keangkuhan. Keangkuhan adalah produk ego yang
menjadi musuh besar agama itu sendiri. Pada titik itulah sejatinya kita telah
melupakan Tuhan, Dzat Yang Maha Bijaksana. Wallahu a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar